Jumat, 28 September 2012

WAWASAN PERS


Wawasan Pers
(Pers Umum & Pers Mahasiswa : Sejarah, Peran, Fungsi dan Kode Etik Pers serta Pergolakan Idealisme Pers Mahasiswa)[1]


Akhir-akhir ini orang–orang menunjukkan tingkat kebutuhannya yang tinggi pada informasi baik dari media cetak atau pun elektronik. Kebutuhan akan informasi seolah telah menjadi kebutuhan primer masyarakat modern. Kita tentu akan bertanya, dari manakah informasi itu, siapakah yang terlibat dalam produksi dan pendistribusiaannya dalam kehidupan social kita? Semua ini akan terjawab sebagai sebuah kerja jurnalistik atau pers.
Jurnalistik berasal dari bahasa Latin Diurnalis yang berarti harian atau tiap hari. Kata journal sendiri diartikan sebagai catatan harian atau surat kabar. Sedangkan pers berasal dari bahasa Belanda yang bearti menekan atau mengepres. Kata pers sepadan dengan Press dalam bahasa Inggris dengan arti yang sama.

Sejarah Pers
Sejarah awal pers atau jurnalistik pertama kali ditemukan sejak 2000 tahun yang lalu pada Romawi kuno. Gulungan-gulungan pengumuman (Acta Diurna) disebarkan di tengah kota oleh kerajaan. Bahkan ada yang menyebutkan jika kegiatan-kegiatan jurnalistik awal telah muncul sejak 3000 tahun yang lalu di Mesir.
Eropa menjadi rumah pers modern. Sejak ditemukannya mesin cetak oleh Guternberg pada abad ke-15 membantu perkembangan jurnalistik ke tingkat yang lebih mapan. Surat Kabar pertama terbit di Jerman, kemudian berturut, turut terbit di berbagai Negara eropa lainnya seperti Belanda, Prancis, dan Inggris.
Sedangkan sejarah pers Indonesia di masa penjajahan secara garis besar dapat dibagi dalam empat kelompok. Pers Belanda, Pers Tionghoa/Melayu, Pers Indonesia dan Pers Jepang. Semasa penjajahan, masyarakat Belanda merupakan kaum elitenya, dan bisa difahami pula kala itu pers Belandalah yang merupakan pers yang terbesar, termaju, baik segi fisik maupun manajemennya. Adanya pers Belanda bahkan sudah ditengarai sejak zaman Gubernur Jenderal pertama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Jan Pieters Zoon Coen, yang diberi nama Memorie der Nouvelles.
Juga di zaman Jepang, kaum wartawan Indonesia meskipun secara lahiriah terhambat mengutarakan rasa pirasa hati serta pikiran, namun dalam kenyataannya mereka masih selalu mampu menyebarluaskan semangat kebangsaan, semangat untuk hidup merdeka dan mandiri, tidak dijajah oleh bangsa asing.
Indonesia sudah merdeka, tetapi Jepang masih berkuasa. Pada awal September 1945 terbitlah “koran gelap” yang banyak ditempelkan di pohon-pohon di pinggir jalan atau di dinding-dinding gedung. Berita Indonesia yang diusahakan oleh sejumlah mahasiswa dan pelajar sebagai imbangan dari terbitnya Berita Gunseikanbu, koran Jepang yang khusus dicetak berisi pengumuman-pengumuman pemerintah militer, setelah Jepang kalah perang.
Pada masa-masa awal penerbitan pribumi banyak memuat hal-hal yang mengenai kebudayaan, agama, hiburan dan sedikit perdagangan. Ada yang menyebutkan, bahwa sebagai Bapak Jurnalistik Indonesia adalah Landjumin Datuk Temenggung, yang mengemudikan majalah Tjahaja Hindia dan kemudian suratkabar Neratja. Menurut ukuran zamannya, Neratja merupakan suratkabar yang cukup modern; karena, selain merupakan suratkabar milik bangsa Indonesia asli, juga yang mulai memuat gambar-gambar foto, dengan tata muka yang sudah meninggalkan tatacara lama. Hal yang sangat langka pada masa itu. Ada pula yang mengatakan, bahwa Datuk Sutan Maharadja pengasuh Utusan Melayu (Padang), yang terbit 3 x seminggu, layak dianggap Bapak Jurnalistik, setidak-tidaknya untuk wilayah Sumatera.
Pers Indonesia boleh dikatakan mulai berkembang setelah kaum elit Indonesia merasa memerlukan alat komunikasi, terutama sebagai akibat bertambahnya sekolah-sekolah baik yang dibuka pemerintah maupun oleh bangsa Indonesia sendiri. Terutama lagi setelah berdirinya berbagai perkumpulan dan organisasi, yang kemudian merasa masing-masing memerlukan alat propaganda atau corongnya sendiri. Empat organisasi dan partai politik Indonesia yang memegang peranan dalam perkembangan pers Indonesia adalah Boedi Otomo, Sarekat Islam, de Indische Partij dan PKI.
Dalam kenyataannya, pers menjadi salah satu alat pergerakan kemerdekaan. Adalah suatu kenyataan pula, bahwa tiap pemimpin gerakan kebangsaan dan keagamaan di Indonesia pada masa lampau, pernah mengemudikan berkala atau suratkabar dari organisasi yang dipimpinnya. Haji Oemar Said Tjokroaminoto (Oetoesan Hindia), Ir. Soekarno (Fikiran Rakyat), Bung Hatta, Bung Syahrir (Daulat Rakyat), Douwes Dekker alias Setiabudhi (De Expres, Het Tijdschrift), Dr. Sam Ratulangie  (Nationale  Commentaren),  Ki  Hadjar Dewantara (Penggugah), Rangkayo Rasuna Said (Menara Puteri), Dr. Tjipto Mangunkusurno (Het Tijdschrift), Dr. Soetomo (Soeara Oemoem) dan masih banyak lainnya lagi.
Pada lazimnya, pada waktu itu soal materi tidak begitu dihiraukan. Mereka terjun dalam bidang kewartawanan dan jurnalistik memang dengan penuh dedikasi serta rasa pengabdian kepada perjuangan negara dan bangsa. Pers dan kaum wartawan Indonesia masa itu umumnya, terlebih dahulu nasionalis, baru kemudian wartawan. Pers Indonesia di masa penjajahan adalah pers perjuangan.


Peran dan Fungsi Pers (Mahasiswa)
Pers masa kini baik pers umum atau pers mahasiswa. Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers menjadi benteng terakhir rakyat Indonesia ketika Ekskutif, legislative, dan yudikatif tidak memihak kepada kepentingan rakyat.
Sebelum memulai pembicaraan mengenai peran dan fungsi pers (mahasiswa), ada baiknya kita perjelas definisi Pers Kampus dan Pers Mahasiswa. Lokakarya Pers Kampus se-Indonesia (45 delegasi mewakili 45 penerbit pers kampus maupun pers mahasiswa) di Universitas Brawijaya Malang tanggal 10-13 Januari 1977 berhasil menyusun rumusan pengertian pers kampus dan pers mahasiswa sbb:
1.       Pers Kampus ialah penerbitan pers yang dikelola oleh lembaga perguruan tinggi, difungsikan sebagai media komunikasi intern perguruan tinggi tersebut (di lingkungan civitas akademica).
2.       Pers Mahasiswa ialah penerbitan pers yang dikelola oleh organisasi mahasiswa sebagai media informasi mahasiswa. Isi informasi bersifat mendidik, menyalurkan informasi, menghibur (rekreatif), dan sekaligus menyalurkan kritik sosial.
Pers mahasiswa merupakan bagian penting dari gerakan (sosial) Mahasiswa. Perubahan-perubahan besar dalam sejarah pergerakan tak lepas dari peran pers mahasiswa. Ia menjadi ujung tombak dalam propoganda dan pembentukan opini, sikap, dan pemahaman mahasiswa dan publik secara umum. Peran pers mahasiswa tidak hanya mewarnai beberapa gerakan-gerakan perubahan beberapa tahun terakhir tetapi juga telah dimulai semenjak lahirnya organisasi-organisasi gerakan awal prakemerdekaan.
Kelahiran pers mahasiswa tak terlepas dari realitas sosial politik ekonomi rakyat yang mendapat represifitas dari penguasa (negara), semenjak kelahirannya yang nyata pada zaman penjajahan. Ia lahir untuk mengimbangi pemberitaan dan propaganda yang dilakukan oleh media-media pemerintah dan media yang tunduk pada penguasa, yang melacurkan diri pada kekuasaan.
Kemunculan pers mahasiswa pada zaman penjajahan menandakan telah munculnya kesadaran kebangsaan (nasionalisme). Maka tak salah jika Bung Karno pernah berkata, ”jadilah seorang nasionalis baru menjadi wartawan”. Karena memang profesi jurnalis menuntut kita untuk memberikan peran yang besar untuk kepentingan rakyat banyak.
Nuansa idealisme dalam setiap pemberitaan dan muatan isi pemberitaan pers mahasiswa terasa begitu kental. Tanpa tedeng aling-aling ia berani mendobrak ”dominasi”, membongkar segala hal yang dianggap layak diketahui masyarakat, mengupas isu-isu dan wacana lintas sektor tanpa dibumbui kepentingan-kepentingan sesaat.
Berbicara tentang spektrum kekuatan pers mahasiswa, maka tak ada seorang pun yang menyangkal akan peran besar dan signifikan dalam melakukan perubahan, baik sosial atau pun intelektual. Namun kekuatan besar tersebut tak akan mampu dirasakan jika pers mahasiswa tidak menjalankan peran-peran penting dan utamanya. Satrio Aris Munandar mengidentifikasi beberapa peran penting pers mahasiswa, yaitu pertama, pemberi informasi, sosialisasi dan edukasi, kedua, inspirator, motivator dan provokator, ketiga, mediator dan wadah debat intelektual dan menjembatani bebagai kelompok gerakan.
Peran-peran tersebut di atas tak lepas dari peran utama pers mahasiswa sebagai bagian dari pers pada umumnya adalah sebagai kontrol sosial, kontrol kekuasaan. Sebagai alat perjuangan-pergerakan, pers mahasiswa diharapkan tidak hanya menyajikan berita, tetapi juga secara tegas mendukung dan ikut aktif menggalang aksi massa.
Peran besar pers mahasiswa ini kadang-kadang harus dihadapkan oleh kenyataan pahit akan kompleksitas permasalahan SDM (kaderisasi) dan permasalahan lainnya yang berpengaruh terhadap pengkerdilan peran pers mahasiswa sendiri. 
Sebagai kontrol sosial, pers mahasiswa harus mampu memberikan alternatif pilihan informasi terhadap gempuran informasi beragam dari berbagai arah. Pers mahasiswa memilki karakteristik yang khas dan membedakannya dengan pers umum, diantaranya adalah muatan pemberitaan, gaya penyampaian yang lugas dan menggugah, pilihan kata (diksi) amat diperhatikan guna melakukan penekanan sesuai dengan peran dan tujuan penulisan pers mahasiswa.

Dalam realita dan konteks kekinian, tentu telah banyak terjadi perubahan dan pergeseran-pergeseran pemikiran dan idealisme pers mahasiswa. Oleh karena itu, berbicara tentang pers mahasiswa hari ini dan ke depan serta berbagai kompleksitasnya adalah menjadi tanggung jawab aktivis persma saat ini.

Pergolakan Idealisme Pers Mahasiswa
Pada zaman pra kemerdekaan, peran mahasiswa sangat strategis, sebagai kaum intelektual sumbangannya terhadap perjuangan dalam memeperebutkan kemerdekaan sangat besar. Yaitu sebagai penyebar semangat nasionalisme bagi masyarakat untuk berjuang dalam memperebutkan kemerdekaaan. Salah satu sarana yang dipakai adalah beberapa tulisan, artikel, maupun pidato pada saat pertemuan-pertemuan. Keadaan ini mulai mengendor pada zaman jepang karena situasi yang tidak memungkinkan, namun propaganda yang dilakukan mahasiswa terus dilakukan. Banyak para pahlawan kemerdkaan dipenjara oleh penjajah (belanda dan jepang), karena menulis artikel di surat kabar atau selebaran yang isinya mengajak masyarakat untuk bersatu dalam memperebutkan kemerddekaan seperti bung karno, hatta, syahrir, agus salaim, dan lainnya.
Pasca kemerdekaan, (1945-an) perjuangan mahasiswa Indonesia praktis terfokus pada perjuangan dan mempertahankan kemerdekaaan. Seperti ikut tergabung dalam kesatuan perang, sebagai pendukung perang, dan sebagai penengah dalam perundingan dengan Belanda. Sampai tahun 1950, mahasiswa terus terlibat dalam memepertahankan kemerdekaan.
Yang paling terasa sampai saat ini adalah perjuangan mahasiswa dalam pembubaran G-30 S PKI dalam pada tahun 1965 bersama tentara mahasiswa turun ke jalan untuk menuntut pemerintah membubarkan gerakan dan organisasi PKI di Indonesia. Kondisi ini berhasil karena di dukung oleh masyarakat. Selanjutnya, perjuangan mahasiswa disalurkan lewat beberapa aksi, demo dan advokasi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin sampai sekarang. Juga yang paling fenomenal adalah perjuangan menumbangkan rezim soeharto pada tahun 1998 yaitu dengan lahirnya reformasi. Mahassiswa bersama masyarakat turun ke jalan-jalan dan menduduki gedung DPR/MPR perjuangan mahasiswa juga dilakukan oleh organisasi-organisasi, baik yang ada dikalangan kampus (intern) seperti organisasi pers mahasiswa (persma), kelompok diskusi, pengkaji dan lainnyua maupun luar kampus (ekstern) seperti HMI, KAMMI, PMII, PPMI, dan lainnya.
Kalangan mahasiswa yang tergabung dalam persma juga tidak sedikit menyumbang pikiran dan tenaga dalam mengisi kemerdekaan untuk mengawal pembangunan. Mulai tahun 45-an kalau dilihat dari fungsinya, persma tidak banyak berbuat karena kondisinya dalam keaadaan perang dan pada waktu itu semuanya elemen masyarakat ikuit terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan. Kemudian emasuki tahun 50-an warna intelektualisme sangat kuat. Ini dipengaruhi oleh zaman demokrasi liberal dan awal demokrasi terpimpin. Di beberapa kota mulai muncul terbitan-terbitan mahasiswa seperti di Bandung, Jakarta, Jogjakarta, dan Surabaya. Sempat pada tahun 1958, organisasi persma tingkat nasional terbentuk, dengan nama ikatan pers mahasiswa Indonesia (IPMI). Memasuki tahun 60-an senua organisasi masyarakat (organisasi pemuda) termasuk persma, kalau mau ikut dalam percaturan Negara, dianjurkan untuk berintegrasi dengan salah satu partai politik, ini merupakan kebijakan presiden soekarno pada waktu itru. Beberapa orang anggota IPMI akhirnya masuk ke partai politik, jalan ini dilakukan supaya mereka bias ikut berpartisipasi dalam percaturan politik nasional, sedangkan terbitan-terbitan mahasiswa tetap bersuara kritis terhadap kondisi sekitarnya.
Puncaknya adalah peristiwa 30 September 1965, persma betul-betul sebagai media yang menyuarakan demokrasi, dengan memaparkan kondisi Negara pada waktu itu, ini terbukti dengan bermunculannya terbitan persma, seperti mahasiswa Indonesia, harian kami, mimbar demokrasi, dan gelora mahasiswa Indonesia. Pada tahun 1965, aktivis persma juga ikut menggalang kekuatan mahasiswa dalam membubarkan PKI. Awal Orde Baru, persma terus menyuarakan kekritisannya terhadap pemerintah, sampai terjadi peristiwa Malari (1974). Pemerintah mulai merintangi kegiatan mahasiswa termasuk aktivis pers mahasiswa dan tak terkecuali pers umum dibredel. Pimpinan-pimpinan lembaga penerbitan mahasiswa yang yang ditengarai (diindikasikan) sebagai oposisi ditangkap pemerintah Orde Baru.
Perjuangan persma betul-betul dibikin tak berdaya oleh pemerintah, namun dibalik itu mulai bermunculan pers ma (lembaga Penerbitan Mahasiswa/LPM) baru, karena dukunga dari institusi (perguruan Tinggi0 tempat bernaung, terutama masalah dana. IPMI yang sebagai organisasi persma mulai melakukan aksinya dengan melakukan berbagai kegiatan maupun pelatihan-pelatihan. Menjamurnya persma menyebabkan persma menyebabkan pemerintah gerah, yang sampai pada akhirnya mengeluarkan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi kegiatan Kampus/Badan koordinasi Kampus). Dengan dikelurkannya NKK/BKK, praktis kegiatan mahasiswa mulai berkurang termasuk aktivitas persma. Begitu juga dengan IPMI, karena maslaha intern yang berkepanjangan menyebabkan organisasi ini tidak bias membantu LPM yang terkena masalah.
Memasuki tahun 80-an kehidupan persma skala nasional masih dingin, LPM sibuk dengan kegiatannya masing-masing, sedangkan IPMI sudah tidak bisa membantu lebih banyka, apalagi keindependensiannya dipertanyakan oleh pemerintah dan anggotanya, bahkan setelah Kongres di Jakarta (1982), IPMI diminta bergabung dengan KNPI – organisasi buatan pemerintah - , tetapi karena anggotanya banyak yang menolak, maka pemerintah melarang IPMI untuk kongres berikutnya. Alas an pelarangan ini tidak jelas. Juga pada waktu itu, pengurus IPMI banyak terlibat dalam persoalan politik.
Akhir tahun 80-an, persma mulai bermunculan lagi, begitu juga dengan kegiatannya yang banyk menyenggol kebijakan pemerintah, bahkan para aktivis persma terang-terangan menanyakan status IPMI yang dibredel oleh pemerintah. LPM-LPM yang muncul seperti akademi (Unud, Bali), Tegalboto (Unej, jember), Solidaritas (IAIN Surabaya), Balairung (UGM Jogja), Jumpa (Unpas, bandung) Detiktika (UIN Jakarta), Teknokra (Unilam Lampung), Bahana Mahasiswa (Unsri, Riau), Catatan Kaki (Unhas Makasar), KKM Media (Unram, Mataram), dan lainnya. Kegelisahan para aktivis pers ini mulai membuahkan hasil, yaitu pada pertemuan persma se-Indonesia di Malang (1992) yang akhirnya membentuk Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang merupakan reinkarnasi IPMI.
Perjuangan PPMI mulai Nampak. Keadaan ini didukung dengan kondisi persma sendiri, yang dengan kekreatifan para aktivisnya, baik dalam mencari berita dan sumber berita, sehingga pers mahasiswa bias didengar oleh institusi tempat bernaung maupun oleh pemerintah dan masyarakat. Sebutan pers alternative pun diberikan oleh masyarakat umum, yang secara ilmiah pers alternative sulit dimaknakan. Namun oleh masyarakat diartikan sebagai suatu terbitan yang lebih berani dari pers umum, dari segi beritanya. Kondisi yang demikian terjadi sampai akhir 90-an.
Dalam satu nada itulah persma sesekali menunjukkan tajinya dengan mengoper dan mengambil peran yang semstinya diambil oleh pers umum. Dengan strategi gerilya bawah tanah, persma sedikit banyak mampu mengobati kerinduan public atas perlu hadirnya informasi penuh warna dan bermutu. Namun lambat laun, baik persma amaupun umum, banyka gulung tikar atau ditutup paksa secara semena-mena oleh penguasa dengan dalih stabilitas nasional.
Dengan lahirnya era reformasi 1998, yang kemudian pemerintah memberikan kebebasan penuh kepada insane pers baik umum atau terbitan mahasiswa, mengakibatkan perubahan yang luar biasa terhadap terbitan di Indonesia apakah itu berita yang disampaikan betul atau tidak. Apalagi dengan dicabutnya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), tak terbayang jumlah terbitan yang muncul, dari hasil survey sebuah LSM, sampai awal tahun 2000 sekitar 1500 terbitan muncul, yang sebelumnya era reformasi hanya sekitar 250 terbitan. Ini adalah sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Munculnya terbitan bagai jamur tersebut akhirnya satu persatu mulai gulung tikar, masyarakat pun mulai bias membedakan mana media yang bermutu dan mana media yang asal-asalan. Memang akhir-akhir ini, pers umum masih didominasi oleh tingginya tarik suara anta relit politik, saling tuduh, bahkan menjatuhkan sampai komentar beberapa tokoh mengenai kondisi social ekonomi dan politik, membuat pembaca ata7u masyarakat tambah bingung. Untungnya tidak semua pers umum demikian, namun sebagian besar menampilkan berita yang memprovokasi masyarakat.
Untuk mencapai tujuannya secara nasional, persma juga ikut mendorong tercapainya budaya demokrasi Indonesia dan terus menyuarakan kebebasan pers; ini merupakan dasar perjuangan atau visi misi dari persma. Dalam mencapai target tersebut, sertingkali persma terbentur dengan berbagai kendala, baik dari internal maupun eksternal persma sendiri. Namun karena mahasiswa masih memiliki idealisme yang kuat, keyakinan untuk mencapai misi dasar tersebut tetap terbuka. Idealisme disini menurut Agus Sudibyo diistilahkan juga sebagai ideology, yaitu kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya, sedangkan persma sendiri memaknai idealisme adalah kerangka dasar dalam melakukan perjuangan untuk mencapai tujuan bersama.
Persma adalah alat perjuangan, bukan kenaikan oplah dan peningkatan mutu pemberitaan yang menjadi prioritas, tetapi bagaimana persma menjadi wadah rembug bersama, yang pesannya bias menembus dinding-ding pengelompokan yang primitive, apapun wujud pengelompokan itu. Untuk itu persma seharusnya tidak bersaing dari komunitas masyarakat yang melingkupiya. Sebaliknya, ketika pers umum dan berkotak-kotak mengupas isu yang sama, persma harus menjadi mediator bagi bertemunya gagasan dan pendapat public, untuk kemudian dicarikan solusi memihak yang lemah.
Ketika control politik diambil alih media umum, persma bias menjadi komoditi papers, yaitu pers yang melayani kebutuhan segmen (komunita) yang jelas. Persma harus menjadi pelayan dan pemuas kebutuhan komunitasn6ya. Perlu diingat, dalam perjuangan (berbisnis/berusaha), ada kredo klasik “jangan menentang selera/ kemauan pasar”. Meskipun sebuah produk sebetulnya bias mendikte pasar. Jika memang itu yang menjadi orientasi, tak ada pilihan lain bagi persma yaitu harus memegang teguh idealisme pers mahasiswa.


Ke-Media-an
Setiap organisasi atau komunitas di tengah-tengah masyarakat memiliki ciri dan karakter tertentu yang membedakannya dengan organisasi atau komunitas lainnya. Inilah yang dikenal sebagai identitas.
Media membatasi dan memberikan warna identitas tersendiri bagi setiap anggota yang terhimpun di dalamnya. Pun memberikan warna tersendiri dalam komunitas gerakan mahasiswa. Menjadi anggota MEDIA berarti memahami dan mematuhi setiap nilai, norma dan aturan yang disepakati bersama. Yang sangat perlu untuk ditonjolkan adalah rasa tanggungjawab (sense of responsibility) melakukan perubahan dengan ikut berperan serta merubah dan mengembangkan opini public melalui produk jurnalistik yang dihasilkan, karena jika hanya sebatas omongan semata ia tak akan pernah memiliki gigi. Karena untuk disegani dan ditakuti oleh “penguasa”, pers mesti bergigi, tidak ompong apalagi impotent.
Anggota organisasi pers adalah orang-orang yang secara pemikiran dan intelektual serta sosial memiliki keterbukan (inklusif) dan selalu berpihak kepada yang benar berdasarkan logika dan nurani. Ini memungkinkan control sosial dapat dilakukan dengan bebas dan tidak pilih kasih.
Kritisme anggota dapat pula menjadi identitas tersendiri bagi anggota organisasi pers. Suatu keadaan tak akan dibiarkannya berlangsung dan terus berlanjut jika bertolak belakang dengan hati nuraninya. Karena tugas utama pers adalah menjadi pengontrol. PK Ojong pernah menulis jika tugas pers bukanlah untuk menjilat yang berkuasa tetapi untuk mengkritik mereka yang berkuasa.
Insan-insan pers selalu memperjuangkan kebebasan dan menolak tegas setiap bentuk pengekangan terhadap kebebasan sebagai fitrah kemanusiaan. Pers harus bebas mengkritik, bebas menuduh asalkan memiliki bukti dan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan, demi kepentingan umum. Di sinilah dituntut keberanian itu.
Sifat pemberani harus dimiliki oleh seorang insan pers. Berani menyerang secara frontal, menelanjangi ketidakbecuasan dan penyelewengan birokrasi. Ia berani mengatakan kebenaran sebagai kebenaran dan kesalahan sebagai kesalahan. Karena Kebenaran merupakan salah satu tujuan besar yang dicanangkan oleh nenek moyang segala bangsa dan menjadi cita-cita pembangunan peradaban majusia.
Pers harus menjadi wadah pergerakan progressif sosial masyarakat khususnya masyarakat terdidik dalam kampus.
Pers harus dijiwai sebagai alat perjuangan untuk membuka setiap penyelewengan yang dilakukan alat kekuasaan (negara) terhadap hak-hak rakyat.
untuk membangun Kriteria terpenting atau prasyarat setiap perjuangan gerakan mahasiswa, apa pun bentuknya, yang menjadi ukuran terpenting  adalah rakyat.
Setiap anggota yang mengatasnamakan diri sebagai bagian dari organisasi  dan keluarga besar UKPKM MEDIA diharapkan dapat memiliki kedisiplinan dengan ciri-ciri sebagai berikut :
Paham : meyakini dan memahami status dan peran sebagai aktivis mahasiswa yang berlandaskan idealisme mahasiswa yang jauh dari kepentingan pribadi dan kekuasaan
Kritis : tidak memandang persoalan menggunakan kaca mata kuda, tetapi dilihat, dianalisis secara logis, tajam, komprehensif,
Ikhlas : keikhlasan yang tercermin dari ucapan dan perbuatan yang semata-mata dilandasi keinginan luhur sebagai intelektual organik
Berjuang :tahapan perjuangan yang harus dilakukan yang pertama dengan hati (cinta dan kasih), dengan lisan, tulisan, dan kekuasaan sebagai alternative akhir. Setiap perbuatan, perkataan, dan sikap yang ditunjukkan adalah dari apa yang telah dipelajari
Pengorbanan : untuk mencapai tujuan perlu adanya pengorbanan baik dengan harta, jiwa, waktu, kehidupan dan segala yang dimilikinya. No sacriface is waste. Tidak ada pengorbanan yang sia-sia (Soekarno). Dan yang perlu diingat: “Setiap Kejayaan Menghendaki Pengorbanan”
Loyal : melaksanakan segala aturan dan norma serta keputusan organisasi sebagai sikap memiliki.
Bersungguh-sungguh : bersungguh-sungguh pada jalan yang mengantarkan pada tujuan.
Solidaritas : kebersamaan dalam menanggung segala konsekuensi setiap putusan organisasi menjadi tanggung jawab bersama. Sama rata. Sama rasa.










1 Materi ini disampaikan dalam Latihan Jurnalistik Tingkat Dasar XVIII pada tanggal 18 November  2009 yang diselenggarakan oleh UKPKM MEDIA Universitas Mataram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar