Jumat, 28 September 2012

AKU PEREMPUAN


AKU PEREMPUAN
Oleh: Ramli

Tidak terasa, satu bulan menggelinding begitu saja. Hari-hari yang berlalu seolah tak ada yang berbeda dan berubah. Lampu-lampu café, meja-meja kayu bundar dengan kursi empuknya, sofa-sofa merah muda, dan lagu-lagu dangdut yang terdengar berulang-ulang. Begitu juga tamu-tamu café yang itu-itu saja; pejabat-pejabat yang butuh hiburan, para pengusaha yang kelelahan. Kalau pun ada muka baru, paling anak-anak muda yang cari pengalaman.
Malam yang ke-31. Ya, aku memandang angka 1 di bulan November. Bulan baru. Aku lingkari angka itu. Lingkaran yang ke-31. Lingkaran yang tak berjeda, seperti pekerjaanku ini, tak ada liburnya. Meskipun masuk bulan baru, tapi aku tak merasakan sesuatu yang baru dalam hidupku, selain perasaan bersalah dan bayang-bayang putri kecilku di rumah, Eliza.
“El, kok masih di dalam?” suara dari luar kamar menyelusup dari etalase. “El,..Elly” panggilnya. Aku menerka-nerka suara itu. “Ayo, El. Sudah waktunya kerja,” ingatnya. Aku yakin itu suara Siska. Sahabat yang kukenal selama satu bulan bekerja di café. Ia mengaku berasal dari Bandung. Perawakannya tinggi semampai. Kulitnya kuning langsat, rambutnya lurus, giginya diberi kawat.
“Ya, tunggu,” sahutku. Aku bergegas. Kupandangi sekali lagi wajahku di cermin. Oh, lipstick. Aku belum memerahkan bibirku. Lalu aku membuka pintu dan menutupnya kembali lantas mengikuti Siska dari belakang.
…………………
Sekarang aku tempati rumah baru bersama suamiku. Tapi kami tidak tinggal berdua, melainkan bertiga bersama seorang gadis yang cantik. Dia bernama Evita, keponakan suamiku. Anak dari saudara perempuannya. Ia seorang gadis cantik seumuran saudara terakhirku. Saat pertama kali bertemu dan diperkenalkan suamiku, Evita memperlihatkan raut muka tak suka kepadaku. Ia membuang muka lalu masuk ke kamarnya. Padahal aku berusaha memperlihatkan wajah bersahabat dan mengumbar senyum.
“Kami sudah kawin siri,” kata suamiku. Aku dengar suara itu dengan jelas mengingat kamarku dengan kamar Evita hanya dipisahkan oleh tembok saja.
“Tapi aku tidak suka perempuan itu di sini,” sanggahnya. “Aku benci sama Paman. Gara-gara dia, rumah tangga Paman jadi berantakan,” katanya keras. Ah, darahku berdesir. Lututku serasa tak mampu lagi menopang tubuhku. Aku tak kuasa mendengar kata-kata itu. Sementara itu, aku tak mendengar lagi kata-kata yang lain dari mulut suamiku.
Kudengar suara langkah kaki suamiku mendekat ke ujung pintu kamar. Cepat aku baringkan tubuh dan pura-pura tertidur. Dari sela bantal guling yang kupeluk, aku melihat suamiku duduk di pinggiran ranjang. Ia mendesah. Kedua tangannya menopang kepalanya yang tampak jatuh. Rambutnya kusut. Lalu ia mengambil nafas dalam-dalam. Mendesah lagi. Tapi kini ia membalikkan tubuh.
“Ma’afkan aku sayang,” katanya seperti berbisik. “Aku akan berusaha bagaimana pun caranya untuk meyakinkan mereka,” lanjutnya. Mendapati ini semua, aku menjadi merasa bersalah dengan pilihanku. Tapi apa aku salah telah memilih lelaki yang aku kenal dua hari saja ini kemudian aku izinkan dia memilikiku? Tidak, pilihanku sudah tepat. Tidak ada yang salah. Bukankah setiap pilihan memiliki resiko masing-masing? Malah aku akan terus dihantui rasa bersalah jika aku tak melepaskan diri dari gemerlap dunia malam ini. Hanya keterpaksaan ekonomi yang menyeret aku memasukinya.
…………………………………
Sebulan saja, kebahagian yang bercampur dengan berbagai macam tekanan batin ini berlangsung. Sebulan seperti waktu aku masih menjadi penghibur di café.
Jam dinding yang tergantung di ruang tamu terus saja berdetak, seperti mengejar dan memaksa aku untuk secepatnya pergi meninggalkan rumah ini. Aku sudah siapkan semua bawaan. Satu koper pakaian, boneka, alat kosmetik, semuanya sudah aku bereskan. Lama aku mengingat-ingat sesuatu yang mungkin tertinggalkan dan terlupakan. Kubuka tas jinjingku. Kudapati dompet, BB, dan tiket pesawatku. Tak ada yang tertinggal. Tapi kenapa perasaanku seolah tak tenang. Aku ingat-ingat lagi. Ah, ternyata Evita. Ya, gadis cantik yang selama ini menemani aku mengusir jenuh dan kesepianku itu. Ia tak tampak. Pagi sekali ia meninggalkan rumah. aku tak sempat membuatkan sarapan untuknya, sebab aku pulas, kelelahan mempersiapkan barang-barang bawaan.
“Evita kemana, Mas?” tanyaku pada suami.
“Ke kampus,” jawabnya singkat. Oh, ini hari terakhirku. Aku ingin meninggalkan senyum untuknya sebagai pertanda sayangku padanya. Dan aku juga ingin memberinya hadiah tangis dan air mata sebagai penutup pertemuan yang hanya sebulan ini. Tangis dan airmata sebagai lambang rasa cinta dan kerinduan yang mendalam.
“Ayo berangkat. Pesawatnya berangkat sejam lagi. Perjalanan ke bandara hampir sejam,” tegas suamiku. Aku terdiam. Berat rasanya aku langkahkan kaki. Saat deru mobil meninggalkan kompleks rumah itu, aku masih membuang pandang ke dalam halamannya sambil mengingat kesan-kesan yang melintas di kepala.
Setelah tiga jam di udara, aku tiba di Jakarta pukul 16.15 WIB. Kunyalakan BB-ku. Satu panggilan masuk. Evita. Aku nyaris histeris mendapat telepon dari gadis cantik itu.
“Kenapa Teteh tidak menunggu aku pulang dulu. Aku kangen sama Teteh,” katanya sambil terisak. “Kenapa Teteh pergi?” tanyanya. Mendengar pertanyaan itu, aku seolah tak percaya, sebulan menghabiskan masa-masa sulit, ternyata menggoreskan kenangan yang tak terlupakan dengan gadis cantik itu. “Bukankah dulu Evita tak suka dengan kehadiranku?” bisikku dalam hati. Tapi untuk apa aku bertanya seperti itu. Itu telah berlalu. Sekarang aku benar-benar merasa diri berharga dan dihargai sebagai bagian dari kelurga suamiku, meskipun hanya Evita. Sebab aku tahu beberapa saudara suamiku masih tak juga membuka pintu hati untukku.
Dua hari setelah aku meninggalkan Pulau Pedas, aku tak pernah mendapat telepon atau sekedar pesan singkat dari suamiku. Padahal rinduku berpilin-pilin serupa bola salju. Rindu yang menggenang. Rindu yang tiada putusnya. Dalam kerinduan ini pula, aku menjadi asing di rumah sendiri. keterasingan yang melahirkan kesepian yang dingin. Dan esok penantian serta pengharapan akan kedatangan suamiku ke Cianjur akan terus berlanjut. Sebab aku hanya akan kembali ke Lombok jika ia datang menjemputku dan berani memperkenalkan diri kepada ibuku, bahwa kami telah menikah sebulan yang lalu.
…………………………………………………
Di Cianjur, aku tinggal berempat; ibuku yang menginjak usia 58 tahun, adikku yang seumuran Evita, dan putri kecilku Eliza. Kami tinggal di sebuah rumah peninggalan almarhum ayah. Sebuah rumah mungil hasil jerih payahnya menggarap sebidang tanah yang sempit. Rumah dengan dua kamar tidur dan satu kamar tamu. Rumah dengan halaman yang sempit pula untuk ukuran rumah di desa.
Di rumah ini aku membangun asa. Semenjak kecil, bersama dua orang kakakku yang perempuan semua, kami membantu ayah di sawah. Kadang aku ikut ibu menjual kue di pasar. Hidup yang keras dan cadas sudah aku cicipi dari kecil. Demikianlah kami pada akhirnya memiliki mimpi yang seragam soal masa depan. Mimpi yang mungkin terlampau tinggi untuk ukuran orang kampung yang hidup tak berkecukupan. Kami mimpi menjadi orang berada seperti bapak kepala desa, yang punya mobil, yang punya tanah berhektar-hektar, yang punya rumah berlantai dua. Mimpi semua orang miskin di desa.
Tapi mimpi besarku segera berantakan setelah ayahku meninggal karena serangan jantung. Ayah yang menjadi tumpuan kami sudah kembali kepada Yang Maha Kuasa. Aku tak menyelesaikan sekolahku. Cukup sudah sampai kelas dua tingkat atas. Aku sendiri yang memutuskan untuk berhenti, bukan atas desakan kelurga. Sebab aku tak kuasa melihat ekonomi kelurga yang tak mencukupi. Ditambah lagi ibuku mulai sakit-sakitan. Sementara dua kakak perempuanku telah berkelurga. Selain itu, dua orang adikku yang juga perempuan masih kecil dan mereka lebih berhak untuk mengenyam pendidikan. Kami tak bisa mengandalkan pemberian dari kedua kakakku, sebab mereka pun sama-sama hidup tak tentu.
Maka, di musim tanam aku bekerja menjadi buruh tani. Dan jika musim kemarau, aku pergi ke kota bersama seorang tetanggaku yang sudah lama bekerja di sana. Di kota kami bekerja di rumah seorang pengusaha. Setiap pagi kami menyiapkan sarapan untuk keluarga pengusaha itu. Mereka tampak senang dengan pekerjaan kami. Dengan begitu, aku mengumpulkan uang untuk biaya ibuku berobat, untuk makan sehari-hari, dan untuk biaya pendidikan adik-adikku.
……………………………………………
Di kota pulalah aku mengenal seorang lelaki bernama Nurjaman. Seorang kuli bangunan. Setiap pagi ia setia menunggu di sebuah pos ronda di persimpangan dekat rumah tempatku bekerja. “Aku akan selalu di sini hanya sekedar untuk melihatmu sebentar saja sebelum aku bekerja,” jelasnya padaku suatu ketika di pagi yang basah oleh hujan. Aku tersanjung mendengar kata-katanya. Setiap kali bertemu dengan lelaki itu, ia bercerita banyak soal dirinya. Ia lelaki yang juga bertempur dengan kehidupan yang keras. Ia lelaki yang datang dari seberang, jauh di tanah Sumatera.
Nurjaman, lelaki dari tanah seberang itu memberiku kesan yang berbeda. Di suatu pagi yang hangat mentari, kulihat ia berdiri sendiri di tempat biasa. Tubuhnya dibalut kaos putih dan celana jeans biru. Dari mulutnya keluar asap putih bergulung-gulung dari batangan rokok yang terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Ia tampak semakin tampan dengan sunggingan senyumnya yang tipis saat aku saling pandang dari kejauhan. Aku mengerti betapa ia berbunga-bunga setiap kali bertemu dengan ku.
***
Lintingan tembakau itu diisapnya dalam-dalam lalu batangan yang bersisa 3 cm itu diinjaknya kuat-kuat. Ia tampak begitu siap bertemu denganku pagi ini. Aku semakin dekat dengan posisinya berdiri dan seperti biasa aku akan malu-malu kucing untuk menyapanya terlebih dahulu, karena menurut adat kebiasaan, tak baik seorang perempuan itu menyapa lelaki terlebih dahulu.
“Dik El, bagaimana kabarnya pagi ini? Apakah secerah langit yang membiru?” tanyanya seperti orang bersyair. Bukan karena ia lahir dan tumbuh di tanah Melayu, tapi lebih karena mulai terbius cinta. Suaranya terdengar kaku. Ya, dan itu terdengar setiap kali ia memulai pembicaraan denganku.
“Aku baik-baik saja, Kang,” jawabku dengan kepala tertunduk. Senyum Nurjaman melebar. Ia kegirangan mendapat sambutan yang hangat pagi ini.
“Dik El, Aku mau mengatakan sesuatu,?” katanya. Wajahnya pucat seolah ada sesuatu yang membuatnya amat malu. Sementara aku tak memberikan tanggapan apa-apa. Aku masih menunggu Nurjaman angkat bicara lagi. Dari raut wajahnya aku melihat Nurjaman ingin menyampaikan sesuatu yang penting dan serius.
“Dik El,” katanya lagi. Lalu terdiam. Sejenak ia tampak mencari kata-kata yang tepat. “Dik El cantik sekali,” katanya lembut sambil melepas senyumnya yang biasa. “Aku mulai jatuh hati,” lanjutnya. Kakinya tetap kokoh di atas tanah yang dipijak. Ia tak bergerak sedikit pun. Hanya jari jemari tangannya yang dipermainkan seolah ingin menyembunyikan kegugupannya. Pertemuan ini tiba-tiba saja menjadi amat kaku. Mendengar kalimat terakhirnya, aku merasa semua benda di sekitarku seolah tak bergerak sama-sekali. Semua membatu, seperti aku yang tak tahu perasaanku sendiri.
Tak ada kalimat lagi yang terucap diantara kami berdua, selain desahan nafas yang tersengal dan detak jantung yang berpacu. Hingga aku merasakan bulir peluh menganak sungai di pelipis dan punggungku. Tubuhku berasa panas dan menggigil.
“Aku duluan, Kang. Aku harus cepat ke pasar,” kataku dengan perasaan tak menentu. Lalu aku meninggalkannya sendiri dengan kata-katanya yang membuat aku tak mengerti sama sekali dengan hatiku. Senyumnya tampak mati dan beku. Aku dengar ia menarik nafas dalam-dalam kemudian dihembuskannya keras-keras, seolah ingin menghempaskan kekecewaanya yang dalam. Sementara matahari makin meninggi dan embun-embun menguap.
Jalanan mulai ramai dan waktu terus berputar hingga esok pagi yang tak juga tentu memberinya jawaban.
***
Jarum jam di dinding menunjukkan angka tujuh. Seharusnya matahari sudah muncul pagi ini. Butir-butir hujan yang menghantam dinding, atap, daun-daun, juga jalanan dan air yang menggenang; menghadirkan harmoni pagi yang sendu. Langit dari ujung ke ujung masih digelayuti gelapnya awan.
Jalanan masih lengang, namun sesekali tampak pejalan kaki dengan payung yang terkembang di tangan. Di dalam rumah, apa lagi di atas ranjang tentu terasa hangat di pagi ini. Ditambah lagi dengan selimut yang membalut tubuh. Tentu sebagian lagi akan memilih beringsut memegang lutut di dekat perapian sambil menyantap nasi goreng dan seruputan kopi hitam. Tapi tidak demikian dengan Nurjaman.
Lelaki berdarah Melayu itu, seperti biasa menyepi sendiri dalam cengkeraman dingin pagi yang menggigilkan. Di pos ronda yang tak berdinding, ia berteduh sendirian. Bagian-bagian tubuhnya sebisa mungkin dirapatkan. Lututnya didekatkan ke dada dengan rangkulan tangannya yang keras. Kulitnya yang sawo matang hampir legam itu hanya dibalut kaos lengan pendek yang tipis. Rahangnya bergemeretuk. Bulir-bulir kecil hujan yang tampak bercahaya, menempel di seluruh bagian tubuhnya yang terbuka.
"Hujan, kau tentu tahu dengan perasaanku yang sedingin pagi," keluhnya di dalam hati kepada hujan. Sementara hujan terus mengganas. Hujan yang menyatu di cekungan-cekungan mengalir di selokan dan berwarna kecoklatan.
Setengah jam kemudian, hujan mereda dan menyisakan gerimis yang manis. Ditambah dengan senyum matahari yang malu-malu menampakkan diri. Keduanya lalu melahirkan pelangi. "Akan seindah itukah pagi ini?" tanya Nurjaman pada dirinya sendiri. Nurjaman menunggu jawaban. Nurjaman menimang-nimang perasaannya sendirian.
Matahari telah tampak meninggi. Badan jalan pun telah mengering. Orang-orang mulai lalu-lalang dengan pikirannya masing-masing dan beberapa orang menebar senyum dan melepas basa-basi pagi, bertukar kabar dan sapa. Sementara Nurjaman berdiri di sisi jalan. Ia membuang pandang ke ujung-ujung jalan yang menyatu di persimpangan. Perasaannya tak karuan.
...........................................
Aku tak ke pasar pagi ini. Karena aku telah membeli keperluan dapur yang banyak kemarin pagi. Sehingga pekerjaanku menjadi sedikit berkurang. Satu baskom nasi, sup jamur hangat, telur goreng, dan sambal tomat kesukaan majikanku; kuhidangkan di atas meja makan. Tak lupa pula aku siapkan teh hangat. Majikanku pagi ini makan dengan semua anggota keluarga; seorang istri, dan dua orang anaknya.
Di pagi yang biasa, jika tak hujan, mereka biasanya tak bisa sarapan bersama. Majikanku yang pengusaha, Tuan Faris, biasanya bangun kesiangan setelah anak-anaknya berangkat sekolah. Anaknya yang laki-laki, Fairuz, duduk di kelas 4 tingkat dasar. Dan anak perempuannya, Tiara, masih kelas dua tingkat menengah pertama. Berbeda dengan Nyonya, ia bangun pagi-pagi sekali. Usai sembahyang, ia jalan kaki keliling komplek. Dilanjutkan dengan menyiram bunga dan tanaman kesayangannya. Nyonya pun memiliki seekor kucing piaraan. Kucing berbulu merah keemasan. Kucing itu membuntuti Nyonya kemana pun pergi.
Semua pekerjaan selesai kukerjakan bersamaan dengan hujan mereda. Aku berjalan menuju gerbang. Wangi pagi menyeruak di halaman. butir hujan yang terperangkap di atas daun, menetes di ujung-ujungnya. Sekawanan burung bercengkerama menikmati pagi yang menggeliat di ranting-ranting yang menyembulkan tunas-tunas daun muda.
Aku membuang pandang ke ujung selatan jalan, persis di dekat persimpangan. Kupicingkan mata agar tampak jelas. Tapi aku tak melihat siapapun di situ berdiri seperti pagi-pagi yang biasa, selain pedagang sayur yang memanggil-manggil pelanggannya dan seorang tukang sampah yang menarik kereta sampah di belakangnnya. Cukup lama aku berdiri sambil menaruh harap aku melihatnya. Tapi tiba-tiba saja suara Nyonya memanggil-manggil.
"El,...Elly," panggilnya dengan suara keras.
"Ya, Nya." sahutku patuh. Aku masuk, lalu menutup gerbang. Aku panjangkan langkahku agar cepat sampai di mulut pintu tempat nyonya berdiri.
"Siapa yang pecahkan vas bungaku itu?" tanyanya seperti polisi berkacak pinggang sambil menunjuk vas bunga putih yang pecah berkeping-keping. Astaga, kataku dalam hati. Itu bunga kesayangan nyonya. Majikan perempuanku yang bertubuh penuh lemak itu bisa menghabiskan bermenit-menit waktunya untuk merawat bunga itu setiap pagi.
"Tidak tahu, Nya." jawabku dengan kepala tertunduk.
Mukanya memerah. Bibirnya bergetar. Lalu sumpah-serapah meluncur dari mulutnya dengan begitu ringan. Aku dimaki sejadi-jadinya. Di depannya, semua nama dan sifat yang buruk melekat padaku pagi ini. Hatiku menggigil. Mataku basah. Pagi yang dingin menusuk berubah menjadi panas tak kepalang. Tak pernah aku mendapat perlakuan sekasar ini. "Aku tak sudi dicaci-maki seperti ini," bisikku sendiri dalam hati.
............................................
Aku sedianya akan pulang kampung dua hari lagi untuk menjenguk ibu dan adik-adikku. Tapi tak apa aku percepat saja. Aku tak tega dengan perasaanku sendiri yang luluh lantak ini. Aku melipat-lipat beberapa potong pakaianku sekenanya saja. Tanpa pamit, aku meninggalkan rumah berlantai dua di tengah kota itu dengan menyelinap lewat jendela.
Di luar, matahari melelehkan sisa-sisa hujan. Aku percepat langkahku sehingga seperti setengah berlari. Melangkah terus sambil membawa luka hati. "Dimanakah lelaki penjaga pagi," kataku dalam hati. Aku ingin berkeluh-kesah. Aku membutuhkannya.
Matahari tepat berada di atas ubun. Panasnya menyengat. Tiga jam aku duduk mengamatinya dari jauh. Di sebuah warung berjarak setengah kilo dari rumah majikanku yang aku tinggalkan itu, atau 200 meter dari persimpangan tempat biasa Nurjaman menemui aku. Tapi Nurjaman tak kunjung menampakkan diri. Meski hanya suaranya saja. "Apa aku harus pergi?" tanyaku sendiri. Aku tak benar-benar ingin menjawab pertanyaan itu. Aku pergi kemana? Pulang? Aku tak membawa uang. Tapi bukan itu persoalannya. Kalaupun aku harus pulang, aku harus bertemu sebentar saja dengan Nurjaman. Aku tak ingin membuat dia semakin kecewa. Apalagi membuka ruang harapan tanpa jaminan atas perasaannya. Sebab, menjadi perempuan itu harus tegas dengan perasaan sendiri. Tegas bukan berarti harus berkata keras. Tegas itu adalah berani mengambil keputusan dengan pertimbangan-pertimbangan. Ya, dan aku ingin melakukan itu.
Tapi pekerjaan menunggu ini terasa menyiksa juga. Apalagi menunggu dalam ketidakpastian. Aku benar-benar sendiri rasanya sekarang. Kalian pun pernah merasakannya, bukan?
Kulihat seorang lelaki berdiri membelakangi pandanganku. Ia tampak menunggu seseorang. Lama aku perhatikan gerak-geriknya.Untuk memastikan, aku memberanikan diri mendekat. Tapi bukan. Lelaki itu bukan Nurjaman. Lelaki itu, adalah pemilik rumah nomor dua di dekat persimpangan. Aku sering melihatnya keluar rumah hanya untuk menunggu penjual es cendol yang berkeliling kompleks di siang hari.
"Kang Nurjaman,.....Akaa..ang," aku memangil-manggil namanya tanpa ragu. Aku betul-betul yakin itu memang Nurjaman. Aku tak ingin ia berubah pikiran karena tak melihat aku seharian, lalu meningalkan persimpangan. Sebab, jika itu terjadi, aku tak bisa bertemu dengannya.
Dari raut mukanya, aku bisa menebak betapa ia sumringah mendapati aku di depannya. Tak henti-hentinya ia mengulum senyumnya yang manis.
"Kemana saja, Dik El?" tanyanya. "Betapa aku tersiksa dengan perasaanku. Sekali tak melihatmu, tersiksa batin ini. Tak tenang hati ini," katanya penuh perasaan sambil mendekatkan tangannya ke dada.
Aku mengerti dengan perasaan itu, aku membatin. Itulah yang ingin kujelaskan hari ini kepadanya. Aku tak ingin membuat ini menjadi sesuatu yang kabur, suram, dan penuh tanda tanya.
Untuk itu, aku memintanya membawaku ke suatu tempat yang jauh dari amatan majikanku. Tempat yang nyaman untuk mengeluarkan kata hati. Aku juga butuh teman hari ini, setidak-tidaknya teman untuk mendengarkan keluh-kesahku. Bukankah teman yang baik itu adalah yang setia mendengar curahan hati temannya?
***
Di taman tiba-tiba saja hujan. Pengunjung yang kebanyakan muda-mudi menyesak di bawah pohon menghindari hujan yang menderas seperti mengucur dari langit. Aku dan Nurjaman ikut bersesak-sesak di bawah pohon angsana. Pohon yang seukuran satu rangkulan orang dewasa itu sedang berbunga. Bunga yang biasanya muncul menjelang musim hujan tiba. Bunganya cantik berwarna merah darah. Angin yang mengganas, menggugurkan bunga-bunga merah itu. Tiga bunga basah hujan jatuh di kepalaku. Lainnya berguguran di sekitar pokoknya. Tangan Nurjaman bergerak cepat menjemput bunga-bunga itu, lalu diambil dan disupingkannya di telingaku.
"Kau anggun," pujinya sambil memandangku lekat-lekat.
Aku hanya menjawabnya dengan senyum dan memberanikan diri melihat matanya. Sebab mata selalu menyimpan kebenaran. Pujiannya ikhlas, kataku dalam hati. Aku pun sebenarnya ingin membalas pujiannya dengan berkata: "Senyummu pun manis, Nurjaman". Tapi aku teringat nasehat ibuku. Kata ibuku, menjadi perempuan jangan mudah memberi hati kepada lelaki dengan memberi puji. Tapi bukankah dengan begitu aku berusaha membohongi diri sendiri? Sebab, aku pun ternyata mulai suka memuji Nurjaman. Bagiku, membohongi perasaan sendiri adalah sama saja dengan menggali lubang kekecewaan dan rasa bersalah yang tak termaafkan.
"Akang pun semakin manis dengan senyum itu," balasku kali ini tanpa kusadari.
Deg. Darahku menderas. Kurasakan ia mengalir. Mengalir menyemai benih kasih di sekujur tubuh. Aku pun mendengar detakan jantung Nurjaman. Detak yang dipercepat oleh perasaannya yang tak karuan. Aku mendengar detakan itu. Jelas. Aku dan dia sama-sama menyimpan malu. Aku menyimpannya di balik wajahku yang memerah jambu. Aih, baru kali ini aku memuji lelaki. Cerita almarhum ayahku, lelaki kalau dipuji wanita yang disukainya, ia tak kan bisa tidur sehari semalam. Tapi pujianku bukan untuk itu. Bukan untuk menyiksanya. Melainkan ungkapan kejujuran perasaanku saja.
Rupanya hujan belum berhenti bercumbu dengan angin. Dinginnya menusuk. menyelinap dan berkembang biak di bawah kulitku. Aku menggigil.
"Ayo pulang," ajak Nurjaman sambil menarik tanganku hampir menggengam. Tangannya berasa hangat. Tak ingin rasanya tangan ini dilepas. Kami berhenti di pinggir jalan, tepat ketika sebuah angkot berhenti dan sopirnya mengajak kami menaiki angkotnya. Di dalam angkot kami tak mengeluarkan kata-kata. Kami membisu dan membenamkan diri dalam pikiran masing-masing.
"Sampai di sini, pak," kata Nurjaman meminta sopir itu menghentikan laju kendaraannya. Kami berhenti di depan sebuah bangunan yang belum rampung. Sebuah bangunan berlantai tiga. Di sana-sini aku melihat tumpukan bahan dan material. Kerikil, pasir, kayu. Semuanya menumpuk menggunung. Dan di sisi sebelah kiri bangunan itu, berdiri sebuah bangunan rumah berdinding lembaran-lembaran triplek dan beratap asbes.
Nurjaman memintaku menunggunya sebentar. Lelaki itu kemudian berjalan menuju rumah triplek itu. Ia mengetuk-ngetuk pintu. Lalu pintu dibuka. Dari dalam keluar seseorang dan terlihat berbincang sebentar dengan Nurjaman. Lelaki yang membuka pintu itu melongo melihat aku yang basah kuyup. Lalu ia mengangguk. Nurjaman tanpa bicara lagi kemudian balik badan dan menemui aku yang menggigil.
"Mari," katanya pendek. Ia mengajakku ke sebuah ruangan di dekat tangga. Aku membuntutinya dari belakang. Aku tak berpikir apapun. Yang terpikir olehku hanya keinginan mengenyahkan dingin yang mencengkeram sendi-sendi tubuhku. Basah ini sungguh memperjelas lekuk tubuhku.
"Ayo masuk, dik. Kenapa masih diam di situ?" katanya. Dia memandangi aku dengan tatapan yang lain. Tatapan yang menghunjam ke dalam bola mataku lalu menjalar ke dalam jantungku.
"Masuk dan ganti pakainmu," katanya lalu meninggalkan aku di depan mulut pintu.
Aku masuki kamar itu. Kamar yang tak berpenerang. Hanya sisa-sisa cahaya matahari yang terperangkap hujan; masih mengambang. Remang-remang. Sementara hujan di luar masih bergemericik memantul-mantulkan diri di setiap permukaan benda.
Kutanggalkan satu per satu pakain yang melekat di tubuh hingga tak bersisa sehelai benang pun. Kuamati setiap jengkal bagian tubuhku dari bawah leher, tangan, hingga ke ujung kaki. Aku terkagum dengan tubuh pemberian Tuhan ini. Aku teringat kata pujian si tukang sampah yang berbisik kepada Nyonya; yang kudengar tak sengaja. Perempuan yang montok, katanya samar-samar sampai di telinga.
Seperti orang lain, aku pun mengagumi setiap lekuk tubuh ini. Kulit yang kuning langsat, buah dada yang sintal, pinggul yang padat berisi. Andai saja aku jadi lelaki, bisikku sendiri, aku pun pasti jatuh hati ingin memiliki.
"Tokk...Tokk..Tokkk,.." suara pintu diketuk seseorang dari luar. Cepat aku mengambil pakain dari dalam tasku.
"Sebentar," jawabku sehingga tak terdengar lagi suara gaduh ketukan. Lekas aku menyambar tas yang kubawa sedari pagi.
Sekarang, lekuk tubuhku telah aku sembunyikan di balik celana dan baju yang longgar. Lalu kubuka pintu. Kudapati Nurjaman berdiri dengan tangan yang memegang segelas teh hangat dan semangkuk mie rebus.
"Dik El makan dulu. Adik pasti lapar," ujarnya sambil melepas senyum.
"Ya. Tapi Akang tak usah pergi," kataku memohon. Lelaki itu tak menolak.
Lalu kami mengambil posisi duduk menghadap jendela dengan tubuh tersandar di dinding. Cukup lama kami terdiam. Diam yang berpacu dengan helaan nafas. Nurjaman membuang pandang ke luar jendela, seolah menghitung jumlah hujan yang jatuh berhamburan. Sesekali ia menoleh kepadaku yang melahap mie yang dihidangkannya.
"Akang sudah makan?" tanyaku ketika aku menangkap pandangannya. Ia hanya mengangguk.
"Gimana, enak?" tanyanya seperti dibuat-buat layaknya orang yang belum menemukan kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan.
Sementara gelap semakin melarut. Tak banyak kata-kata yang penting keluar dari mulut selain basa-basi yang tak menjurus kepada apa yang sebenarnya ingin kusampaiakan padanya. Kebekuan itu mencair ketika aku mulai bertanya kepadanya.
"Apa Kang Nurjaman bersedia mendengar aku bercerita?"
"Silahkan," katanya.
Lalu tanpa berpikir panjang, aku mulai bercerita soal kejadian pagi tadi. Kejadian yang sebenarnya tidak hanya sekali terjadi. Kesabaranku sebagai manusia telah meleleh menjadi amarah. Sabar itu pun berbatas. Tak boleh siapa pun memperlakukan manusia dari golongan apapun, dari profesi pekerjaan apapun, seolah berhadapan dengan binatang yang tak punya harga diri dan martabat.
Nurjaman yang tampak serius mendengarku memberikan aku ruang untuk membebaskan semua yang mendesak-desak di kepala dan dada. Aku merasa dihargai sebagai manusia dan juga perempuan oleh Nurjaman dengan caranya itu. Ia ikhlas mendengar semua kalimat yang meluncur dari kedalaman amarah pemberontakanku sebagai manusia.
Dan aku ingin bercerita sebanyak-banyaknya. Seluruhnya. Sampai aku lelah dan tubuh ini butuh waktu untuk rebah ke dalam pelukan malam.
Lamat-lamat hujan menipis menjadi rintik-rintik. Dan langit seolah melumat potongan-potongan awan. Tampak bintang-gemintang berkedip-kedip serupa mata malaikat yang sedang belajar bercinta merayu bulan. Di kamar cahaya bergerak-gerak sebab angin yang mempermainkan api di ujung batangan lilin yang menyala.
Omonganku sudah mulai berputar-putar, menandai aku sudah tak punya lagi kesesakan lain selain dari pada kewajiban untuk memberi jawaban kepada Nurjaman soal perasaannya. Aku ingin mengatakannya.
"Sekarang giliran Akang," kataku memintanya.
"Haa,.." suara itu keluar dari mulutnya tiba-tiba. Kelopak matanya dilebarkan hingga tampak bola matanya keseluruhan. Ia terperanjat dengan permintaan itu.
Nurjaman menghela nafas panjang lalu dilepaskannya seolah tampak seperti orang yang melepas beban. Ia berusaha menenangkan diri.
"Dik El, aku mau jujur dengan perasaan aku sendiri," kata Nurjaman memulai. "Aku tak kuat menyimpannya sendirian," lanjutnya. Tampak ia ingin membiasakan diri untuk menjelaskan semuanya tanpa ada yang terlewatkan. "Aku sebenarnya malu tapi mau bagaimana lagi, yang penting aku jujur kepada diri sendiri dan adik," jelasnya sedikit panjang. Selama ia bicara, ia tak pernah melepaskan pandangannya selain ke dalam mataku. Ia nampaknya ingin menunjukkan keseriusannya. Dan aku tak mau menyela omongannya.
"Entah setelah ini adik mau meresponnya seperti apa terserah, aku tak peduli. Yang terpenting aku sudah sampaikan," ucapnya lancar. "Akhir-akhir ini aku tak bisa tidur nyenyak, kepikiran adik terus. Ini mulai semenjak pertemuan kita pertama kali. Pertemuan yang tak disengaja. Pertemuan yang melahirkan benih rindu," akunya padaku. Benarkah?, tanyaku di dalam hati. Tidakkah Nurjaman berbohong? Nurjaman adalah lelaki dan aku yang berhadapan dengannya adalah seorang perempuan. Lelaki adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang diberikan kemampuan untuk merayu. Merayu agar perempuan bersimpuh di hadapannya. Tapi benarkah Nurjaman seperti itu?. Lekas aku membuang jauh-jauh benih keraguan itu.
"Sebenarnya aku malu," katanya lagi. "Atau memang aku pengecut? Ah, begitu tipis batas antara keduanya," tanyanya pada diri sendiri. "Aku minta ma'af kalau semua yang aku sampaikan ini tidak adik terima. Kata orang, katakan kejujuran itu meskipun pahit. Nah, sekarang aku mau mengatakan itu, meskipun dik El tak punya perasaan apa-apa padaku. Itu resiko," ujarnya. "Adik terlalu mudah untuk dicintai. Tahu kenapa? Karena adik spesial. Setiap lelaki yang mengenal adik akan selalu jatuh hati atau hanya sekedar tumbuh rasa sukanya saja, tapi dari suka itu akan tumbuh benih cinta. Dan seperti itulah aku," jelasnya "Ah, curhatku kepanjangan," katanya berusaha untuk mengakhiri ungkapannya dan menunggu giliranku untuk menanggapi perasaannya. Inilah yang ia tunggu sekarang. Ia tampak tak sabar mendengar aku bicara. Ia perbaiki posisi duduknya agar tak ada satu katapun terlewat dari pendengarannya.
"Aku sebenarnya tak terlalu mengerti apa yang Akang inginkan dariku," balasku. Aku menunggu reaksinya kali ini. Tapi tak ada. Nurjaman hanya terdiam dan memainkan jemarinya di atas lantai. Pandangannya tertunduk. Ia seolah tak ingin mendengar kata-kata itu.
"Akang serius dengan perasaan akang?" tanyaku sedikit memaksa.
"Kapan aku tak pernah serius dengan perasaanku sendiri, dik El? Apa kau menangkap ketidakseriusan dari keseluruhan yang tampak selama ini?" ia balik bertanya padaku.
"Bukan begitu, kang" ucapku. "Bukannya Akang pernah cerita kalau akang sudah berumah tangga?"
Deg. Pertanyaan itu membuatnya terdiam. Pertanyaan yang serupa peluru, yang menyasar ke ulu hatinya. Seperti orang yang terjebak dengan perasaannya sendiri. Cukup lama ia terdiam kali ini. Sorot matanya melemah. Tapi ia masih berusaha mengangkat muka sambil melepas nafas perlahan diiringi detak jantung yang tak karuan.
9
Aku meninggalkan Nurjaman dengan segala keheningannya. Kalau aku mau jujur, aku memang telah jatuh hati kepadanya. Perasaan yang datang secuil-secuil itu kini membesar. Aku menunggu sikap tegas Nurjaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar