1
OKTOBER DAN IKHTIAR MELAWAN LUPA[1]
Oleh: Ramli
(Volunteer
SOMASI NTB, tinggal di lingkar BIL Lombok Tengah)
Waktu
adalah pertanda dalam ingatan sejarah kita. Sebagai pertanda ingatan, maka
suatu potongan peristiwa atau momen kehidupan yang dipertandai; kadang-kadang
tak terlupakan, namun dapat pula menjadi samar-samar, bahkan terlupakan sama
sekali. Padahal kita percaya, sejarah pasti akan berulang (L’historie es repete).
Dalam
tulisan ini saya akan mengambil tiga momen waktu yang penting, setidak-tidaknya
untuk saya pribadi, yaitu momen-momen penting yang terjadi pada 1 Oktober. Saya
sengaja tidak memberikan tahun dibelakangnya, sebab ada beberapa peristiwa
penting yang terjadi pada tanggal tersebut dalam tahun-tahun yang berbeda.
Pertama, 1 Oktober 1965, menandai digagalkannya sebuah kudeta berdarah yang
berpusat di Lapangan Udara Halim dan menewaskan tujuh Jenderal di Jakarta dan
Yogyakarta. Lalu yang kedua, 1 Oktober 2004, sebuah Bom bunuh diri mengguncang
pusat pariwisata di pulau Dewata Bali dan menewaskan puluhan orang. Lalu kita
mengenangnya sebagai peristiwa Bom Bali II. Dan yang ketiga adalah, 1 Oktober
2011. Pada tanggal ini sejarah daerah digoreskan dalam ingatan kita semua,
yaitu pengoperasian perdana Bandara Internasional Lombok (BIL) di Lombok
Tengah. Lalu apa pentingnya ketiga waktu tersebut? Dan apa pula kaitannya
dengan kehidupan masyarakat NTB?
1
Oktober yang pertama adalah masa lalu yang kelam dari perjalanan bangsa. Sebuah
sejarah yang tak boleh dilupakan dari ingatan sejarah kita. Sebuah babak
perjalanan bangsa yang harus diambil hikmahnya. Dan yang ingin saya garisbawahi
dalam peristiwa sejarah ini adalah penggunaan Lapangan Halim sebagai pusat
komando gerakan kudeta. Lapangan Halim adalah pangkalan angkatan Udara, yang
pada saat itu menjadi pusat kekuatan penting militer. Sehingga penguasaan
pemberontak terhadap lapangan Halim menjadi penting dan strategis. Sehingga mau
tidak mau, gerakan kontra kudeta harus merebutnya. Sederhananya, posisi
strategis lapangan Halim hanya sebagai contoh posisi strategis dari semua
Bandar udara dewasa ini yang harus disadari. Bandar udara secara umum adalah
representasi dari kepentingan ekonomi-politik, baik tingkat lokal maupun
nasional, bahkan internasional.
Lalu
1 Oktober yang kedua harus menjadi catatan penting kita untuk selalu waspada
terhadap kegiatan terror dari seseorang atau sekelompok orang. Jika melihat
niat kita yang ingin menjadikan Lombok sebagai kawasan wisata baru yang bisa
disejajarkan dengan Bali, maka mengambil pelajaran dari kejadian Bom Bali
adalah sebuah sikap yang baik dan perlu. Turis-turis asing, terutama yang
berasal dari Negara-negara yang dianggap “musuh islam”, seperti Amerika
Serikat, Inggris, Australia, Prancis, dan Negara-negara eropa lainnya akan
keluar masuk di pulau Lombok. Kemungkinan-kemungkinan untuk munculnya kegiatan
terorisme sangat terbuka. Mengingat jalur masuknya pun terbuka, baik darat
maupun udara.
Jaminan
rasa aman adalah penentu dari keberhasilan kita “menjual” keindahan Lombok.
Tanpa itu, kita hanya akan menuai kekecewaan dan BIL sekali lagi tak akan
berpengaruh signifikan terhadap peningkatan ekonomi daerah. Lombok akan tetap
saja dibelakang bayang-bayang Bali yang terkenal dan mendunia.
Dan
1 Oktober yang terakhir adalah tanggal yang tak akan terlupakan oleh sebagian
besar atau mungkin semua masyarakat NTB. Ini bertepatan dengan pengoperasian
BIL. BIL kini menjadi ikon pembangunan ekonomi. Berbagai hasil pengamatan dan
ulasan para pengamat dan pejabat memprediksikan BIL akan menuai sukses untuk
mendongkrak perekonomian masyarakat Lombok Tengah dan masyarakat NTB umumnya,
yang kini masih tergolong daerah miskin dan tertinggal. Namun harus disadari
dan dipahami keberadaan BIL tidak serta merta hanya akan melahirkan apa yang
disebut sebagai trickle effects kepada
pembangunan ekonomi masyarakat bawah, tapi juga ekses yang langsung berdampak
pada kehidupan social ekonomi-politik masyarakat lingkar bandara.
BIL
yang dibangun di atas lahan yang luas, menyisakan kenangan pahit bagi para
bekas pemilik lahan. Pembebasan lahan yang berlangsung pada zaman Orde Baru
membuat mereka terpaksa untuk melepas tanah-tanah warisan leluhur dengan ganti
rugi yang tidak manusiawi. Beberapa keluarga bahkan kini harus meninggalkan
kampung halaman sebab ketiadaan lahan garapan dan terpaksa menjadi transmigran.
Tapi itu semua seolah tidak berbekas lagi. Yang ada kini adalah senyum
pengharapan yang kadang-kadang berlebihan. Lihat saja bagaimana ekspresi semua
lapisan masyarakat, dari pejabat, tokoh agama, hingga masyarakat umum.
Tak
habis di situ, rekrutmen pekerja BIL yang seharusnya memberikan akses kepada
masyarakat lingkar BIL menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Sampai
sekarang, isu-isu seputar tuntutan pekerjaan oleh warga terus berhembus. Harus
disadari ini merupakan kulminasi dari pengharapan dan ketidakpastian yang
berlarut-larut (mungkin juga rasa keadilan yang terusik). Kita tentu mafhum apa
yang akan terjadi jika para bekas pewaris lahan BIL frustasi. Pengulangan
peristiwa penguasaan lapangan Halim menjadi jalan satu-satunya sebagai bentok
protes warga.
Selain
itu, masyarakat sekitar BIL kini terlihat gagap menghadapi ke-baru-an
lingkungannya. Tanah-tanah produktif dan potensial yang selama ini menjadi
tempat bergantung dilelang kepada orang-perorangan atau para pengusaha yang sebagian
besar berasal dari “luar”. Lalu sebagian lagi bertanya-tanya: apa yang akan
kita usahakan agar tidak sekedar menjadi penonton di rumah sendiri? Pertanyaan
yang secara implicit menjelaskan rasa ketidakberdayaan dan kegagapan. Jika
tidak diarahkan, semua akan berujung sia-sia. Lalu masyarakat banyak akan
menjadi penonton. Dan segelintir orang menikmati keuntungan. Semoga pejabat
kita tidak lupa dan ingkar janji untuk melakukan pemberdayaan kepada masyarakat
lingkar BIL.
Jas
merah, kata Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ini hanya sebuah
ikhtiar melawan lupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar