Jumat, 28 September 2012

1 OKTOBER dan IKHTIAR MELAWAN LUPA


1 OKTOBER DAN IKHTIAR MELAWAN LUPA[1]
Oleh: Ramli
(Volunteer SOMASI NTB, tinggal di lingkar BIL Lombok Tengah)

Waktu adalah pertanda dalam ingatan sejarah kita. Sebagai pertanda ingatan, maka suatu potongan peristiwa atau momen kehidupan yang dipertandai; kadang-kadang tak terlupakan, namun dapat pula menjadi samar-samar, bahkan terlupakan sama sekali. Padahal kita percaya, sejarah pasti akan berulang (L’historie es repete).
Dalam tulisan ini saya akan mengambil tiga momen waktu yang penting, setidak-tidaknya untuk saya pribadi, yaitu momen-momen penting yang terjadi pada 1 Oktober. Saya sengaja tidak memberikan tahun dibelakangnya, sebab ada beberapa peristiwa penting yang terjadi pada tanggal tersebut dalam tahun-tahun yang berbeda. Pertama, 1 Oktober 1965, menandai digagalkannya sebuah kudeta berdarah yang berpusat di Lapangan Udara Halim dan menewaskan tujuh Jenderal di Jakarta dan Yogyakarta. Lalu yang kedua, 1 Oktober 2004, sebuah Bom bunuh diri mengguncang pusat pariwisata di pulau Dewata Bali dan menewaskan puluhan orang. Lalu kita mengenangnya sebagai peristiwa Bom Bali II. Dan yang ketiga adalah, 1 Oktober 2011. Pada tanggal ini sejarah daerah digoreskan dalam ingatan kita semua, yaitu pengoperasian perdana Bandara Internasional Lombok (BIL) di Lombok Tengah. Lalu apa pentingnya ketiga waktu tersebut? Dan apa pula kaitannya dengan kehidupan masyarakat NTB?
1 Oktober yang pertama adalah masa lalu yang kelam dari perjalanan bangsa. Sebuah sejarah yang tak boleh dilupakan dari ingatan sejarah kita. Sebuah babak perjalanan bangsa yang harus diambil hikmahnya. Dan yang ingin saya garisbawahi dalam peristiwa sejarah ini adalah penggunaan Lapangan Halim sebagai pusat komando gerakan kudeta. Lapangan Halim adalah pangkalan angkatan Udara, yang pada saat itu menjadi pusat kekuatan penting militer. Sehingga penguasaan pemberontak terhadap lapangan Halim menjadi penting dan strategis. Sehingga mau tidak mau, gerakan kontra kudeta harus merebutnya. Sederhananya, posisi strategis lapangan Halim hanya sebagai contoh posisi strategis dari semua Bandar udara dewasa ini yang harus disadari. Bandar udara secara umum adalah representasi dari kepentingan ekonomi-politik, baik tingkat lokal maupun nasional, bahkan internasional.
Lalu 1 Oktober yang kedua harus menjadi catatan penting kita untuk selalu waspada terhadap kegiatan terror dari seseorang atau sekelompok orang. Jika melihat niat kita yang ingin menjadikan Lombok sebagai kawasan wisata baru yang bisa disejajarkan dengan Bali, maka mengambil pelajaran dari kejadian Bom Bali adalah sebuah sikap yang baik dan perlu. Turis-turis asing, terutama yang berasal dari Negara-negara yang dianggap “musuh islam”, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Prancis, dan Negara-negara eropa lainnya akan keluar masuk di pulau Lombok. Kemungkinan-kemungkinan untuk munculnya kegiatan terorisme sangat terbuka. Mengingat jalur masuknya pun terbuka, baik darat maupun udara.
Jaminan rasa aman adalah penentu dari keberhasilan kita “menjual” keindahan Lombok. Tanpa itu, kita hanya akan menuai kekecewaan dan BIL sekali lagi tak akan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan ekonomi daerah. Lombok akan tetap saja dibelakang bayang-bayang Bali yang terkenal dan mendunia.
Dan 1 Oktober yang terakhir adalah tanggal yang tak akan terlupakan oleh sebagian besar atau mungkin semua masyarakat NTB. Ini bertepatan dengan pengoperasian BIL. BIL kini menjadi ikon pembangunan ekonomi. Berbagai hasil pengamatan dan ulasan para pengamat dan pejabat memprediksikan BIL akan menuai sukses untuk mendongkrak perekonomian masyarakat Lombok Tengah dan masyarakat NTB umumnya, yang kini masih tergolong daerah miskin dan tertinggal. Namun harus disadari dan dipahami keberadaan BIL tidak serta merta hanya akan melahirkan apa yang disebut sebagai trickle effects kepada pembangunan ekonomi masyarakat bawah, tapi juga ekses yang langsung berdampak pada kehidupan social ekonomi-politik masyarakat lingkar bandara.
BIL yang dibangun di atas lahan yang luas, menyisakan kenangan pahit bagi para bekas pemilik lahan. Pembebasan lahan yang berlangsung pada zaman Orde Baru membuat mereka terpaksa untuk melepas tanah-tanah warisan leluhur dengan ganti rugi yang tidak manusiawi. Beberapa keluarga bahkan kini harus meninggalkan kampung halaman sebab ketiadaan lahan garapan dan terpaksa menjadi transmigran. Tapi itu semua seolah tidak berbekas lagi. Yang ada kini adalah senyum pengharapan yang kadang-kadang berlebihan. Lihat saja bagaimana ekspresi semua lapisan masyarakat, dari pejabat, tokoh agama, hingga masyarakat umum.
Tak habis di situ, rekrutmen pekerja BIL yang seharusnya memberikan akses kepada masyarakat lingkar BIL menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Sampai sekarang, isu-isu seputar tuntutan pekerjaan oleh warga terus berhembus. Harus disadari ini merupakan kulminasi dari pengharapan dan ketidakpastian yang berlarut-larut (mungkin juga rasa keadilan yang terusik). Kita tentu mafhum apa yang akan terjadi jika para bekas pewaris lahan BIL frustasi. Pengulangan peristiwa penguasaan lapangan Halim menjadi jalan satu-satunya sebagai bentok protes warga.
Selain itu, masyarakat sekitar BIL kini terlihat gagap menghadapi ke-baru-an lingkungannya. Tanah-tanah produktif dan potensial yang selama ini menjadi tempat bergantung dilelang kepada orang-perorangan atau para pengusaha yang sebagian besar berasal dari “luar”. Lalu sebagian lagi bertanya-tanya: apa yang akan kita usahakan agar tidak sekedar menjadi penonton di rumah sendiri? Pertanyaan yang secara implicit menjelaskan rasa ketidakberdayaan dan kegagapan. Jika tidak diarahkan, semua akan berujung sia-sia. Lalu masyarakat banyak akan menjadi penonton. Dan segelintir orang menikmati keuntungan. Semoga pejabat kita tidak lupa dan ingkar janji untuk melakukan pemberdayaan kepada masyarakat lingkar BIL.
Jas merah, kata Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ini hanya sebuah ikhtiar melawan lupa.



[1][1] Dimuat di Harian Suara NTB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar