SURVEI DAN KONTROL KEKUASAAN[1]
Oleh: Ramli
(Volunteer
SOMASI NTB dan Penggagas Lembaga Survei Kampus)
Sangat
mengejutkan. Bocoran hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia yang didanai
Partai Demokrat dalam menjaring pemahaman masyarakat tentang program unggulan
pemerintah provinsi NTB sangat mencengangkan publik. Disebutkan, 50 persen
lebih responden menyatakan tidak paham program unggulan pemprov (Suara NTB,
2/1). Banyak yang ragu, namun tak sedikit pula yang percaya.
Survei
sebagai sebuah metodologi seringkali mengejutkan banyak pihak, terutama
kalangan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Bagaimana tidak, pekerjaan
bertahun-tahun yang dibumbui aneka macam bentuk pencitraan, propaganda, bahkan
mobilisasi akhirnya harus roboh seketika oleh hasil survei. Bayangkan saja,
pada kasus hasil survei LSI di atas, bagaimana tercengangnya pemerintah
provinsi setelah kurang lebih 3 tahun dan dengan gelontoran dana ratusan
miliar, program-program unggulan pemerintah provinsi nyatanya belum dipahami
oleh sebagian besar masyarakat. Ini masalah besar yang dihadapi pemerintah
provinsi.
Tahun
2011 saja, pemerintah provinsi menggelontorkan anggaran fantastis untuk program
PIJAR dengan total Rp. 30,68 miliar dan jika ditotal dengan program unggulan
lain, anggaran yang tersedot sebesar Rp. 206 miliar lebih.
Membaca
hasil survei tersebut, ada pertanyaan menggelitik di benak kita: bagaimanakah
peluang ketercapaian target program unggulan jika dalam masa 3 tahun saja
hasilnya tidak signifikan. Akankah bisa tercapai dalam 2 tahun sisa
pemerintahan TGB-BM? Masyarakat tentu akan angkat topi jika target tercapai.
Namun persoalannya, 2 tahun sisa masa pemerintahan ini diprediksi oleh berbagai
kalangan, energy dan waktu akan lebih banyak terkuras untuk persiapan
pemilukada 2013 dan pemilu 2014.
Pemerintah
wajar jika cemas dan gusar atau mungkin meragukan hasil survei sebagai sebuah feedback dalam komunikasi politik, pasalnya
pemprov dalam berbagai kesempatan menyampaikan optimisme yang tinggi. Dengan munculnya
pernyataan meragukan dari kalangan pemerintah provinsi dan para pendukungnya
atas hasil survei yang dilaksanakan sendiri, malah ini menjadi tamparan keras
buat pemprov. Publik tertawa geli. Bagaimana mungkin pemerintah meragukan
sendiri hasil surveinya?
Survei
atau dalam beberapa literature disebut polling pada dasarnya adalah sebuah
metodologi untuk pengungkapan ekspresi opini atau pendapat umum terhadap sebuah
isu atau kebijakan. Dan survei bukanlah metodologi akal-akalan atau mitis
melainkan metodologi ilmiah yang dapat dibuktikan kebenarannya secara matematis
atau statistic modern. Artinya, kesalahan hasil survei hanya bisa terjadi jika
prosedur atau tahapannya salah atau terjadi manipulasi. Menurut Daniel
Dhakidae (1999) ukuran gagal atau tidaknya sebuah survei, ditentukan oleh dua
hal, akurasi dan presisi. Sehingga, pada dasarnya hasil survey dapat
diperdebatkan, menyangkut hal-hal yang bersifat teknis-prosedural.
Survei
atau polling membantu meningkatkan efesiensi demokrasi, atau dalam bahasa
Peneliti Senior LSI Burhanudin Muhtadi, keduanya memiliki hubungan simbiosis
mutualistik. Bahkan di Amerika muncul anggapan bahwa polling adalah pilar
kelima demokrasi setelah legislative, ekskutif, yudikatif, dan pers (Eriyanto,
1999).
Dalam
prakteknya, survei banyak digunakan untuk berbagai tujuan oleh berbagai kalangan.
Dalam konteks politik, kelompok-kelompok independen dan professional dari
kalangan sipil, umumnya melakukan survei untuk keperluan controlling terhadap pemerintahan atau kekuasaan. Sementara ada
beberapa lembaga survei didanai oleh kelompok politik tertentu dan juga oleh
kalangan lingkar kekuasaan. Penggunaan survei oleh lingkaran kekuasaan biasanya
dipergunakan untuk mendapat feedback dari
public atau masyarakat terhadap berbagai program dan kebijakan. Hasil survey
yang dilaksanakan lingkar kekuasaan akan bernasib ganda: jika buruk tidak akan
dipublikasi. Namun jika menunjukkan tren positif, akan dimanfaatkan untuk
mendorong tingkat dukungan publik.
Catatan
Burhanudin Muhtadi, kegiatan survey politik dan kebijakan public mendapat angin
segar segera setelah Orde Baru tumbang. Tahun 1999, tercatat hanya ada lima
lembaga survey. Tahun-tahun berikutnya bermunculan hingga ratusan lembaga. Artinya,
sepanjang kekuasaan Soeharto yang represif, kegiatan-kegiatan survey politik dan
kebijakan public adalah kegiatan yang sangat mengkhawatirkan pemerintah dan
dapat menggoyang legitimasi rezim. Sehingga kegiatan survei politik hanya dapat
berlangsung di saat atmosfer keterbukaan dan kebebasan ada, dengan berjalannya
empat pilar demokrasi sesuai peran dan fungsi.
Sementara
itu, menurut amatan saya di NTB hingga saat ini, survei belum menjadi sesuatu
yang dianggap penting untuk melakukan control kekuasaan. Padahal kemampuan
metodologi ini dalam melakukan penjajakan opini public dapat diandalkan untuk
mengontrol dan memberikan tekanan. Sayangnya, tak banyak dipergunakan oleh
masyarakat sipil untuk memantau opini atau pendapat public dalam menggalang
dukungan terhadap isu atau wacana yang diperjuangkan. Di lain pihak,
kelompok-kelompok pilitik lebih intens untuk memanfaatkan lembaga survei
professional atau lembaga survei internal yang biasa dipergunakan menjelang
pemilu atau pemilu kada guna menjaring aspirasi pemilih, memantau
akseptabilitas dan elektabilitas calon yang diusung. Dan yang paling parah
adalah ketika lembaga survei menjadi alat pesolek kekuasaan yang dibarengi
dengan tindakan manipulasi-manipulasi dan pemutarbalikan fakta dan realitas.
Setiap
angka-angka atau persentase-persentase yang dihasilkan dari kegiatan survei
atau polling, sevalid dan sepresisi apa pun, hanya akan menjadi onggokan
angka-angka di atas kertas dan tidak akan memberikan dampak berarti dan
signifikan, jika para pemangku kepentingan tidak memberikan respon positif dan
media tidak terlibat atau dlibatkan dalam hal publikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar