Kamis, 30 Juni 2011

STRATEGI PEMANGSAAN

STRATEGI PEMANGSAAN (PREDATORISME) HEWAN LAUT

Ekologi berkepentingan dalam menyelidiki interaksi antar organism dengan lingkungannya. Interaksi antar organism dan lingkungannya memungkinkan keseluruhan organism tetap eksis. Suatu organisme hidup akan selalu membutuhkan organisme lain dan lingkungan hidupnya. Hubungan yang terjadi antara individu dengan lingkungannya sangat kompleks, bersifat saling mempengaruhi atau timbal balik. Hubungan timbal balik antara unsur-unsur hayati dengan nonhayati membentuk sistem ekologi yang disebut ekosistem.
Di dalam ekosistem terjadi rantai makanan, aliran energi, dan siklus biogeokimia.  Interaksi antarkomponen ekosistem dapat merupakan interaksi antar organisme, antar populasi, dan antar komunitas. Interaksi antar organisme dalam komunitas ada yang sangat erat dan ada yang kurang erat. Interaksi antarorganisme salah satunya dapat berupa pemangsaan atau predasi.
Sebagian besar spesies heterotrofik mendapatkan makanan dengan memangsa organism yang lain. Sebagian besar predator lebih besar dari pada mangsanya. Hubungan mereka dengan mangsa biasanya bersifat sementara, yaitu hanya jangka waktu yang diperlukan untuk memakannya.
Terdapat beberapa strategi pemangsaan yang sering teramatai pada organism predator sebelum melakukan pemangsaan, diantaranya penyamaran dan mimikri.
Pola predatorisme pada organism air (laut) sangat bervariasi. Ada yang menggunakan penyamaran dengan substrat sehingga tidak terlihat oleh mangsanya. Contohnya pada jenis ikan lepu tembaga yang warna punggung terlihat putih sangat kontras dengan warna bagian sisi dan perutnya yang cerah. Sedangkan bentuk predatorisme yang nyata adalah invasi jenis bintang laut seribu yang memakan polip-polip karang dengan cara menghisap. Bentuk predatorisme yang demikian lebih aktif dari pada ikan lepu tembaga yang bersifat pasif menunggu ikan lewat, dan itu pun mengkonsumsi 1 hingga 2 ekor ikan. Sedangkan predatorisme yang aktif, mangsanya lebih besar.
Ada beberapa jenis ikan seperti ikan kerapu, ikan trigger dan ikan napoleon yang pernah diamati memakan bintang laut berduri dewasa. Ikan-ikan ini menghindar dari duri tubuh yang beracun dengan cara membalikan bintang laut berduri sehingga bagian bawah menghadap atas dan mudah dimangsa. Triton  raksasa (Charonia tritonis) dan udang warna (Hymeno cerapicta) juga merupakan predator bintang laut berduri. Pemangsaan juga terjadi pada karang oleh predatornya (Acanthaster planci, Chaetodontidae, Tetraodontidae).

Skema hubungan antara berbagai jenis ikan dalam ekosistem terumbu karang, yang menyokong sistem perikanan.

Bentuk krustase infaunal maupun epifunal berhubungan erat dengan produsen primer dan berada pada tingkatan trofik yang lebih tinggi, karena selama masa juvenil dan dewasa mereka merupakan sumber makanan utama bagi berbagai ikan dan invertebrata yang berasosiasi dengan lamun.
Rajungan menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya dengan mengubur diri dibawah permukaan substrat, dimana mereka mengintai untuk menyergap ikan atau invertebrate yang lewat; tergolong spesies yang sangat agresif.
Sifat kanibalisme juga terjadi pada lobster air tawar, Cherax. Dalam dunia hewan dikenal istilah kanibalisme. Istilah itu diartikan sebagai suatu sifat hewan yang suka memangsa sesamanya. Dalam budidaya perikanan juga dikenal istilah itu. Bahkan kanibalisme sangat ditakuti oleh para pembudidaya, karena termasuk salah satu faktor yang dapat menimbulkan kerugian. Seperti yang sering terjadi pada budidaya lobster air tawar.
Sifat kanibalisme pada Cherax mulai muncul 2 – 3 minggu setelah menjadi larva, saat dimana larva sudah membutuhkan pakan dari luar. Sifat ini terus berkembang dan lebih tajam lagi terjadi saat benih. Maka tak heran, kegagalan budidaya Cherax sering terjadi pada tahap pembenihan, sehingga kegiatan ini menjadi kunci utama keberhasilan usaha Cherax.
Sifat kanibalisme pada Cherax merupakan sifat bawaan. Sifat ini muncul ketika melihat Cherax yang sedang atau baru ganti kulit, atau moulting. Karena pada saat itu kondisi tubuh Cherax itu sedang lemah, lebih banyak diam di tempat persembunyian, dan tidak bisa bergerak normal untuk menghindari serangan musuhnya.
Cherax yang sedang moulting cenderung menghindari dari yang lain, agar tidak diganggu atau menjadi mangsa yang lain. Karena itu Menurut Iskandar (2003) wadah budidaya harus dilengkapi dengan tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai tempat persembunyian, misalnya dengan menggunakan potongan-potongan pralon panjang 8-15 cm atau tumpukan batu bata/genteng. Tujuannya untuk mengurangi risiko kematian akibat sifat kanibalisme yang muncul.
Sifat kanibalisme juga terjadi pada Cherax dewasa, yaitu terhadap telur dan larva Cherax kecil yang baru menetas. Karena itu pada saat pembenihan, induk yang sudah bertelur harus dipisahkan dari anaknya, atau disimpan dalam wadah pemeliharaan yang berbeda. Namun jarang ditemukan induk yang sedang bertelur memakan larvanya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar