CINTA HENING
Sebuah
Mukaddimah
Ini
tak kunjung mati dan hancur meski terik dan hujan menderanya dari hari ke hari.
Bulan ke bulan. Ia tetap saja sama seperti biasa, bahkan bertumbuh karena aku
terus merawatnya. Menjadi hijau rimbun lalu berbunga indah pelangi, namun
berguguran satu-satu.
Selalu
saja aku suka di situ karena aku merasa damai, tenang, sejuk. Kesemuanya
seperti menjalar dari ujung rambut lalu tergerus oleh merah darah dari pembuluh
ke jantung, lalu hati, lalu jantung, lalu pembuluh ke seluruh tubuh. Terus saja
begitu. Tak henti. Ia mensuplai, menjadi gizi, bagi kulit, bagi tulang, bagi rambut,
bagi otak, bahkan perasaanku yang tak mampu kujamah.
Sementara
bungamu kuciumi dengan lekat. Kupeluk dengan erat. Kutumpuk ia di atas dadaku.
Kulempar ke udara seperti bebunga orang-orang di pesta: berdesak-desakan di
udara lalu jatuh kembali menghantam dadaku yang mulai ringkih dan lemah.
Itu
semua kulakukan sendiri. Di tengah padang kesepian. Yang ada hanya angin. Hanya
hujan. Hanya siang. Hanya malam. Yang berganti-ganti menjadi petunjuk gugurnya
umur. Maka di sisa umur ini, aku ingin abdikan diri untuk terus menjaga dan
merawatnya. Karena dengan begitu aku bisa tenang. Meninggalkan kehidupan ini
dengan senyum yang ringan.
Pada
pembaringanku aku mengingat setiap jengkalmu. Mengingatmu yang membelai
jantungku. Mengingatmu yang mendekap hatiku. Mengingatmu yang selalu menolak
untuk kulakukan sebaliknya padamu. Katamu, “Jangan sebab Tuhan memarahi kita,”.
Kau jelaskan, ini jalan yang tak lazim. Ketaklaziman yang bagiku sangat
menyesakkan. “Kita akan melawan takdir,” tegasku. Tapi kau tak pernah mau
melakukannya bersamaku. Aku tak benar-benar jera dengan penolakanmu. Maka aku
lakukan sendiri saja, meski kelak pada akhirnya pemilik cinta abadi itu murka
atas kehinaanku. Bukankah ini telah Ia fahami melebihi kefahaman kita akan
muasalnya?
Orang-orang
mulai menyebutku gila. Aku menerimanya, sebab aku memang telah menggilaimu. Majnun. Kegilaan yang akan diiringi oleh
kegilaan lainnya. Kegilaan yang akan kau temui dalam semua hal yang terfikirkan
oleh segenap otak manusia. Dalam semua hal yang tersadar maupun tidak. Di situ
selalu ada kegilaanku yang setiap orang akan tak sama dalam mencerapnya. Maka
gelak tawa adalah biasa. Hinaan adalah biasa. Gossip adalah biasa. Semua yang
buruk tentang kegilaanku adalah kebiasaan yang melekat pada mata hati mereka
yang tak memahami ini suci putih, tak noda seperti muasalnya.
Dalam
pembaringanku yang lama ini, aku hanya minum dari embun yang jatuh dari
ujung-ujung dedaunan yang dikumpulkan kumbang. Sementara makananku hanya
serbuk-serbuk sari yang menempel di sayap-sayap serangga. Dari situ aku masih
bertahan menjagamu. Dalam kesendirian. Dalam kesepian. Dalam hening. Dalam
kepapaan dan kesederhanaan.
Aku
terus berdoa. Merapal mantra. Membakar dupa. Agar kau terus mendekat. Mendekat
serupa Hawa yang menemui Adam yang kesepian di tengah kemahasegalaan. Berkat
Tuhan. Hawa ditumbuhkan dari rusuk Adam. Dan begitulah harap ini. Begitulah doa
ini. Mengalir dari zaman ke zaman. “Tuhan segeralah. Tumbuhkan ia di kelembutan
hati. Mengakar dalam bilik-bilik jantungku,”. Keyakinanku; Tuhan adalah tuan
yang baik. Maka doa berbuah nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar