Jumat, 08 Juli 2011

Ringkasan Kasus Korupsi Mobil Hibah Jepang Kabupaten Dompu


RINGKASAN KASUS KORUPSI MOBIL HIBAH JEPANG KABUPATEN DOMPU TAHUN 2008

Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang menamakan diri Forum Solidaritas Petani (Fortani) Dompu, LSM di Kabupaten Dompu, pada bulan Agustus 2009 atas penyalahgunaan anggaran Rp 720 juta  dari APBD Kabupaten Dompu tahun 2008 untuk pengadaan mobil hibah dari pemerintah Jepang. Anggaran ratusan juta tersebut diselewengkan dengan alasan pengadaan satu minibus dan mobil penyedot tinja. Artinya, pada saat bersamaan pengadaan mobil hibah tersebut, pemerintah Kabupaten Dompu mengalokasikan dana yang bersumber dari APBD Perubahan, yang seolah-olah pengadaan dua unit kendaraan tersebut hasil pembelian oleh daerah. Parahnya lagi, kedua unit kendaraan itu disebut-sebut tidak memiliki surat.
Chandradinata dalam keterangannya di depan Pansus Aset DPRD Dompu pada tanggal 10 Mei 2010 menjelaskan, pengadaan 2 unit mobil tersebut dilakukan oleh perusahaan rekanan pemerintah Dompu, yaitu PT Pertiwi Guna Surabaya yang dipimpin Wantono. Wantono diperkenalkan kepada Bupati Dompu oleh Rahar Syarifuddin, sesuai pengakuan Rahar Syarifuddin di depan Pansus. Ini dilakukannya atas tawaran Wantono. Selanjutnya, ia tidak tahu-menahu kelanjutan hubungan keduanya.
Pada tahun 2007, Wantono mengirim faksmail ke Bupati Dompu, H. Syaifurrahman Salman, S.E soal tawaran pengadaan mobil hibah dari Pemerintah Jepang. Surat faks tersebut kemudian didisposisikan ke Sekda dan Asisten III. Sekda maupun Asisten III menyarankan agar diproses sesuai aturan yang berlaku.
Bupati Dompu juga mengirim surat ke BPK RI perwakilan Mataram untuk meminta telaah soal pengadaan mobil hibah Jepang itu. Hasilnya, BPK menyarankan tetap mengacu kepada aturan yang berlaku, yaitu PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah.
Sementara, dalam APBD Dompu tahun 2008, pada pos Bagian Umum Setda Dompu dialokasikan anggaran sekitar Rp 940 juta untuk pengadaan bis pengangkutan pegawai, namun atas perintah Bupati anggaran tersebut diajukan ke pimpinan DPRD Dompu untuk dialihkan bagi pengadaan mobil hibah, yaitu sekitar Rp 700 juta lebih untuk transportasi dan rekondisi mobil hibah, serta Rp 200 juta lebih untuk untuk rekondisi 2 unit mobil tanki PDAM Dompu. Mantan Ketua DPRD Dompu AM Thalib HM Ali dalam keteranggannya menjelaskan, ia dan unsure pimpinan DPRD Dompu menandatangani surat persetujuan pengalihan anggaran tersebut karena sesuai dengan aturan yang berlaku, bukan karena menerima uang.[1]
Kontrak pemerintah Dompu dengan PT Pertiwi Guna Surabaya dalam pengadan mobil hibah tersebut diteken pada April 2009. Belakangan diketahui, dua unit mobil tersebut sudah ada di PT Pertiwi Guna Surabaya. Sehingga oknum pejabat saat itu mencairkan anggaran seolah-olah untuk pembiayaan pengangkutan dari Jepang.[2]
Di samping itu, sebuah mobil Jeep dan satu sepeda motor Harley Davidson diindikasikan sebagai hadiah dari rekanan yang mendapat proyek pengadaan dua unit kendaraan itu. Kasus ini diduga melanggar Keppres 80/2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta PP 57/2005 tentang Hibah. Kasus ini pada awalnya ditangani Polres Dompu sejak tanggal 26 Agustus 2009 hingga penyerahan penangan kepada Polda NTB pada 17 Mei 2010.
Hingga tanggal 4 Februari 2010, Kepolisian masih menyelidiki kasus ini dengan memintai keterangan beberapa saksi. AKBP Kumbul KS, Kapolres Dompu menyatakan akan memeriksa saksi ahli untuk mengetahui prosedur dan tahapan pengdaan mobil hibah dan petunjuknya. Fakta lain, pengadaan mobil hibah itu atas persetujuan DPRD Kabupaten Dompu.[3]
Bupati Dompu, H. Syaifurrahman Salman, SE dan Direktur PT Pertiwi Guna Surabaya, Wantono dinilai sebagai ppihak yang paling paham dan bertanggung jawab soal pengadaan 2 unit kendaraan mobil hibah pemerintah jepang yang menghabiskan anggaran Rp 740 juta yang bersumber dari APBD Dompu tahun 2008. Ini terungkap dalam rapat Konsultasi dan Koordinasi yang dilakukan Pansus asset DPRD Dompu, Senin (10/5), bersama mantan Kepala Bagian Umum Chandradinata, mantan Ketua DPRD Dompu AM Thalib HM Ali dan sejumlah jajaran pejabat.[4]
Gencarnya upaya pembongkaran kasus ini di DPRD Dompu ternyata tidak diikuti oleh pihak kepolisian. Proses hukumnya dinilai jalan di tempat. Kepolisian beralasan menunggu hasil audit kerugian Negara dari BPKP. Sejauh ini, BPKP belum turun melakukan audit, meskipun kepolisian mengaku telah mengirin surat kedua. “Berkali-kali kami koordinasikan ke BPKP, tapi belum ada jawaban pasti,” kata Kasat Reskrim AKP L Salehudin.[5]
Tanggal 20 Mei 2011 dalam sebuah pertemuan di Rumah Makan Rinjani, Kapolres Dompu AKBP Kumbul KS menyatakan, penanganan kasus ini telah diserahkan ke Kepolisian Daerah (Polda) NTB. Alasannya, agar Polres Dompu bisa focus mengawal Pemilukada yang akan berlangsung pada tanggal 30 Agustus 2010. Sementara hasil koordinasi dengan BPKP, Polres Dompu diminta melakukan presentasi di hadapan BPKP untuk mengetahui dengan jelas duduk perkara kasus ini.[6] Penyerahan penanganan kasus ini dilakukan Polres Dompu setelah tiga hari mendapat tekanan dari masyarakat karena dianggap lamban. Bahkan Polda NTB melalui keterangan Kasubid Publikasi AKP L Wirajaya mengatakan, penyerahan ini dilakukan pada tanggal 17 Mei dengan alasan teknis, yaitu pemanggilan saksi yang harus dilakukan antar Polda.[7]
Saat ditangani Polres Dompu dari tanggal 26 Agustus 2009 hingga penyerahan ke Polda pada 17 Mei 2010, penyidik Polres Dompu telah memintai keterangan beberapa orang saksi, yaitu mantan Kabag Keuangan yang saat ini menjabat staf KPUD Dompu Ih, staf Dinas Kimpraswil IG, staf Keuangan Sekda Dompu As, staf Bagian Hukum Sekda Dompu Nn, staf Bagian Umum Sekda Dompu MA, dan seorang lainnya yang tidak disebutkan identitasnya.[8] Setelah ditangani Polda NTB, penyidik memanggil saksi-saksi. Namun hingga tanggal 29 Juni 2010, Polda NTB baru memanggil tiga orang dari pejabat dan staf pemerintah Kabupaten Dompu, padahal kasus ini telah diserahkan sejak tanggal 17 Mei 2010 oleh Polres Dompu. Dari hasil pemeriksaan tiga orang tersebut, Polda NTB belum bisa menjelaskan, apakah masuk tindak pidana korupsi atau bukan. Beberapa orang yang akan dipanggil secara bertahap oleh Polda NTB untuk memberikan kesaksian adalah Kasubbag Rumah Tangga Bagian Umum sekda Dompu M Nur, Staf Bagian Hukum Sekda Dompu Lukman, SH, staf Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemda Dompu M Nur Salam, staf Dinas PU Indra Gunawan, dan staf Dinas Koperasi Mahani.[9]
Setelah memeriksa 12 orang saksi, tanggal 29 Juli 2010 Polda NTB menetapkan 2 tersangka. Dua tersangka tersebut adalah Candradinata, mantan Kabag Umum Setda Kabupaten Dompu dan Wantono, pimpinan PT Pertiwi Guna yang menjadi rekanan pemerintah Dompu dalam pengadaan mobil itu. Kabid Humas Polda NTB AKBP Sukarman Husein menyatakan, gelar perkara kasus ini telah dilakukan di Mabes Polri pada tanggal 30 Juni 2010.[10] Namun dalam perkembangannya, Bupati Dompu yang diduga paling bertanggung jawab dalam kasus ini tidak menghadiri panggilan Polda NTB untuk memberikan kesaksian. Polda NTB pun melayangkan surat panggilan kedua. “Karena kapasitas beliau pada saat itu sebagai Bupati,” kata AKP L Wirajaya, Kasubid Publikasi Humas Polda NTB menjelaskan alasan ketidakhadiran Syaifurrahman.[11] Syaifurrahman yang mencalonkan diri kembali sebagai Bupati Dompu 2010-2015 ternyata kalah dalam Pemilukada pada tanggal 30 Agustus 2010.
Akhirnya pada tanggal 29 September 2010, Syaifurrahman memenuhi panggilan Polda NTB. Reskrim Polda NTB memeriksa mantan orang nomor satu di Kabupaten Dompu itu selama 12 jam atau dari pukul 10.00 wita sampai dengan 22.00 wita.[12] Meskipun telah dicecar 50 pertanyaan, Reskrim Polda NTB belum mendapatkan keterangan yang lengkap, sehingga Reskrim berencana memanggilnya kembali pada tanggal 5 Oktober 2010. Selain itu, Syaifurrahman merupakan saksi terakhir yang akan diperiksa Polda NTB.[13] Nyatanya, pemeriksaan kembali dilakukan pekan berikutnya dengan membawa berkas lengkap terkait pengadaan mobil hibah itu untuk membela diri di depan penyidik.[14] Setelah diperiksa tiga kali, menurut Reskrim Polda NTB, status Syaifurrahman selanjutnya ditentukan pekan berikutnya, usai dilakukan gelar perkara. Namun, informasi dari sumber Suara NTB, pemeriksaan mantan Bupati Dompu tersebut sebenarnya telah selesai. Demikian pula dengan gelar perkaranya telah dilaksanakan pekan sebelumnya.[15]
Akhirnya, mantan Bupati Dompu tersebut dinyatakan sebagai tersangka. Sementara itu, penyidik Polda NTB berkoordinasi dengan BPKP di Denpasar untuk mangaudit kerugian Negara akibat kasus ini. Sebelumnya, diakui Kasubid Humas Polda NTB L Wirajaya, tim BPKP dan penyidik Polda NTB telah turun ke dompu untuk mengecek fisik kendaraan sebagai barang bukti.[16]


[1] Suara NTB tanggal 11 Mei 2010. “Bupati dan Direktur PT Pertiwi Guna Dinilai Paling Bertanggung Jawab”
[2] Suara NTB tanggal 30 September 2010. “Mantan Bupati Dompu Diperiksa 12 Jam”
[3] Lombok Post tanggal 4 Februari 2010. “Terus Diselediki, Tunggu Saksi Ahli”.
[4] Suara NTB tanggal 11 Mei 2010. “Bupati dan Direktur PT Pertiwi Guna dinilai Paling Bertanggung Jawab”
[5] Lombok Post tanggal 17 Mei 2010. “Proses Mobil Hibah Jalan di Tempat?”
[6] Lombok Post tanggal 21 Mei 2010. “Kasus Mobil Hibah Diserahkan ke Polda”
[7] Suara NTB tanggal 22 juni 2010. “Dugaan Penyimpangan Kendaraan Hibah Jepang Dilimpahkan ke Polda NTB”
[8] Ibid
[9] Suara NTB tanggal 29 Juni 2010. “Lagi, Polisi akan Panggil Lima Saksi”
[10] Lombok Post tanggal 30 Juli 2010. “Polda NTB tetapkan Dua Tersangka”
[11] Lombok Post tanggal 18 September 2010. “Dipanggil Polda, Syaifurrahman Mangkir”
[12] Suara NTB tanggal 30 September 2010. “Mantan Bupati Dompu Diperiksa 12 Jam”
[13] Suara NTB tanggal 1 Oktober 2010. “Mantan Bupati Dompu akan Diperiksa Lagi”
[14] Suara NTB tanggal 6 Oktober 2010. “Pemeriksaan Mantan Bupati Dompu akan Berlanjut”
[15] Suara NTB tanggal 16 Oktober 2010. “Status Mantan Bupati Dompu Ditetapkan Pekan Depan”
[16] Suara NTB tanggal 13 November 2010. “Hitung Kerugian Negara Kasus Mobil Hibah Jepang”

Jumat, 01 Juli 2011

Press Release Aliansi Masyarakat Peduli Kemanusiaan


ALIANSI MASYARAKAT PEDULI KEMANUSIAAN



HENTIKAN KEKERASAN KEPADA BURUH MIGRAN

Kisah tragis Ruyati, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dihukum pancung pemerintah Arab Saudi menambah sejarah kelam para koeli contract. Di negeri sendiri menganggur. Di negeri orang babak belur.
Lalu ada Sumartini, TKW asal NTB yang akan diekskusi 3 Juli mendatang. Dan masih ada sekitar 400 orang warga Indonesia yang akan menjalani hukuman mati di negeri orang. Kisah yang amat tragis dan memilukan dialami buruh migrant di negeri orang.
Pada tahun 1860 terbit Max Havelaar, sebuah novel yang menggemparkan Eropa. Ditulis oleh seorang Belanda Eduard Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli (Latin: yang banyak menderita). Ia menarasikan kekejaman kompeni terhadap para pekerja pribumi lewat tanam paksa; sebuah perbudakan yang dilegalkan Negara. Pemerintah koloni yang berang  akhirnya memulangkannya ke Belanda.
Selanjutnya tahun 1902, seorang advokat di Medan bernama Mr. J van den Brand menulis artikel panjang tentang kisah tragis juta-an pekerja asal Jawa di perkebunan tembakau milik pengusaha-pengusaha Belanda di Deli, Sumatera Timur. Tak kalah dengan Max Havelar, De Millioenen uit Deli yang ditulisnya pun mengancam kharisma pemerintah Belanda. Kontrak kerja yang dibuat perusahaan dan aturan pemerintah (poeli sanctie) yang membolehkan perusahaan (majikan) menghukum pekerja, membuat pekerja tak ubahnya sebagai budak. Sudah pasti, Van den Brand dikucilkan dari pergaulan Eropa.
Kini setelah negeri ini merdeka, kisah kekerasan dan kekejaman terhadap para pekerja (pribumi) tak kunjung berhenti.  Khususnya para pekerja Indonesia di luar negeri; seolah menjadi perantau sebatang kara dan terlunta-lunta di Negara orang. Belum hilang dari ingatan kita, penyiksaan yang dialami Sumiyati, TKI asal Bima, NTB.
Poin penting dari keseluruhan kisah tersebut, baik di zaman penjajahan hingga hari ini mengerucut pada soal Negara (pemerintah) yang abai dalam memberikan perlindungan kepada para pekerja. Negara hanya senang mengambil untung dari ekspor manusia yang tak manusiawi tersebut dan pajak yang didapat dari perusahan-perusahan penyalur.
Eksploitasi dan Kegagalan Negara
Pemerintah hanya suka beretorika dengan mengatakan akan memberikan perlindungan bagi para buruh migrant, sebab buruh migrant memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan devisa Negara. Namun, nyatanya tak ada yang terbukti.
Di satu sisi, pemerintah terus-menerus mengizinkan pengiriman buruh migrant ke luar negeri. Sementara di sisi lain, pemerintah tidak juga menyediakan lapanga pekerjaan yang seluas-luasnya kepada warga Negara agar bisa menghabiskan hidupnya untuk ikut terlibat membangun negerinya sendiri.
Moratorium tiba-tiba menjadi kata-kata sakti untuk menyelesaikan masalah-masalah krusial sebagai dampak eksploitasi, baik tambang, hutan, maupun buruh migran. Dalam konteks pengiriman buruh migrant, moratorium akan menjadi bencana sendiri sebagai pencabut nyawa bagi kelompok warga miskin, jika tidak disertai dengan pembukaan lapangan kerja baru oleh pemerintah.
Disinilah akan tampak secara jelas posisi Negara selama ini. Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap warga Negara. Pun penyediaan lapangan kerja agar warga Negara bisa hidup layak dan dapat mengembangkan diri. Nyatanya, jumlah buruh migrant terus meningkat setiap tahunnya dan lapangan kerja untuk kelompok miskin tak juga kunjung ada, selain buruh kasar yang hasilnya tak mencukupi biaya hidup sehari-hari.
Untuk itu, kami dari Masyarakat Peduli Kemanusiaan menghimbau pemerintah dan masyarakat:
1.       Menghentikan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dan menyediakan lapangan kerja baru yang mencukupi untuk kebutuhan dasar hidup layak bagi rakyat Indonesia
2.       Memberikan perlindungan hokum kepada seluruh buruh migrant yang terlibat permasalahan hokum di luar negeri
3.       Menghimbau kepada masyarakat agar tidak mudah terpancing bujuk rayu calo penyalur tenaga kerja yang tidak jelas asal-usulnya

Mataram, 01 Juli 2011
Korlap

BEBASKAN SUMARTINI

Mataram - Aksi simpatik mendukung pembebasan Sumartini, TKW asal Moyo Utara Sumbawa, NTB digelar mulai Jum'at (1/7) di perempatan Soesbandoro Gomong Mataram. Sumartini hanya salah satu dari 400 orang buruh migran yang tersangkut masalah hukum dan akan segera diekskusi ni leuar negeri. Aksi ini digelar oleh Aliansi Masyarakat Peduli Kemanusiaan.
Sejumlah mahasiswa yang menginisiasi gerakan ini menyampaikan orasi dan mebagi selebaran sekitar satu jam lebih, mulai pukul 10.00 wita. Mereka menuding pemerintah tidak serius memberikan perlindungan kepada buruh migran. padahal buruh migran berkontribusi terhadap peningkatan devisa negara hingga triliyunan rupiah.
"Akar persoalannya adalah kemiskinan dan pengangguran yang gagal diselesaikan oleh pemerintah," ungkap Ramli dalam orasinya. Menurutnya, penghentian pengiriman tenaga kerja ke luar negeri tanpa dibarengi pembukaan lapangan kerja, sama saja dengan membunuh rakyat miskin dan pengangguran.
 Untuk itu, Aliansi ini menghimbau kepada pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan baru di dalam negeri, memberi perlindungan hukum untuk buruh migran yang bermasalah di luar negeri. Di samping itu, menghimbau masyarakat agar tidak terjebak rayuan manis calo penyalur tenaga kerja yang tidak jelas asal-usulnya.[]