Jumat, 28 September 2012

CINTA HENING


CINTA HENING
Sebuah Mukaddimah

Ini tak kunjung mati dan hancur meski terik dan hujan menderanya dari hari ke hari. Bulan ke bulan. Ia tetap saja sama seperti biasa, bahkan bertumbuh karena aku terus merawatnya. Menjadi hijau rimbun lalu berbunga indah pelangi, namun berguguran satu-satu.
Selalu saja aku suka di situ karena aku merasa damai, tenang, sejuk. Kesemuanya seperti menjalar dari ujung rambut lalu tergerus oleh merah darah dari pembuluh ke jantung, lalu hati, lalu jantung, lalu pembuluh ke seluruh tubuh. Terus saja begitu. Tak henti. Ia mensuplai, menjadi gizi, bagi kulit, bagi tulang, bagi rambut, bagi otak, bahkan perasaanku yang tak mampu kujamah.
Sementara bungamu kuciumi dengan lekat. Kupeluk dengan erat. Kutumpuk ia di atas dadaku. Kulempar ke udara seperti bebunga orang-orang di pesta: berdesak-desakan di udara lalu jatuh kembali menghantam dadaku yang mulai ringkih dan lemah.
Itu semua kulakukan sendiri. Di tengah padang kesepian. Yang ada hanya angin. Hanya hujan. Hanya siang. Hanya malam. Yang berganti-ganti menjadi petunjuk gugurnya umur. Maka di sisa umur ini, aku ingin abdikan diri untuk terus menjaga dan merawatnya. Karena dengan begitu aku bisa tenang. Meninggalkan kehidupan ini dengan senyum yang ringan.
Pada pembaringanku aku mengingat setiap jengkalmu. Mengingatmu yang membelai jantungku. Mengingatmu yang mendekap hatiku. Mengingatmu yang selalu menolak untuk kulakukan sebaliknya padamu. Katamu, “Jangan sebab Tuhan memarahi kita,”. Kau jelaskan, ini jalan yang tak lazim. Ketaklaziman yang bagiku sangat menyesakkan. “Kita akan melawan takdir,” tegasku. Tapi kau tak pernah mau melakukannya bersamaku. Aku tak benar-benar jera dengan penolakanmu. Maka aku lakukan sendiri saja, meski kelak pada akhirnya pemilik cinta abadi itu murka atas kehinaanku. Bukankah ini telah Ia fahami melebihi kefahaman kita akan muasalnya?
Orang-orang mulai menyebutku gila. Aku menerimanya, sebab aku memang telah menggilaimu. Majnun. Kegilaan yang akan diiringi oleh kegilaan lainnya. Kegilaan yang akan kau temui dalam semua hal yang terfikirkan oleh segenap otak manusia. Dalam semua hal yang tersadar maupun tidak. Di situ selalu ada kegilaanku yang setiap orang akan tak sama dalam mencerapnya. Maka gelak tawa adalah biasa. Hinaan adalah biasa. Gossip adalah biasa. Semua yang buruk tentang kegilaanku adalah kebiasaan yang melekat pada mata hati mereka yang tak memahami ini suci putih, tak noda seperti muasalnya.
Dalam pembaringanku yang lama ini, aku hanya minum dari embun yang jatuh dari ujung-ujung dedaunan yang dikumpulkan kumbang. Sementara makananku hanya serbuk-serbuk sari yang menempel di sayap-sayap serangga. Dari situ aku masih bertahan menjagamu. Dalam kesendirian. Dalam kesepian. Dalam hening. Dalam kepapaan dan kesederhanaan.
Aku terus berdoa. Merapal mantra. Membakar dupa. Agar kau terus mendekat. Mendekat serupa Hawa yang menemui Adam yang kesepian di tengah kemahasegalaan. Berkat Tuhan. Hawa ditumbuhkan dari rusuk Adam. Dan begitulah harap ini. Begitulah doa ini. Mengalir dari zaman ke zaman. “Tuhan segeralah. Tumbuhkan ia di kelembutan hati. Mengakar dalam bilik-bilik jantungku,”. Keyakinanku; Tuhan adalah tuan yang baik. Maka doa berbuah nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar