AKU PEREMPUAN
Oleh: Ramli
Tidak
terasa, satu bulan menggelinding begitu saja. Hari-hari yang berlalu seolah tak
ada yang berbeda dan berubah. Lampu-lampu café, meja-meja kayu bundar dengan
kursi empuknya, sofa-sofa merah muda, dan lagu-lagu dangdut yang terdengar
berulang-ulang. Begitu juga tamu-tamu café yang itu-itu saja; pejabat-pejabat
yang butuh hiburan, para pengusaha yang kelelahan. Kalau pun ada muka baru,
paling anak-anak muda yang cari pengalaman.
Malam
yang ke-31. Ya, aku memandang angka 1 di bulan November. Bulan baru. Aku
lingkari angka itu. Lingkaran yang ke-31. Lingkaran yang tak berjeda, seperti
pekerjaanku ini, tak ada liburnya. Meskipun masuk bulan baru, tapi aku tak
merasakan sesuatu yang baru dalam hidupku, selain perasaan bersalah dan
bayang-bayang putri kecilku di rumah, Eliza.
“El,
kok masih di dalam?” suara dari luar kamar menyelusup dari etalase. “El,..Elly”
panggilnya. Aku menerka-nerka suara itu. “Ayo, El. Sudah waktunya kerja,”
ingatnya. Aku yakin itu suara Siska. Sahabat yang kukenal selama satu bulan
bekerja di café. Ia mengaku berasal dari Bandung. Perawakannya tinggi semampai.
Kulitnya kuning langsat, rambutnya lurus, giginya diberi kawat.
“Ya,
tunggu,” sahutku. Aku bergegas. Kupandangi sekali lagi wajahku di cermin. Oh,
lipstick. Aku belum memerahkan bibirku. Lalu aku membuka pintu dan menutupnya
kembali lantas mengikuti Siska dari belakang.
…………………
Sekarang
aku tempati rumah baru bersama suamiku. Tapi kami tidak tinggal berdua,
melainkan bertiga bersama seorang gadis yang cantik. Dia bernama Evita, keponakan
suamiku. Anak dari saudara perempuannya. Ia seorang gadis cantik seumuran
saudara terakhirku. Saat pertama kali bertemu dan diperkenalkan suamiku, Evita
memperlihatkan raut muka tak suka kepadaku. Ia membuang muka lalu masuk ke
kamarnya. Padahal aku berusaha memperlihatkan wajah bersahabat dan mengumbar
senyum.
“Kami
sudah kawin siri,” kata suamiku. Aku dengar suara itu dengan jelas mengingat
kamarku dengan kamar Evita hanya dipisahkan oleh tembok saja.
“Tapi
aku tidak suka perempuan itu di sini,” sanggahnya. “Aku benci sama Paman.
Gara-gara dia, rumah tangga Paman jadi berantakan,” katanya keras. Ah, darahku
berdesir. Lututku serasa tak mampu lagi menopang tubuhku. Aku tak kuasa
mendengar kata-kata itu. Sementara itu, aku tak mendengar lagi kata-kata yang
lain dari mulut suamiku.
Kudengar
suara langkah kaki suamiku mendekat ke ujung pintu kamar. Cepat aku baringkan
tubuh dan pura-pura tertidur. Dari sela bantal guling yang kupeluk, aku melihat
suamiku duduk di pinggiran ranjang. Ia mendesah. Kedua tangannya menopang kepalanya yang tampak jatuh. Rambutnya
kusut. Lalu ia mengambil nafas dalam-dalam. Mendesah lagi. Tapi kini ia membalikkan tubuh.
“Ma’afkan
aku sayang,” katanya seperti berbisik. “Aku akan berusaha bagaimana pun caranya
untuk meyakinkan mereka,” lanjutnya. Mendapati ini semua, aku menjadi merasa
bersalah dengan pilihanku. Tapi apa aku salah telah memilih lelaki yang aku
kenal dua hari saja ini kemudian aku izinkan dia memilikiku? Tidak, pilihanku
sudah tepat. Tidak ada yang salah. Bukankah setiap pilihan
memiliki resiko masing-masing? Malah aku
akan terus dihantui rasa bersalah jika aku tak melepaskan diri dari gemerlap dunia
malam ini. Hanya keterpaksaan ekonomi
yang menyeret aku memasukinya.
…………………………………
Sebulan
saja, kebahagian yang bercampur dengan berbagai macam tekanan batin ini
berlangsung. Sebulan seperti waktu aku masih menjadi penghibur di café.
Jam
dinding yang tergantung di ruang tamu terus saja berdetak, seperti mengejar dan
memaksa aku untuk secepatnya pergi meninggalkan rumah ini. Aku sudah siapkan
semua bawaan. Satu koper pakaian, boneka, alat kosmetik, semuanya sudah aku
bereskan. Lama aku mengingat-ingat sesuatu yang mungkin tertinggalkan dan
terlupakan. Kubuka tas jinjingku. Kudapati dompet, BB, dan tiket pesawatku. Tak
ada yang tertinggal. Tapi kenapa perasaanku seolah tak tenang. Aku ingat-ingat
lagi. Ah, ternyata Evita. Ya, gadis cantik yang selama ini menemani aku
mengusir jenuh dan kesepianku itu. Ia tak tampak. Pagi sekali ia meninggalkan
rumah. aku tak sempat membuatkan sarapan untuknya, sebab aku pulas, kelelahan
mempersiapkan barang-barang bawaan.
“Evita
kemana, Mas?” tanyaku pada suami.
“Ke
kampus,” jawabnya singkat. Oh, ini hari terakhirku. Aku ingin meninggalkan
senyum untuknya sebagai pertanda sayangku padanya. Dan aku juga ingin
memberinya hadiah tangis dan air mata sebagai penutup pertemuan yang hanya
sebulan ini. Tangis dan airmata sebagai lambang rasa cinta dan kerinduan yang
mendalam.
“Ayo
berangkat. Pesawatnya berangkat sejam lagi. Perjalanan ke bandara hampir
sejam,” tegas suamiku. Aku terdiam. Berat rasanya aku langkahkan kaki. Saat
deru mobil meninggalkan kompleks rumah itu, aku masih membuang pandang ke dalam
halamannya sambil mengingat kesan-kesan yang melintas di kepala.
Setelah
tiga jam di udara, aku tiba di Jakarta pukul 16.15 WIB. Kunyalakan BB-ku. Satu
panggilan masuk. Evita. Aku nyaris histeris mendapat telepon dari gadis cantik
itu.
“Kenapa
Teteh tidak menunggu aku pulang dulu. Aku kangen sama Teteh,” katanya sambil
terisak. “Kenapa Teteh pergi?” tanyanya. Mendengar pertanyaan itu, aku seolah
tak percaya, sebulan menghabiskan masa-masa sulit, ternyata menggoreskan
kenangan yang tak terlupakan dengan gadis cantik itu. “Bukankah dulu Evita tak
suka dengan kehadiranku?” bisikku dalam hati. Tapi untuk apa aku bertanya
seperti itu. Itu telah berlalu. Sekarang aku benar-benar merasa diri berharga
dan dihargai sebagai bagian dari kelurga suamiku, meskipun hanya Evita. Sebab
aku tahu beberapa saudara suamiku masih tak juga membuka pintu hati untukku.
Dua
hari setelah aku meninggalkan Pulau
Pedas, aku tak pernah mendapat telepon atau
sekedar pesan singkat dari suamiku. Padahal rinduku berpilin-pilin serupa bola
salju. Rindu yang menggenang. Rindu yang tiada putusnya. Dalam kerinduan ini
pula, aku menjadi asing di rumah sendiri. keterasingan yang melahirkan kesepian
yang dingin. Dan esok penantian serta pengharapan akan kedatangan suamiku ke Cianjur
akan terus berlanjut. Sebab aku hanya akan kembali ke Lombok jika ia datang
menjemputku dan berani memperkenalkan diri kepada ibuku, bahwa kami telah
menikah sebulan yang lalu.
…………………………………………………
Di
Cianjur, aku tinggal berempat;
ibuku yang menginjak usia 58 tahun, adikku yang seumuran Evita, dan putri
kecilku Eliza. Kami tinggal di sebuah rumah peninggalan almarhum ayah. Sebuah
rumah mungil hasil jerih payahnya menggarap sebidang tanah yang sempit. Rumah
dengan dua kamar tidur dan satu kamar tamu. Rumah dengan halaman yang sempit
pula untuk ukuran rumah di desa.
Di
rumah ini aku membangun asa. Semenjak kecil, bersama dua orang kakakku yang
perempuan semua, kami membantu ayah di sawah. Kadang aku ikut ibu menjual kue
di pasar. Hidup yang keras dan cadas sudah aku cicipi dari kecil. Demikianlah
kami pada akhirnya memiliki mimpi yang seragam soal masa depan. Mimpi yang
mungkin terlampau tinggi untuk ukuran orang kampung yang hidup tak
berkecukupan. Kami mimpi menjadi orang berada seperti bapak kepala desa, yang
punya mobil, yang punya tanah berhektar-hektar, yang punya rumah berlantai dua.
Mimpi semua orang miskin di desa.
Tapi
mimpi besarku segera berantakan setelah ayahku meninggal karena serangan
jantung. Ayah yang menjadi tumpuan kami sudah kembali kepada Yang Maha Kuasa.
Aku tak menyelesaikan sekolahku. Cukup sudah sampai kelas dua tingkat atas. Aku
sendiri yang memutuskan untuk berhenti, bukan atas desakan kelurga. Sebab aku
tak kuasa melihat ekonomi kelurga yang tak mencukupi. Ditambah lagi ibuku mulai
sakit-sakitan. Sementara dua kakak perempuanku telah berkelurga. Selain itu,
dua orang adikku yang juga perempuan masih kecil dan mereka lebih berhak untuk
mengenyam pendidikan. Kami tak bisa mengandalkan pemberian dari kedua kakakku,
sebab mereka pun sama-sama hidup tak tentu.
Maka,
di musim tanam aku bekerja menjadi buruh tani. Dan jika musim kemarau, aku
pergi ke kota bersama seorang tetanggaku yang sudah lama bekerja di sana. Di
kota kami bekerja di rumah seorang pengusaha. Setiap pagi kami menyiapkan
sarapan untuk keluarga pengusaha itu. Mereka tampak senang dengan pekerjaan
kami. Dengan begitu, aku mengumpulkan uang untuk biaya ibuku berobat, untuk
makan sehari-hari, dan untuk biaya pendidikan adik-adikku.
……………………………………………
Di
kota pulalah aku mengenal seorang lelaki bernama Nurjaman. Seorang kuli
bangunan. Setiap pagi ia setia menunggu di sebuah pos ronda di persimpangan
dekat rumah tempatku bekerja. “Aku akan selalu di sini hanya sekedar untuk
melihatmu sebentar saja sebelum aku bekerja,” jelasnya padaku suatu ketika di
pagi yang basah oleh hujan. Aku tersanjung mendengar kata-katanya. Setiap kali
bertemu dengan lelaki itu, ia bercerita banyak soal dirinya. Ia lelaki yang
juga bertempur dengan kehidupan yang keras. Ia lelaki yang datang dari
seberang, jauh di tanah Sumatera.
Nurjaman,
lelaki dari tanah seberang itu memberiku kesan yang berbeda. Di suatu pagi yang
hangat mentari, kulihat ia berdiri sendiri di tempat biasa. Tubuhnya dibalut
kaos putih dan celana jeans biru. Dari mulutnya keluar asap putih
bergulung-gulung dari batangan rokok yang terjepit di antara jari telunjuk dan
jari tengahnya. Ia tampak semakin tampan dengan sunggingan senyumnya yang tipis
saat aku saling pandang dari kejauhan. Aku mengerti betapa ia berbunga-bunga
setiap kali bertemu dengan ku.
***
Lintingan
tembakau itu diisapnya dalam-dalam lalu batangan yang bersisa 3 cm itu
diinjaknya kuat-kuat. Ia tampak begitu siap bertemu denganku pagi ini. Aku
semakin dekat dengan posisinya berdiri dan seperti biasa aku akan malu-malu
kucing untuk menyapanya terlebih dahulu, karena menurut adat kebiasaan, tak
baik seorang perempuan itu menyapa lelaki terlebih dahulu.
“Dik
El, bagaimana kabarnya pagi ini? Apakah secerah langit yang membiru?” tanyanya
seperti orang bersyair. Bukan karena ia lahir dan tumbuh di tanah Melayu, tapi
lebih karena mulai terbius cinta. Suaranya terdengar kaku. Ya, dan itu
terdengar setiap kali ia memulai pembicaraan denganku.
“Aku
baik-baik saja, Kang,” jawabku dengan kepala tertunduk. Senyum Nurjaman
melebar. Ia kegirangan mendapat sambutan yang hangat pagi ini.
“Dik
El, Aku mau mengatakan sesuatu,?” katanya. Wajahnya pucat seolah ada sesuatu
yang membuatnya amat malu. Sementara aku tak memberikan tanggapan apa-apa. Aku
masih menunggu Nurjaman angkat bicara lagi. Dari raut wajahnya aku melihat
Nurjaman ingin menyampaikan sesuatu yang penting dan serius.
“Dik
El,” katanya lagi. Lalu terdiam. Sejenak ia tampak mencari kata-kata yang
tepat. “Dik El cantik sekali,” katanya lembut sambil melepas senyumnya yang
biasa. “Aku mulai jatuh hati,” lanjutnya. Kakinya tetap kokoh di atas tanah
yang dipijak. Ia tak bergerak sedikit pun. Hanya jari jemari tangannya yang
dipermainkan seolah ingin menyembunyikan kegugupannya. Pertemuan ini tiba-tiba saja
menjadi amat kaku. Mendengar kalimat terakhirnya, aku merasa semua benda di
sekitarku seolah tak bergerak sama-sekali. Semua membatu, seperti aku yang tak
tahu perasaanku sendiri.
Tak
ada kalimat lagi yang terucap diantara kami berdua, selain desahan nafas yang
tersengal dan detak jantung yang berpacu. Hingga aku merasakan bulir peluh
menganak sungai di pelipis dan punggungku. Tubuhku berasa panas dan menggigil.
“Aku
duluan, Kang. Aku harus cepat ke pasar,” kataku dengan perasaan tak menentu.
Lalu aku meninggalkannya sendiri dengan kata-katanya yang membuat aku tak
mengerti sama sekali dengan hatiku. Senyumnya tampak mati dan beku. Aku dengar
ia menarik nafas dalam-dalam kemudian dihembuskannya keras-keras, seolah ingin
menghempaskan kekecewaanya yang dalam. Sementara matahari makin meninggi dan
embun-embun menguap.
Jalanan
mulai ramai dan waktu terus berputar hingga esok pagi yang tak juga tentu
memberinya jawaban.
***
Jarum
jam di dinding menunjukkan angka tujuh. Seharusnya matahari sudah muncul pagi
ini. Butir-butir hujan yang menghantam dinding, atap, daun-daun, juga jalanan
dan air yang menggenang; menghadirkan harmoni pagi yang sendu. Langit dari
ujung ke ujung masih digelayuti gelapnya awan.
Jalanan
masih lengang, namun sesekali tampak pejalan kaki dengan payung yang terkembang
di tangan. Di dalam rumah, apa lagi di atas ranjang tentu terasa hangat di pagi
ini. Ditambah lagi dengan selimut yang membalut tubuh. Tentu sebagian lagi akan
memilih beringsut memegang lutut di dekat perapian sambil menyantap nasi goreng
dan seruputan kopi hitam. Tapi tidak demikian dengan Nurjaman.
Lelaki
berdarah Melayu itu, seperti biasa menyepi sendiri dalam cengkeraman dingin
pagi yang menggigilkan. Di pos ronda yang tak berdinding, ia berteduh
sendirian. Bagian-bagian tubuhnya sebisa mungkin dirapatkan. Lututnya
didekatkan ke dada dengan rangkulan tangannya yang keras. Kulitnya yang sawo
matang hampir legam itu hanya dibalut kaos lengan pendek yang tipis. Rahangnya
bergemeretuk. Bulir-bulir kecil hujan yang tampak bercahaya, menempel di
seluruh bagian tubuhnya yang terbuka.
"Hujan,
kau tentu tahu dengan perasaanku yang sedingin pagi," keluhnya di dalam
hati kepada hujan. Sementara hujan terus mengganas. Hujan yang menyatu di
cekungan-cekungan mengalir di selokan dan berwarna kecoklatan.
Setengah
jam kemudian, hujan mereda dan menyisakan gerimis yang manis. Ditambah dengan
senyum matahari yang malu-malu menampakkan diri. Keduanya lalu melahirkan
pelangi. "Akan seindah itukah pagi ini?" tanya Nurjaman pada dirinya
sendiri. Nurjaman menunggu jawaban. Nurjaman menimang-nimang perasaannya sendirian.
Matahari
telah tampak meninggi. Badan jalan pun telah mengering. Orang-orang mulai
lalu-lalang dengan pikirannya masing-masing dan beberapa orang menebar senyum
dan melepas basa-basi pagi, bertukar kabar dan sapa. Sementara Nurjaman berdiri
di sisi jalan. Ia membuang pandang ke ujung-ujung jalan yang menyatu di
persimpangan. Perasaannya tak karuan.
...........................................
Aku
tak ke pasar pagi ini. Karena aku telah membeli keperluan dapur yang banyak
kemarin pagi. Sehingga pekerjaanku menjadi sedikit berkurang. Satu baskom nasi,
sup jamur hangat, telur goreng, dan sambal tomat kesukaan majikanku;
kuhidangkan di atas meja makan. Tak lupa pula aku siapkan teh hangat. Majikanku
pagi ini makan dengan semua anggota keluarga; seorang istri, dan dua orang
anaknya.
Di
pagi yang biasa, jika tak hujan, mereka biasanya tak bisa sarapan bersama.
Majikanku yang pengusaha, Tuan Faris, biasanya bangun kesiangan setelah
anak-anaknya berangkat sekolah. Anaknya yang laki-laki, Fairuz, duduk di kelas
4 tingkat dasar. Dan anak perempuannya, Tiara, masih kelas dua tingkat menengah
pertama. Berbeda dengan Nyonya, ia bangun pagi-pagi sekali. Usai sembahyang, ia
jalan kaki keliling komplek. Dilanjutkan dengan menyiram bunga dan tanaman
kesayangannya. Nyonya pun memiliki seekor kucing piaraan. Kucing berbulu merah
keemasan. Kucing itu membuntuti Nyonya kemana pun pergi.
Semua
pekerjaan selesai kukerjakan bersamaan dengan hujan mereda. Aku berjalan menuju
gerbang. Wangi pagi menyeruak di halaman. butir hujan yang terperangkap di atas
daun, menetes di ujung-ujungnya. Sekawanan burung bercengkerama menikmati pagi
yang menggeliat di ranting-ranting yang menyembulkan tunas-tunas daun muda.
Aku
membuang pandang ke ujung selatan jalan, persis di dekat persimpangan.
Kupicingkan mata agar tampak jelas. Tapi aku tak melihat siapapun di situ
berdiri seperti pagi-pagi yang biasa, selain pedagang sayur yang
memanggil-manggil pelanggannya dan seorang tukang sampah yang menarik kereta
sampah di belakangnnya. Cukup lama aku berdiri sambil menaruh harap aku
melihatnya. Tapi tiba-tiba saja suara Nyonya memanggil-manggil.
"El,...Elly,"
panggilnya dengan suara keras.
"Ya,
Nya." sahutku patuh. Aku masuk, lalu menutup gerbang. Aku panjangkan
langkahku agar cepat sampai di mulut pintu tempat nyonya berdiri.
"Siapa
yang pecahkan vas bungaku itu?" tanyanya seperti polisi berkacak pinggang
sambil menunjuk vas bunga putih yang pecah berkeping-keping. Astaga, kataku
dalam hati. Itu bunga kesayangan nyonya. Majikan perempuanku yang bertubuh
penuh lemak itu bisa menghabiskan bermenit-menit waktunya untuk merawat bunga
itu setiap pagi.
"Tidak
tahu, Nya." jawabku dengan kepala tertunduk.
Mukanya
memerah. Bibirnya bergetar. Lalu sumpah-serapah meluncur dari mulutnya dengan
begitu ringan. Aku dimaki sejadi-jadinya. Di depannya, semua nama dan sifat
yang buruk melekat padaku pagi ini. Hatiku menggigil. Mataku basah. Pagi yang
dingin menusuk berubah menjadi panas tak kepalang. Tak pernah aku mendapat
perlakuan sekasar ini. "Aku tak sudi dicaci-maki seperti ini,"
bisikku sendiri dalam hati.
............................................
Aku
sedianya akan pulang kampung dua hari lagi untuk menjenguk ibu dan adik-adikku.
Tapi tak apa aku percepat saja. Aku tak tega dengan perasaanku sendiri yang
luluh lantak ini. Aku melipat-lipat beberapa potong pakaianku sekenanya saja.
Tanpa pamit, aku meninggalkan rumah berlantai dua di tengah kota itu dengan
menyelinap lewat jendela.
Di
luar, matahari melelehkan sisa-sisa hujan. Aku percepat langkahku sehingga
seperti setengah berlari. Melangkah terus sambil membawa luka hati.
"Dimanakah lelaki penjaga pagi," kataku dalam hati. Aku ingin
berkeluh-kesah. Aku membutuhkannya.
Matahari
tepat berada di atas ubun. Panasnya menyengat. Tiga jam aku duduk mengamatinya
dari jauh. Di sebuah warung berjarak setengah kilo dari rumah majikanku yang
aku tinggalkan itu, atau 200 meter dari persimpangan tempat biasa Nurjaman
menemui aku. Tapi Nurjaman tak kunjung menampakkan diri. Meski hanya suaranya
saja. "Apa aku harus pergi?" tanyaku sendiri. Aku tak benar-benar
ingin menjawab pertanyaan itu. Aku pergi kemana? Pulang? Aku tak membawa uang.
Tapi bukan itu persoalannya. Kalaupun aku harus pulang, aku harus bertemu
sebentar saja dengan Nurjaman. Aku tak ingin membuat dia semakin kecewa.
Apalagi membuka ruang harapan tanpa jaminan atas perasaannya. Sebab, menjadi
perempuan itu harus tegas dengan perasaan sendiri. Tegas bukan berarti harus
berkata keras. Tegas itu adalah berani mengambil keputusan dengan
pertimbangan-pertimbangan. Ya, dan aku ingin melakukan itu.
Tapi
pekerjaan menunggu ini terasa menyiksa juga. Apalagi menunggu dalam
ketidakpastian. Aku benar-benar sendiri rasanya sekarang. Kalian pun pernah
merasakannya, bukan?
Kulihat
seorang lelaki berdiri membelakangi pandanganku. Ia tampak menunggu seseorang.
Lama aku perhatikan gerak-geriknya.Untuk memastikan, aku memberanikan diri
mendekat. Tapi bukan. Lelaki itu bukan Nurjaman. Lelaki itu, adalah pemilik
rumah nomor dua di dekat persimpangan. Aku sering melihatnya keluar rumah hanya
untuk menunggu penjual es cendol yang berkeliling kompleks di siang hari.
"Kang
Nurjaman,.....Akaa..ang," aku memangil-manggil namanya tanpa ragu. Aku
betul-betul yakin itu memang Nurjaman. Aku tak ingin ia berubah pikiran karena
tak melihat aku seharian, lalu meningalkan persimpangan. Sebab, jika itu
terjadi, aku tak bisa bertemu dengannya.
Dari
raut mukanya, aku bisa menebak betapa ia sumringah mendapati aku di depannya.
Tak henti-hentinya ia mengulum senyumnya yang manis.
"Kemana
saja, Dik El?" tanyanya. "Betapa aku tersiksa dengan perasaanku.
Sekali tak melihatmu, tersiksa batin ini. Tak tenang hati ini," katanya
penuh perasaan sambil mendekatkan tangannya ke dada.
Aku
mengerti dengan perasaan itu, aku membatin. Itulah yang ingin kujelaskan hari
ini kepadanya. Aku tak ingin membuat ini menjadi sesuatu yang kabur, suram, dan
penuh tanda tanya.
Untuk
itu, aku memintanya membawaku ke suatu tempat yang jauh dari amatan majikanku.
Tempat yang nyaman untuk mengeluarkan kata hati. Aku juga butuh teman hari ini,
setidak-tidaknya teman untuk mendengarkan keluh-kesahku. Bukankah teman yang
baik itu adalah yang setia mendengar curahan hati temannya?
***
Di
taman tiba-tiba saja hujan. Pengunjung yang kebanyakan muda-mudi menyesak di
bawah pohon menghindari hujan yang menderas seperti mengucur dari langit. Aku
dan Nurjaman ikut bersesak-sesak di bawah pohon angsana. Pohon yang seukuran
satu rangkulan orang dewasa itu sedang berbunga. Bunga yang biasanya muncul
menjelang musim hujan tiba. Bunganya cantik berwarna merah darah. Angin yang
mengganas, menggugurkan bunga-bunga merah itu. Tiga bunga basah hujan jatuh di
kepalaku. Lainnya berguguran di sekitar pokoknya. Tangan Nurjaman bergerak
cepat menjemput bunga-bunga itu, lalu diambil dan disupingkannya di telingaku.
"Kau
anggun," pujinya sambil memandangku lekat-lekat.
Aku
hanya menjawabnya dengan senyum dan memberanikan diri melihat matanya. Sebab
mata selalu menyimpan kebenaran. Pujiannya ikhlas, kataku dalam hati. Aku pun
sebenarnya ingin membalas pujiannya dengan berkata: "Senyummu pun manis, Nurjaman". Tapi aku teringat
nasehat ibuku. Kata ibuku, menjadi perempuan jangan mudah memberi hati kepada
lelaki dengan memberi puji. Tapi bukankah dengan begitu aku berusaha membohongi
diri sendiri? Sebab, aku pun ternyata mulai suka memuji Nurjaman. Bagiku,
membohongi perasaan sendiri adalah sama saja dengan menggali lubang kekecewaan
dan rasa bersalah yang tak termaafkan.
"Akang
pun semakin manis dengan senyum itu," balasku kali ini tanpa kusadari.
Deg.
Darahku menderas. Kurasakan ia mengalir. Mengalir menyemai benih kasih di
sekujur tubuh. Aku pun mendengar detakan jantung Nurjaman. Detak yang
dipercepat oleh perasaannya yang tak karuan. Aku mendengar detakan itu. Jelas.
Aku dan dia sama-sama menyimpan malu. Aku menyimpannya di balik wajahku yang
memerah jambu. Aih, baru kali ini aku memuji lelaki. Cerita almarhum ayahku,
lelaki kalau dipuji wanita yang disukainya, ia tak kan bisa tidur sehari
semalam. Tapi pujianku bukan untuk itu. Bukan untuk menyiksanya. Melainkan ungkapan
kejujuran perasaanku saja.
Rupanya
hujan belum berhenti bercumbu dengan angin. Dinginnya menusuk. menyelinap dan
berkembang biak di bawah kulitku. Aku menggigil.
"Ayo
pulang," ajak Nurjaman sambil menarik tanganku hampir menggengam.
Tangannya berasa hangat. Tak ingin rasanya tangan ini dilepas. Kami berhenti di
pinggir jalan, tepat ketika sebuah angkot berhenti dan sopirnya mengajak kami
menaiki angkotnya. Di dalam angkot kami tak mengeluarkan kata-kata. Kami
membisu dan membenamkan diri dalam pikiran masing-masing.
"Sampai
di sini, pak," kata Nurjaman meminta sopir itu menghentikan laju
kendaraannya. Kami berhenti di depan sebuah bangunan yang belum rampung. Sebuah
bangunan berlantai tiga. Di sana-sini aku melihat tumpukan bahan dan material.
Kerikil, pasir, kayu. Semuanya menumpuk menggunung. Dan di sisi sebelah kiri
bangunan itu, berdiri sebuah bangunan rumah berdinding lembaran-lembaran
triplek dan beratap asbes.
Nurjaman
memintaku menunggunya sebentar. Lelaki itu kemudian berjalan menuju rumah
triplek itu. Ia mengetuk-ngetuk pintu. Lalu pintu dibuka. Dari dalam keluar
seseorang dan terlihat berbincang sebentar dengan Nurjaman. Lelaki yang membuka
pintu itu melongo melihat aku yang basah kuyup. Lalu ia mengangguk. Nurjaman
tanpa bicara lagi kemudian balik badan dan menemui aku yang menggigil.
"Mari,"
katanya pendek. Ia mengajakku ke sebuah ruangan di dekat tangga. Aku
membuntutinya dari belakang. Aku tak berpikir apapun. Yang terpikir olehku
hanya keinginan mengenyahkan dingin yang mencengkeram sendi-sendi tubuhku.
Basah ini sungguh memperjelas lekuk tubuhku.
"Ayo
masuk, dik. Kenapa masih diam di situ?" katanya. Dia memandangi aku dengan
tatapan yang lain. Tatapan yang menghunjam ke dalam bola mataku lalu menjalar
ke dalam jantungku.
"Masuk dan ganti pakainmu," katanya lalu
meninggalkan aku di depan mulut pintu.
Aku masuki kamar itu. Kamar yang tak berpenerang. Hanya
sisa-sisa cahaya matahari yang terperangkap hujan; masih mengambang.
Remang-remang. Sementara hujan di luar masih bergemericik memantul-mantulkan
diri di setiap permukaan benda.
Kutanggalkan satu per satu pakain yang melekat di tubuh
hingga tak bersisa sehelai benang pun. Kuamati setiap jengkal bagian tubuhku
dari bawah leher, tangan, hingga ke ujung kaki. Aku terkagum dengan tubuh
pemberian Tuhan ini. Aku teringat kata pujian si tukang sampah yang berbisik
kepada Nyonya; yang kudengar tak sengaja. Perempuan yang montok, katanya
samar-samar sampai di telinga.
Seperti orang lain, aku pun mengagumi setiap lekuk tubuh
ini. Kulit yang kuning langsat, buah dada yang sintal, pinggul yang padat
berisi. Andai saja aku jadi lelaki, bisikku sendiri, aku pun pasti jatuh hati
ingin memiliki.
"Tokk...Tokk..Tokkk,.." suara pintu diketuk
seseorang dari luar. Cepat aku mengambil pakain dari dalam tasku.
"Sebentar," jawabku sehingga tak terdengar lagi
suara gaduh ketukan. Lekas aku menyambar tas yang kubawa sedari pagi.
Sekarang, lekuk tubuhku telah aku sembunyikan di balik
celana dan baju yang longgar. Lalu kubuka pintu. Kudapati Nurjaman berdiri
dengan tangan yang memegang segelas teh hangat dan semangkuk mie rebus.
"Dik El makan dulu. Adik pasti lapar," ujarnya
sambil melepas senyum.
"Ya. Tapi Akang tak usah pergi," kataku
memohon. Lelaki itu tak menolak.
Lalu kami mengambil posisi duduk menghadap jendela dengan
tubuh tersandar di dinding. Cukup lama kami terdiam. Diam yang berpacu dengan
helaan nafas. Nurjaman membuang pandang ke luar jendela, seolah menghitung
jumlah hujan yang jatuh berhamburan. Sesekali ia menoleh kepadaku yang melahap
mie yang dihidangkannya.
"Akang sudah makan?" tanyaku ketika aku
menangkap pandangannya. Ia hanya mengangguk.
"Gimana, enak?" tanyanya seperti dibuat-buat
layaknya orang yang belum menemukan kata-kata yang tepat untuk memulai
percakapan.
Sementara gelap semakin melarut. Tak banyak kata-kata
yang penting keluar dari mulut selain basa-basi yang tak menjurus kepada apa
yang sebenarnya ingin kusampaiakan padanya. Kebekuan itu mencair ketika aku
mulai bertanya kepadanya.
"Apa Kang Nurjaman bersedia mendengar aku
bercerita?"
"Silahkan," katanya.
Lalu tanpa berpikir panjang, aku mulai bercerita soal
kejadian pagi tadi. Kejadian yang sebenarnya tidak hanya sekali terjadi.
Kesabaranku sebagai manusia telah meleleh menjadi amarah. Sabar itu pun berbatas.
Tak boleh siapa pun memperlakukan manusia dari golongan apapun, dari profesi
pekerjaan apapun, seolah berhadapan dengan binatang yang tak punya harga diri
dan martabat.
Nurjaman yang tampak serius mendengarku memberikan aku
ruang untuk membebaskan semua yang mendesak-desak di kepala dan dada. Aku
merasa dihargai sebagai manusia dan juga perempuan oleh Nurjaman dengan caranya
itu. Ia ikhlas mendengar semua kalimat yang meluncur dari kedalaman amarah
pemberontakanku sebagai manusia.
Dan aku ingin bercerita sebanyak-banyaknya. Seluruhnya.
Sampai aku lelah dan tubuh ini butuh waktu untuk rebah ke dalam pelukan malam.
Lamat-lamat hujan menipis menjadi rintik-rintik. Dan langit seolah melumat
potongan-potongan awan. Tampak bintang-gemintang berkedip-kedip serupa mata
malaikat yang sedang belajar bercinta merayu bulan. Di kamar cahaya
bergerak-gerak sebab angin yang mempermainkan api di ujung batangan lilin yang
menyala.
Omonganku sudah mulai berputar-putar, menandai aku sudah tak punya lagi
kesesakan lain selain dari pada kewajiban untuk memberi jawaban kepada Nurjaman
soal perasaannya. Aku ingin mengatakannya.
"Sekarang giliran Akang," kataku memintanya.
"Haa,.." suara itu keluar dari mulutnya tiba-tiba. Kelopak
matanya dilebarkan hingga tampak bola matanya keseluruhan. Ia terperanjat
dengan permintaan itu.
Nurjaman menghela nafas panjang lalu dilepaskannya seolah tampak seperti
orang yang melepas beban. Ia berusaha menenangkan diri.
"Dik El, aku mau jujur dengan perasaan aku sendiri," kata
Nurjaman memulai. "Aku tak kuat menyimpannya sendirian," lanjutnya.
Tampak ia ingin membiasakan diri untuk menjelaskan semuanya tanpa ada yang
terlewatkan. "Aku sebenarnya malu tapi mau bagaimana lagi, yang penting
aku jujur kepada diri sendiri dan adik," jelasnya sedikit panjang. Selama
ia bicara, ia tak pernah melepaskan pandangannya selain ke dalam mataku. Ia
nampaknya ingin menunjukkan keseriusannya. Dan aku tak mau menyela omongannya.
"Entah setelah ini adik mau meresponnya seperti apa terserah, aku tak
peduli. Yang terpenting aku sudah sampaikan," ucapnya lancar.
"Akhir-akhir ini aku tak bisa tidur nyenyak, kepikiran adik terus. Ini
mulai semenjak pertemuan kita pertama kali. Pertemuan yang tak disengaja.
Pertemuan yang melahirkan benih rindu," akunya padaku. Benarkah?, tanyaku
di dalam hati. Tidakkah Nurjaman berbohong? Nurjaman adalah lelaki dan aku yang
berhadapan dengannya adalah seorang perempuan. Lelaki adalah mahkluk ciptaan
Tuhan yang diberikan kemampuan untuk merayu. Merayu agar perempuan bersimpuh di
hadapannya. Tapi benarkah Nurjaman seperti itu?. Lekas aku membuang jauh-jauh
benih keraguan itu.
"Sebenarnya aku malu," katanya lagi. "Atau memang aku
pengecut? Ah, begitu tipis batas antara keduanya," tanyanya pada diri
sendiri. "Aku minta ma'af kalau semua yang aku sampaikan ini tidak adik
terima. Kata orang, katakan kejujuran itu meskipun pahit. Nah, sekarang aku mau
mengatakan itu, meskipun dik El tak punya perasaan apa-apa padaku. Itu
resiko," ujarnya. "Adik terlalu mudah untuk dicintai. Tahu kenapa? Karena
adik spesial. Setiap lelaki yang mengenal adik akan selalu jatuh hati atau
hanya sekedar tumbuh rasa sukanya saja, tapi dari suka itu akan tumbuh benih
cinta. Dan seperti itulah aku," jelasnya "Ah, curhatku
kepanjangan," katanya berusaha untuk mengakhiri ungkapannya dan menunggu
giliranku untuk menanggapi perasaannya. Inilah yang ia tunggu sekarang. Ia
tampak tak sabar mendengar aku bicara. Ia perbaiki posisi duduknya agar tak ada
satu katapun terlewat dari pendengarannya.
"Aku sebenarnya tak terlalu mengerti apa yang Akang inginkan
dariku," balasku. Aku menunggu reaksinya kali ini. Tapi tak ada. Nurjaman
hanya terdiam dan memainkan jemarinya di atas lantai. Pandangannya tertunduk.
Ia seolah tak ingin mendengar kata-kata itu.
"Akang serius dengan perasaan akang?" tanyaku sedikit memaksa.
"Kapan aku tak pernah serius dengan perasaanku sendiri, dik El? Apa
kau menangkap ketidakseriusan dari keseluruhan yang tampak selama ini?" ia
balik bertanya padaku.
"Bukan begitu, kang" ucapku. "Bukannya Akang pernah cerita
kalau akang sudah berumah tangga?"
Deg. Pertanyaan itu membuatnya terdiam. Pertanyaan yang serupa peluru, yang
menyasar ke ulu hatinya. Seperti orang yang terjebak dengan perasaannya
sendiri. Cukup lama ia terdiam kali ini. Sorot matanya melemah. Tapi ia masih berusaha
mengangkat muka sambil melepas nafas perlahan diiringi detak jantung yang tak
karuan.
9
Aku
meninggalkan Nurjaman dengan segala keheningannya. Kalau aku mau jujur, aku
memang telah jatuh hati kepadanya. Perasaan yang datang secuil-secuil itu kini membesar.
Aku menunggu sikap tegas Nurjaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar