Kamis, 30 Juni 2011

Catatan Pendek Mahasiswa Tua


Catatan 24 Agustus 2010

Lamat-lamat kenangan menjadi mahasiswa baru terulang kembali. Menjalani masa orientasi yang menjengkelkan. Lalu mengikuti jadwal kuliah yang padat.
Tapi buatku menjadi mahasiswa juga adalah masa ketika aku menemukan dunia baru yang lain dari dunia awal yang aku jalani. Maka kata-kata lawas yang sering kudengar terasa sudah: ibu kota lebih kejam dari seorang ibu tiri. Untuk masalah ini biar kupaparkan di lain waktu.
Kenangan 5 tahun lebih itu seakan menjadi awal yang lain dari hidupku. Aku yang dididik dengan jiwa kebebasan, kini menemukan lokus yang bisa memberiku ruang yang leluasa untuk mengekspresikan itu.
Awalnya, aku tak tertarik untuk langsung menjejakkan kaki di dunia aktivis. Tapi seperti ada panggilan hati untuk terjun di situ.
Suatu saat aku tertarik dengan organisasi berideologi agama, tapi niat itu tak kesampaian. Karena bagiku mereka adalah orang-orang yang tak bisa kupercaya. Pilihanku semakin jelas dan mantap ketika aku menjalani tahun-tahun yang lebih panjang, mereka hanya menggunakan organisasi berbasis keagamaan itu sebagai batu loncatan mendapatkan reputasi. Tak lebih. Selepas menjadi mahasiswa, beberapa aktivis dari kalangan mereka kemudian menyebrang menjadi kaula penguasa yang dulu diserang jika kepentingan kelompok mereka ditekan. Akhirnya, menginjak tahun kedua aku masuk mendaftar sebagai anggota organisasi pers kampus.
Di organisasi ini aku bergelut dengan berbagai pemikiran. Aku otodidak saja. Terinspirasi dari lingkungan kampus, aku lahap semua buku-buku yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Aku duduk berdiskusi dengan kawan-kawan yang lain. Aku termotivasi oleh kawan-kawan pergerakan yang pandai bicara, orasi tentang kapitalis birokrat, imperialisme, borjuis, proletar, buruh-tani dan kaum miskin kota.
Di organisasi itu pula aku belajar berbagai keterampilan teknis yang lain, selain menulis dan mengembangkan kapasitas intelektual.
Lima tahun sudah aku menyandang predikat menjadi mahasiswa. Dan masih ada dua tahun lagi masa yang diberikan untuk itu. Ini di luar prediksi orang-orang, jika aku akan keluar cepat dengan nilai bagus. Bagaimana tidak, dulu aku menjadi kebanggan orang tua dan keluarga. Di sekolah tingkat lanjut, aku selalu mendapat prestasi bagus.
Bila hari aku bertemu dengan seorang sahabatku. Ia heran dengan kondisi studyku yang tak kunjung selesai. Apakah penyebabnya? Organisasikah? Selama ini, keterlambatan menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi selalu dikaitkan dengan keikutsertaan saya pada salah satu organisasi atau kegiatan kampus. Tapi buatku bukan itu.
Tak ada alasan yang tepat untuk menyalahkan organisasi. Buatku, organisasi adalah rumah. Rumah sekaligus sekolahku. Universitas yang mendidik manusia atau anak-anak Indonesia menjadi manusia yang berkarakter dan punya mental baja. Meskipun tak semua keluaran organisasi mahasiswa seperti itu. Tapi aku berharap aku bisa seperti itu.
Bukan organisasi yang membuat aku tak selesaikan kuliah sampai saat ini. Ini lebih kepada pilihan hidup. Prinsip. Orang-orang tak bisa menggugat saya dengan keadaan itu. Karena setiap pilahan hidup yang terperikan lewat ucapan atau tindakan punya resiko. Dan setiap resiko dari pilihan hidup itu harus berani dihadapi. Apa pun itu. Apa pun risikonya. Kalau pun aku tak kuasa, itu lebih karena dilemma yang tak kuasa aku tahan: antara pilihan hidup sebagai individu yang bebas, tuntutan orang tua. Tapi aku lebih sering memilih jalan hidup sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar