Wawasan Pers
(Pers Umum & Pers
Mahasiswa : Sejarah, Peran, Fungsi dan Kode Etik Pers serta Pergolakan
Idealisme Pers Mahasiswa)[1]
Akhir-akhir ini orang–orang menunjukkan tingkat
kebutuhannya yang tinggi pada informasi baik dari media cetak atau pun
elektronik. Kebutuhan akan informasi seolah telah menjadi kebutuhan primer
masyarakat modern. Kita tentu akan bertanya, dari manakah informasi itu,
siapakah yang terlibat dalam produksi dan pendistribusiaannya dalam kehidupan
social kita? Semua ini akan terjawab sebagai sebuah kerja jurnalistik atau
pers.
Jurnalistik berasal dari bahasa Latin Diurnalis yang
berarti harian atau tiap hari. Kata journal sendiri diartikan sebagai catatan
harian atau surat kabar. Sedangkan pers berasal dari bahasa Belanda yang bearti
menekan atau mengepres. Kata pers sepadan dengan Press dalam bahasa Inggris
dengan arti yang sama.
Sejarah Pers
Sejarah awal pers atau jurnalistik
pertama kali ditemukan sejak 2000 tahun yang lalu pada Romawi kuno.
Gulungan-gulungan pengumuman (Acta Diurna) disebarkan di tengah kota oleh
kerajaan. Bahkan ada yang menyebutkan jika kegiatan-kegiatan jurnalistik awal
telah muncul sejak 3000 tahun yang lalu di Mesir.
Eropa menjadi rumah pers modern. Sejak
ditemukannya mesin cetak oleh Guternberg pada abad ke-15 membantu perkembangan
jurnalistik ke tingkat yang lebih mapan. Surat Kabar pertama terbit di Jerman,
kemudian berturut, turut terbit di berbagai Negara eropa lainnya seperti
Belanda, Prancis, dan Inggris.
Sedangkan sejarah pers Indonesia di masa
penjajahan secara garis besar dapat dibagi dalam empat kelompok. Pers Belanda,
Pers Tionghoa/Melayu, Pers Indonesia dan Pers Jepang. Semasa penjajahan,
masyarakat Belanda merupakan kaum elitenya, dan bisa difahami pula kala itu
pers Belandalah yang merupakan pers yang terbesar, termaju, baik segi fisik
maupun manajemennya. Adanya pers Belanda bahkan sudah ditengarai sejak zaman
Gubernur Jenderal pertama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Jan Pieters
Zoon Coen, yang diberi nama Memorie der Nouvelles.
Juga di zaman Jepang, kaum wartawan
Indonesia meskipun secara lahiriah terhambat mengutarakan rasa pirasa hati
serta pikiran, namun dalam kenyataannya mereka masih selalu mampu
menyebarluaskan semangat kebangsaan, semangat untuk hidup merdeka dan mandiri, tidak
dijajah oleh bangsa asing.
Indonesia sudah merdeka, tetapi Jepang
masih berkuasa. Pada awal September 1945 terbitlah “koran gelap” yang banyak
ditempelkan di pohon-pohon di pinggir jalan atau di dinding-dinding gedung.
Berita Indonesia yang diusahakan oleh sejumlah mahasiswa dan pelajar sebagai
imbangan dari terbitnya Berita Gunseikanbu, koran Jepang yang khusus dicetak
berisi pengumuman-pengumuman pemerintah militer, setelah Jepang kalah perang.
Pada masa-masa awal penerbitan pribumi
banyak memuat hal-hal yang mengenai kebudayaan, agama, hiburan dan sedikit
perdagangan. Ada yang menyebutkan, bahwa sebagai Bapak Jurnalistik Indonesia
adalah Landjumin Datuk Temenggung, yang mengemudikan majalah Tjahaja Hindia dan
kemudian suratkabar Neratja. Menurut ukuran zamannya, Neratja merupakan
suratkabar yang cukup modern; karena, selain merupakan suratkabar milik bangsa
Indonesia asli, juga yang mulai memuat gambar-gambar foto, dengan tata muka
yang sudah meninggalkan tatacara lama. Hal yang sangat langka pada masa itu.
Ada pula yang mengatakan, bahwa Datuk Sutan Maharadja pengasuh Utusan Melayu
(Padang), yang terbit 3 x seminggu, layak dianggap Bapak Jurnalistik,
setidak-tidaknya untuk wilayah Sumatera.
Pers
Indonesia boleh dikatakan mulai berkembang setelah kaum elit Indonesia merasa
memerlukan alat komunikasi, terutama sebagai akibat bertambahnya
sekolah-sekolah baik yang dibuka pemerintah maupun oleh bangsa Indonesia
sendiri. Terutama lagi setelah berdirinya berbagai perkumpulan dan organisasi,
yang kemudian merasa masing-masing memerlukan alat propaganda atau corongnya
sendiri. Empat organisasi dan partai politik Indonesia yang memegang peranan
dalam perkembangan pers Indonesia adalah Boedi Otomo, Sarekat Islam, de
Indische Partij dan PKI.
Dalam
kenyataannya, pers menjadi salah satu alat pergerakan kemerdekaan. Adalah suatu
kenyataan pula, bahwa tiap pemimpin gerakan kebangsaan dan keagamaan di
Indonesia pada masa lampau, pernah mengemudikan berkala atau suratkabar dari
organisasi yang dipimpinnya. Haji Oemar Said Tjokroaminoto (Oetoesan Hindia),
Ir. Soekarno (Fikiran Rakyat), Bung Hatta, Bung Syahrir (Daulat Rakyat), Douwes
Dekker alias Setiabudhi (De Expres, Het Tijdschrift), Dr. Sam Ratulangie
(Nationale Commentaren), Ki Hadjar Dewantara (Penggugah), Rangkayo
Rasuna Said (Menara Puteri), Dr. Tjipto Mangunkusurno (Het Tijdschrift), Dr.
Soetomo (Soeara Oemoem) dan masih banyak lainnya lagi.
Pada lazimnya, pada waktu itu soal
materi tidak begitu dihiraukan. Mereka terjun dalam bidang kewartawanan dan
jurnalistik memang dengan penuh dedikasi serta rasa pengabdian kepada
perjuangan negara dan bangsa. Pers dan kaum wartawan Indonesia masa itu
umumnya, terlebih dahulu nasionalis, baru kemudian wartawan. Pers Indonesia di
masa penjajahan adalah pers perjuangan.
Peran dan Fungsi Pers
(Mahasiswa)
Pers masa kini baik pers umum atau pers
mahasiswa. Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers menjadi benteng terakhir
rakyat Indonesia ketika Ekskutif, legislative, dan yudikatif tidak memihak
kepada kepentingan rakyat.
Sebelum
memulai pembicaraan mengenai peran dan fungsi pers (mahasiswa), ada baiknya
kita perjelas definisi Pers Kampus dan Pers Mahasiswa. Lokakarya Pers Kampus
se-Indonesia (45 delegasi mewakili 45 penerbit pers kampus maupun pers
mahasiswa) di Universitas Brawijaya Malang tanggal 10-13 Januari 1977 berhasil
menyusun rumusan pengertian pers kampus dan pers mahasiswa sbb:
1. Pers Kampus ialah penerbitan pers yang
dikelola oleh lembaga perguruan tinggi, difungsikan sebagai media komunikasi
intern perguruan tinggi tersebut (di lingkungan civitas akademica).
2. Pers Mahasiswa ialah penerbitan pers
yang dikelola oleh organisasi mahasiswa sebagai media informasi mahasiswa. Isi
informasi bersifat mendidik, menyalurkan informasi, menghibur (rekreatif), dan
sekaligus menyalurkan kritik sosial.
Pers mahasiswa merupakan bagian penting dari gerakan (sosial) Mahasiswa.
Perubahan-perubahan besar dalam sejarah pergerakan tak lepas dari peran pers
mahasiswa. Ia menjadi ujung tombak dalam propoganda dan pembentukan opini,
sikap, dan pemahaman mahasiswa dan publik secara umum. Peran pers mahasiswa
tidak hanya mewarnai beberapa gerakan-gerakan perubahan beberapa tahun terakhir
tetapi juga telah dimulai semenjak lahirnya organisasi-organisasi gerakan awal
prakemerdekaan.
Kelahiran pers mahasiswa tak terlepas dari realitas sosial politik ekonomi
rakyat yang mendapat represifitas dari penguasa (negara), semenjak kelahirannya
yang nyata pada zaman penjajahan. Ia lahir untuk mengimbangi pemberitaan dan
propaganda yang dilakukan oleh media-media pemerintah dan media yang tunduk
pada penguasa, yang melacurkan diri pada kekuasaan.
Kemunculan pers mahasiswa pada zaman penjajahan menandakan telah munculnya
kesadaran kebangsaan (nasionalisme). Maka tak salah jika Bung Karno pernah
berkata, ”jadilah seorang nasionalis baru menjadi wartawan”. Karena memang
profesi jurnalis menuntut kita untuk memberikan peran yang besar untuk
kepentingan rakyat banyak.
Nuansa idealisme dalam setiap pemberitaan dan muatan isi pemberitaan pers
mahasiswa terasa begitu kental. Tanpa tedeng aling-aling ia berani
mendobrak ”dominasi”, membongkar segala hal yang dianggap layak diketahui
masyarakat, mengupas isu-isu dan wacana lintas sektor tanpa dibumbui
kepentingan-kepentingan sesaat.
Berbicara tentang spektrum kekuatan pers mahasiswa, maka tak ada seorang
pun yang menyangkal akan peran besar dan signifikan dalam melakukan perubahan,
baik sosial atau pun intelektual. Namun kekuatan besar tersebut tak akan mampu
dirasakan jika pers mahasiswa tidak menjalankan peran-peran penting dan
utamanya. Satrio Aris Munandar mengidentifikasi beberapa peran penting pers
mahasiswa, yaitu pertama, pemberi informasi, sosialisasi dan edukasi, kedua,
inspirator, motivator dan provokator, ketiga, mediator dan wadah debat
intelektual dan menjembatani bebagai kelompok gerakan.
Peran-peran tersebut di atas tak lepas dari peran utama pers mahasiswa
sebagai bagian dari pers pada umumnya adalah sebagai kontrol sosial, kontrol
kekuasaan. Sebagai alat perjuangan-pergerakan, pers mahasiswa diharapkan tidak
hanya menyajikan berita, tetapi juga secara tegas mendukung dan ikut aktif
menggalang aksi massa.
Peran besar pers mahasiswa ini kadang-kadang harus dihadapkan oleh
kenyataan pahit akan kompleksitas permasalahan SDM (kaderisasi) dan
permasalahan lainnya yang berpengaruh terhadap pengkerdilan peran pers
mahasiswa sendiri.
Sebagai kontrol sosial, pers mahasiswa harus mampu memberikan alternatif
pilihan informasi terhadap gempuran informasi beragam dari berbagai arah. Pers
mahasiswa memilki karakteristik yang khas dan membedakannya dengan pers umum,
diantaranya adalah muatan pemberitaan, gaya penyampaian yang lugas dan
menggugah, pilihan kata (diksi) amat diperhatikan guna melakukan penekanan
sesuai dengan peran dan tujuan penulisan pers mahasiswa.
Dalam realita dan konteks kekinian, tentu telah banyak terjadi perubahan
dan pergeseran-pergeseran pemikiran dan idealisme pers mahasiswa. Oleh karena
itu, berbicara tentang pers mahasiswa hari ini dan ke depan serta berbagai
kompleksitasnya adalah menjadi tanggung jawab aktivis persma saat ini.
Pergolakan Idealisme
Pers Mahasiswa
Pada
zaman pra kemerdekaan, peran mahasiswa sangat strategis, sebagai kaum
intelektual sumbangannya terhadap perjuangan dalam memeperebutkan kemerdekaan
sangat besar. Yaitu sebagai penyebar semangat nasionalisme bagi masyarakat
untuk berjuang dalam memperebutkan kemerdekaaan. Salah satu sarana yang dipakai
adalah beberapa tulisan, artikel, maupun pidato pada saat pertemuan-pertemuan.
Keadaan ini mulai mengendor pada zaman jepang karena situasi yang tidak
memungkinkan, namun propaganda yang dilakukan mahasiswa terus dilakukan. Banyak
para pahlawan kemerdkaan dipenjara oleh penjajah (belanda dan jepang), karena
menulis artikel di surat kabar atau selebaran yang isinya mengajak masyarakat
untuk bersatu dalam memperebutkan kemerddekaan seperti bung karno, hatta,
syahrir, agus salaim, dan lainnya.
Pasca
kemerdekaan, (1945-an) perjuangan mahasiswa Indonesia praktis terfokus pada
perjuangan dan mempertahankan kemerdekaaan. Seperti ikut tergabung dalam
kesatuan perang, sebagai pendukung perang, dan sebagai penengah dalam perundingan
dengan Belanda. Sampai tahun 1950, mahasiswa terus terlibat dalam
memepertahankan kemerdekaan.
Yang
paling terasa sampai saat ini adalah perjuangan mahasiswa dalam pembubaran G-30
S PKI dalam pada tahun 1965 bersama tentara mahasiswa turun ke jalan untuk
menuntut pemerintah membubarkan gerakan dan organisasi PKI di Indonesia.
Kondisi ini berhasil karena di dukung oleh masyarakat. Selanjutnya, perjuangan
mahasiswa disalurkan lewat beberapa aksi, demo dan advokasi kebijakan
pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin sampai sekarang. Juga
yang paling fenomenal adalah perjuangan menumbangkan rezim soeharto pada tahun
1998 yaitu dengan lahirnya reformasi. Mahassiswa bersama masyarakat turun ke
jalan-jalan dan menduduki gedung DPR/MPR perjuangan mahasiswa juga dilakukan
oleh organisasi-organisasi, baik yang ada dikalangan kampus (intern) seperti
organisasi pers mahasiswa (persma), kelompok diskusi, pengkaji dan lainnyua
maupun luar kampus (ekstern) seperti HMI, KAMMI, PMII, PPMI, dan lainnya.
Kalangan
mahasiswa yang tergabung dalam persma juga tidak sedikit menyumbang pikiran dan
tenaga dalam mengisi kemerdekaan untuk mengawal pembangunan. Mulai tahun 45-an
kalau dilihat dari fungsinya, persma tidak banyak berbuat karena kondisinya
dalam keaadaan perang dan pada waktu itu semuanya elemen masyarakat ikuit
terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan. Kemudian emasuki tahun 50-an warna
intelektualisme sangat kuat. Ini dipengaruhi oleh zaman demokrasi liberal dan
awal demokrasi terpimpin. Di beberapa kota mulai muncul terbitan-terbitan
mahasiswa seperti di Bandung, Jakarta, Jogjakarta, dan Surabaya. Sempat pada
tahun 1958, organisasi persma tingkat nasional terbentuk, dengan nama ikatan
pers mahasiswa Indonesia (IPMI). Memasuki tahun 60-an senua organisasi
masyarakat (organisasi pemuda) termasuk persma, kalau mau ikut dalam percaturan
Negara, dianjurkan untuk berintegrasi dengan salah satu partai politik, ini
merupakan kebijakan presiden soekarno pada waktu itru. Beberapa orang anggota
IPMI akhirnya masuk ke partai politik, jalan ini dilakukan supaya mereka bias
ikut berpartisipasi dalam percaturan politik nasional, sedangkan
terbitan-terbitan mahasiswa tetap bersuara kritis terhadap kondisi sekitarnya.
Puncaknya
adalah peristiwa 30 September 1965, persma betul-betul sebagai media yang
menyuarakan demokrasi, dengan memaparkan kondisi Negara pada waktu itu, ini
terbukti dengan bermunculannya terbitan persma, seperti mahasiswa Indonesia,
harian kami, mimbar demokrasi, dan gelora mahasiswa Indonesia. Pada tahun 1965,
aktivis persma juga ikut menggalang kekuatan mahasiswa dalam membubarkan PKI.
Awal Orde Baru, persma terus menyuarakan kekritisannya terhadap pemerintah,
sampai terjadi peristiwa Malari (1974). Pemerintah mulai merintangi kegiatan
mahasiswa termasuk aktivis pers mahasiswa dan tak terkecuali pers umum dibredel.
Pimpinan-pimpinan lembaga penerbitan mahasiswa yang yang ditengarai
(diindikasikan) sebagai oposisi ditangkap pemerintah Orde Baru.
Perjuangan
persma betul-betul dibikin tak berdaya oleh pemerintah, namun dibalik itu mulai
bermunculan pers ma (lembaga Penerbitan Mahasiswa/LPM) baru, karena dukunga
dari institusi (perguruan Tinggi0 tempat bernaung, terutama masalah dana. IPMI
yang sebagai organisasi persma mulai melakukan aksinya dengan melakukan
berbagai kegiatan maupun pelatihan-pelatihan. Menjamurnya persma menyebabkan
persma menyebabkan pemerintah gerah, yang sampai pada akhirnya mengeluarkan
kebijakan NKK/BKK (Normalisasi kegiatan Kampus/Badan koordinasi Kampus). Dengan
dikelurkannya NKK/BKK, praktis kegiatan mahasiswa mulai berkurang termasuk
aktivitas persma. Begitu juga dengan IPMI, karena maslaha intern yang
berkepanjangan menyebabkan organisasi ini tidak bias membantu LPM yang terkena
masalah.
Memasuki
tahun 80-an kehidupan persma skala nasional masih dingin, LPM sibuk dengan
kegiatannya masing-masing, sedangkan IPMI sudah tidak bisa membantu lebih
banyka, apalagi keindependensiannya dipertanyakan oleh pemerintah dan
anggotanya, bahkan setelah Kongres di Jakarta (1982), IPMI diminta bergabung
dengan KNPI – organisasi buatan pemerintah - , tetapi karena anggotanya banyak
yang menolak, maka pemerintah melarang IPMI untuk kongres berikutnya. Alas an
pelarangan ini tidak jelas. Juga pada waktu itu, pengurus IPMI banyak terlibat
dalam persoalan politik.
Akhir
tahun 80-an, persma mulai bermunculan lagi, begitu juga dengan kegiatannya yang
banyk menyenggol kebijakan pemerintah, bahkan para aktivis persma
terang-terangan menanyakan status IPMI yang dibredel oleh pemerintah. LPM-LPM
yang muncul seperti akademi (Unud, Bali), Tegalboto (Unej, jember), Solidaritas
(IAIN Surabaya), Balairung (UGM Jogja), Jumpa (Unpas, bandung) Detiktika (UIN
Jakarta), Teknokra (Unilam Lampung), Bahana Mahasiswa (Unsri, Riau), Catatan
Kaki (Unhas Makasar), KKM Media (Unram, Mataram), dan lainnya. Kegelisahan para
aktivis pers ini mulai membuahkan hasil, yaitu pada pertemuan persma
se-Indonesia di Malang (1992) yang akhirnya membentuk Perhimpunan Pers
Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang merupakan reinkarnasi IPMI.
Perjuangan PPMI mulai Nampak. Keadaan ini
didukung dengan kondisi persma sendiri, yang dengan kekreatifan para
aktivisnya, baik dalam mencari berita dan sumber berita, sehingga pers
mahasiswa bias didengar oleh institusi tempat bernaung maupun oleh pemerintah
dan masyarakat. Sebutan pers alternative pun diberikan oleh masyarakat umum,
yang secara ilmiah pers alternative sulit dimaknakan. Namun oleh masyarakat
diartikan sebagai suatu terbitan yang lebih berani dari pers umum, dari segi
beritanya. Kondisi yang demikian terjadi sampai akhir 90-an.
Dalam
satu nada itulah persma sesekali menunjukkan tajinya dengan mengoper dan
mengambil peran yang semstinya diambil oleh pers umum. Dengan strategi gerilya
bawah tanah, persma sedikit banyak mampu mengobati kerinduan public atas perlu
hadirnya informasi penuh warna dan bermutu. Namun lambat laun, baik persma
amaupun umum, banyka gulung tikar atau ditutup paksa secara semena-mena oleh
penguasa dengan dalih stabilitas nasional.
Dengan
lahirnya era reformasi 1998, yang kemudian pemerintah memberikan kebebasan
penuh kepada insane pers baik umum atau terbitan mahasiswa, mengakibatkan
perubahan yang luar biasa terhadap terbitan di Indonesia apakah itu berita yang
disampaikan betul atau tidak. Apalagi dengan dicabutnya SIUPP (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers), tak terbayang jumlah terbitan yang muncul, dari hasil survey
sebuah LSM, sampai awal tahun 2000 sekitar 1500 terbitan muncul, yang
sebelumnya era reformasi hanya sekitar 250 terbitan. Ini adalah sesuatu yang
tak pernah terjadi sebelumnya. Munculnya terbitan bagai jamur tersebut akhirnya
satu persatu mulai gulung tikar, masyarakat pun mulai bias membedakan mana
media yang bermutu dan mana media yang asal-asalan. Memang akhir-akhir ini,
pers umum masih didominasi oleh tingginya tarik suara anta relit politik,
saling tuduh, bahkan menjatuhkan sampai komentar beberapa tokoh mengenai
kondisi social ekonomi dan politik, membuat pembaca ata7u masyarakat tambah
bingung. Untungnya tidak semua pers umum demikian, namun sebagian besar menampilkan
berita yang memprovokasi masyarakat.
Untuk
mencapai tujuannya secara nasional, persma juga ikut mendorong tercapainya
budaya demokrasi Indonesia dan terus menyuarakan kebebasan pers; ini merupakan
dasar perjuangan atau visi misi dari persma. Dalam mencapai target tersebut,
sertingkali persma terbentur dengan berbagai kendala, baik dari internal maupun
eksternal persma sendiri. Namun karena mahasiswa masih memiliki idealisme yang
kuat, keyakinan untuk mencapai misi dasar tersebut tetap terbuka. Idealisme disini
menurut Agus Sudibyo diistilahkan juga sebagai ideology, yaitu kerangka
berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk
melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya, sedangkan persma sendiri
memaknai idealisme adalah kerangka dasar dalam melakukan perjuangan untuk
mencapai tujuan bersama.
Persma
adalah alat perjuangan, bukan kenaikan oplah dan peningkatan mutu pemberitaan
yang menjadi prioritas, tetapi bagaimana persma menjadi wadah rembug bersama,
yang pesannya bias menembus dinding-ding pengelompokan yang primitive, apapun
wujud pengelompokan itu. Untuk itu persma seharusnya tidak bersaing dari
komunitas masyarakat yang melingkupiya. Sebaliknya, ketika pers umum dan
berkotak-kotak mengupas isu yang sama, persma harus menjadi mediator bagi
bertemunya gagasan dan pendapat public, untuk kemudian dicarikan solusi memihak
yang lemah.
Ketika
control politik diambil alih media umum, persma bias menjadi komoditi papers,
yaitu pers yang melayani kebutuhan segmen (komunita) yang jelas. Persma harus
menjadi pelayan dan pemuas kebutuhan komunitasn6ya. Perlu diingat, dalam
perjuangan (berbisnis/berusaha), ada kredo klasik “jangan menentang selera/
kemauan pasar”. Meskipun sebuah produk sebetulnya bias mendikte pasar. Jika
memang itu yang menjadi orientasi, tak ada pilihan lain bagi persma yaitu harus
memegang teguh idealisme pers mahasiswa.
Ke-Media-an
Setiap
organisasi atau komunitas di tengah-tengah masyarakat memiliki ciri dan
karakter tertentu yang membedakannya dengan organisasi atau komunitas lainnya.
Inilah yang dikenal sebagai identitas.
Media
membatasi dan memberikan warna identitas tersendiri bagi setiap anggota yang
terhimpun di dalamnya. Pun memberikan warna tersendiri dalam komunitas gerakan
mahasiswa. Menjadi anggota MEDIA berarti memahami dan mematuhi setiap nilai,
norma dan aturan yang disepakati bersama. Yang sangat perlu untuk ditonjolkan
adalah rasa tanggungjawab (sense of responsibility) melakukan perubahan
dengan ikut berperan serta merubah dan mengembangkan opini public melalui
produk jurnalistik yang dihasilkan, karena jika hanya sebatas omongan semata ia
tak akan pernah memiliki gigi. Karena untuk disegani dan ditakuti oleh
“penguasa”, pers mesti bergigi, tidak ompong apalagi impotent.
Anggota
organisasi pers adalah orang-orang yang secara pemikiran dan intelektual serta
sosial memiliki keterbukan (inklusif) dan selalu berpihak kepada yang benar
berdasarkan logika dan nurani. Ini memungkinkan control sosial dapat dilakukan
dengan bebas dan tidak pilih kasih.
Kritisme anggota dapat pula menjadi identitas tersendiri
bagi anggota organisasi pers. Suatu keadaan tak akan dibiarkannya berlangsung
dan terus berlanjut jika bertolak belakang dengan hati nuraninya. Karena tugas
utama pers adalah menjadi pengontrol. PK Ojong pernah menulis jika tugas pers
bukanlah untuk menjilat yang berkuasa tetapi untuk mengkritik mereka yang
berkuasa.
Insan-insan pers selalu memperjuangkan kebebasan dan
menolak tegas setiap bentuk pengekangan terhadap kebebasan sebagai fitrah
kemanusiaan. Pers harus bebas mengkritik, bebas menuduh asalkan memiliki bukti
dan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan, demi kepentingan umum. Di sinilah
dituntut keberanian itu.
Sifat pemberani harus dimiliki oleh seorang insan pers.
Berani menyerang secara frontal, menelanjangi ketidakbecuasan dan penyelewengan
birokrasi. Ia berani mengatakan kebenaran sebagai kebenaran dan kesalahan
sebagai kesalahan. Karena Kebenaran merupakan
salah satu tujuan besar yang dicanangkan oleh nenek moyang segala bangsa dan
menjadi cita-cita pembangunan peradaban majusia.
Pers harus menjadi wadah pergerakan progressif sosial
masyarakat khususnya masyarakat terdidik dalam kampus.
Pers harus dijiwai sebagai alat perjuangan untuk membuka
setiap penyelewengan yang dilakukan alat kekuasaan (negara) terhadap hak-hak
rakyat.
untuk membangun Kriteria terpenting atau prasyarat setiap
perjuangan gerakan mahasiswa, apa pun bentuknya, yang menjadi ukuran
terpenting adalah rakyat.
Setiap
anggota yang mengatasnamakan diri sebagai bagian dari organisasi dan keluarga besar UKPKM MEDIA diharapkan
dapat memiliki kedisiplinan dengan ciri-ciri sebagai berikut :
Paham : meyakini dan memahami status dan peran
sebagai aktivis mahasiswa yang berlandaskan idealisme mahasiswa yang jauh dari
kepentingan pribadi dan kekuasaan
Kritis : tidak memandang
persoalan menggunakan kaca mata kuda, tetapi dilihat, dianalisis secara logis,
tajam, komprehensif,
Ikhlas : keikhlasan yang tercermin dari ucapan
dan perbuatan yang semata-mata dilandasi keinginan luhur sebagai intelektual
organik
Berjuang :tahapan perjuangan yang harus dilakukan
yang pertama dengan hati (cinta dan kasih), dengan lisan, tulisan, dan
kekuasaan sebagai alternative akhir. Setiap perbuatan, perkataan, dan sikap
yang ditunjukkan adalah dari apa yang telah dipelajari
Pengorbanan : untuk mencapai tujuan perlu adanya
pengorbanan baik dengan harta, jiwa, waktu, kehidupan dan segala yang
dimilikinya. No sacriface is waste. Tidak ada pengorbanan yang sia-sia
(Soekarno). Dan yang perlu diingat: “Setiap Kejayaan Menghendaki Pengorbanan”
Loyal : melaksanakan segala aturan dan norma
serta keputusan organisasi sebagai sikap memiliki.
Bersungguh-sungguh : bersungguh-sungguh pada jalan yang
mengantarkan pada tujuan.
Solidaritas : kebersamaan dalam menanggung segala
konsekuensi setiap putusan organisasi menjadi tanggung jawab bersama. Sama
rata. Sama rasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar