Jumat, 28 September 2012

SURVEI DAN KONTROL KEKUASAAN


SURVEI DAN KONTROL KEKUASAAN[1]
Oleh: Ramli
(Volunteer SOMASI NTB dan Penggagas Lembaga Survei Kampus)

Sangat mengejutkan. Bocoran hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia yang didanai Partai Demokrat dalam menjaring pemahaman masyarakat tentang program unggulan pemerintah provinsi NTB sangat mencengangkan publik. Disebutkan, 50 persen lebih responden menyatakan tidak paham program unggulan pemprov (Suara NTB, 2/1). Banyak yang ragu, namun tak sedikit pula yang percaya.
Survei sebagai sebuah metodologi seringkali mengejutkan banyak pihak, terutama kalangan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Bagaimana tidak, pekerjaan bertahun-tahun yang dibumbui aneka macam bentuk pencitraan, propaganda, bahkan mobilisasi akhirnya harus roboh seketika oleh hasil survei. Bayangkan saja, pada kasus hasil survei LSI di atas, bagaimana tercengangnya pemerintah provinsi setelah kurang lebih 3 tahun dan dengan gelontoran dana ratusan miliar, program-program unggulan pemerintah provinsi nyatanya belum dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Ini masalah besar yang dihadapi pemerintah provinsi.
Tahun 2011 saja, pemerintah provinsi menggelontorkan anggaran fantastis untuk program PIJAR dengan total Rp. 30,68 miliar dan jika ditotal dengan program unggulan lain, anggaran yang tersedot sebesar Rp. 206 miliar lebih.
Membaca hasil survei tersebut, ada pertanyaan menggelitik di benak kita: bagaimanakah peluang ketercapaian target program unggulan jika dalam masa 3 tahun saja hasilnya tidak signifikan. Akankah bisa tercapai dalam 2 tahun sisa pemerintahan TGB-BM? Masyarakat tentu akan angkat topi jika target tercapai. Namun persoalannya, 2 tahun sisa masa pemerintahan ini diprediksi oleh berbagai kalangan, energy dan waktu akan lebih banyak terkuras untuk persiapan pemilukada 2013 dan pemilu 2014.
Pemerintah wajar jika cemas dan gusar atau mungkin meragukan hasil survei sebagai sebuah feedback dalam komunikasi politik, pasalnya pemprov dalam berbagai kesempatan menyampaikan optimisme yang tinggi. Dengan munculnya pernyataan meragukan dari kalangan pemerintah provinsi dan para pendukungnya atas hasil survei yang dilaksanakan sendiri, malah ini menjadi tamparan keras buat pemprov. Publik tertawa geli. Bagaimana mungkin pemerintah meragukan sendiri hasil surveinya?
Survei atau dalam beberapa literature disebut polling pada dasarnya adalah sebuah metodologi untuk pengungkapan ekspresi opini atau pendapat umum terhadap sebuah isu atau kebijakan. Dan survei bukanlah metodologi akal-akalan atau mitis melainkan metodologi ilmiah yang dapat dibuktikan kebenarannya secara matematis atau statistic modern. Artinya, kesalahan hasil survei hanya bisa terjadi jika prosedur atau tahapannya salah atau terjadi manipulasi.  Menurut Daniel Dhakidae (1999) ukuran gagal atau tidaknya sebuah survei, ditentukan oleh dua hal, akurasi dan presisi. Sehingga, pada dasarnya hasil survey dapat diperdebatkan, menyangkut hal-hal yang bersifat teknis-prosedural.
Survei atau polling membantu meningkatkan efesiensi demokrasi, atau dalam bahasa Peneliti Senior LSI Burhanudin Muhtadi, keduanya memiliki hubungan simbiosis mutualistik. Bahkan di Amerika muncul anggapan bahwa polling adalah pilar kelima demokrasi setelah legislative, ekskutif, yudikatif, dan pers (Eriyanto, 1999).
Dalam prakteknya, survei banyak digunakan untuk berbagai tujuan oleh berbagai kalangan. Dalam konteks politik, kelompok-kelompok independen dan professional dari kalangan sipil, umumnya melakukan survei untuk keperluan controlling terhadap pemerintahan atau kekuasaan. Sementara ada beberapa lembaga survei didanai oleh kelompok politik tertentu dan juga oleh kalangan lingkar kekuasaan. Penggunaan survei oleh lingkaran kekuasaan biasanya dipergunakan untuk mendapat feedback dari public atau masyarakat terhadap berbagai program dan kebijakan. Hasil survey yang dilaksanakan lingkar kekuasaan akan bernasib ganda: jika buruk tidak akan dipublikasi. Namun jika menunjukkan tren positif, akan dimanfaatkan untuk mendorong tingkat dukungan publik.
Catatan Burhanudin Muhtadi, kegiatan survey politik dan kebijakan public mendapat angin segar segera setelah Orde Baru tumbang. Tahun 1999, tercatat hanya ada lima lembaga survey. Tahun-tahun berikutnya bermunculan hingga ratusan lembaga. Artinya, sepanjang kekuasaan Soeharto yang represif, kegiatan-kegiatan survey politik dan kebijakan public adalah kegiatan yang sangat mengkhawatirkan pemerintah dan dapat menggoyang legitimasi rezim. Sehingga kegiatan survei politik hanya dapat berlangsung di saat atmosfer keterbukaan dan kebebasan ada, dengan berjalannya empat pilar demokrasi sesuai peran dan fungsi.
Sementara itu, menurut amatan saya di NTB hingga saat ini, survei belum menjadi sesuatu yang dianggap penting untuk melakukan control kekuasaan. Padahal kemampuan metodologi ini dalam melakukan penjajakan opini public dapat diandalkan untuk mengontrol dan memberikan tekanan. Sayangnya, tak banyak dipergunakan oleh masyarakat sipil untuk memantau opini atau pendapat public dalam menggalang dukungan terhadap isu atau wacana yang diperjuangkan. Di lain pihak, kelompok-kelompok pilitik lebih intens untuk memanfaatkan lembaga survei professional atau lembaga survei internal yang biasa dipergunakan menjelang pemilu atau pemilu kada guna menjaring aspirasi pemilih, memantau akseptabilitas dan elektabilitas calon yang diusung. Dan yang paling parah adalah ketika lembaga survei menjadi alat pesolek kekuasaan yang dibarengi dengan tindakan manipulasi-manipulasi dan pemutarbalikan fakta dan realitas.
Setiap angka-angka atau persentase-persentase yang dihasilkan dari kegiatan survei atau polling, sevalid dan sepresisi apa pun, hanya akan menjadi onggokan angka-angka di atas kertas dan tidak akan memberikan dampak berarti dan signifikan, jika para pemangku kepentingan tidak memberikan respon positif dan media tidak terlibat atau dlibatkan dalam hal publikasi.  




[1] Dimuat di Harian Umum SUARA NTB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar