SEJARAH
PERJUANGAN (PERS) MAHASISWA[1]
Pada
zaman pra kemerdekaan, peran mahasiswa sangat strategis, sebagai kaum
intelektual sumbangannya terhadap perjuangan dalam memeperebutkan kemerdekaan
sangat besar. Yaitu sebagai penyebar semangat nasionalisme bagi masyarakat
untuk berjuang dalam memperebutkan kemerdekaaan. Salah satui sarana yang
dipakai adalah beberapa tulisan, artikel, maupun pidato pada saat
pertemuan-pertemuan. Keadaan ini mulai mengendor pada zaman jepang karena
situasi yang tidak memungkinkan, namun propaganda yang dilakukan mahasiswa
terus dilakukan. Banyak para pahlawan kemerdkaan dipenjara oleh penjajah
(belanda dan jepang), karena menulis artikel di surat kabar atau selebaran yang
isinya mengajak masyarakat untuk bersatu dalam memperebutkan kemerddekaan
seperti bung karno, hatta, syahrir, agus salaim, dan lainnya.
Pasca
kemerdekaan, (1945-an) perjuangan mahasiswa Indonesia praktis terfokus pada
perjuangan dan mempertahankan kemerdekaaan. Seperti ikut tergabung dalam
kesatuan perang, sebagai pendukung perang, dan sebagai penengah dalam
perundingan dengan Belanda. Sampai tahun 1950, mahasiswa terus terlibat dalam
memepertahankan kemerdekaan.
Yang
paling tersa sampai saat ini adalah perjuangan mahasiswa dalam pembubaran G-30
S PKI dalam pada tahun 1965 bersama tentara mahasiswa turun ke jalan untuk
menuntut pemerintah membubarkan gerakan dan organisasi PKI di Indonesia.
Kondisi ini berhasil karena di dukung oleh masyarakat. Selanjutnya, perjuangan
mahasiswa disalurkan lewat beberapa aksi, demo dan advokasi kebijakan
pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin sampai sekarang. Juga
yang paling fenomenal adalah perjuangan menumbangkan rezim soeharto pada tahun
1998 yaitu dengan lahirnya reformasi. Mahassiswa bersama masyarakat turun ke
jalan-jalan dan menduduki gedung DPR/MPR perjuangan mahasiswa juga dilakukan
oleh organisasi-organisasi, baik yang ada dikalangan kampus (intern) seperti
organisasi pers mahasiswa (persma), kelompok diskusi, pengkaji dan lainnyua
maupun luar kampus (ekstern) seperti HMI, KAMMI, PMII, PPMI, dan lainnya.
Persma
bagian dari alat perjuangan mahasiswa
Kalangan
majasiswa yang tergabung dalam persma juga tidak sedikit menyumbang pikiran dan
tenaga dalam mengisi kemerdekaan untuk mengawal pembangunan. Mulai tahun 45-an
kalau dilihat dari fungsinya, persma tidak banyak berbuat karena kondisinya
dalam keaadaan perang dan pada waktu itu semuanya elemen masyarakat ikuit
terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan. Kemudian emasuki tahun 50-an warna
intelektualisme sangat kuat. Ini dipengaruhi oleh zaman demokrasi liberal dan
awal demokrasi terpimpin. Di beberapa kota mulai muncul terbitan-terbitan
mahasiswa seperti di Bandung, Jakarta, Jogjakarta, dan Surabaya. Sempat pada
tahun 1958, organisasi persma tingkat nasional terbentuk, dengan nama ikatan
pers mahasiswa Indonesia (IPMI). Memasuki tahun 60-an senua organisasi
masyarakat (organisasi pemuda) termasuk persma, kalau mau ikut dalam percaturan
Negara, dianjurkan untuk berintegrasi dengan salah satu partai politik, ini
merupakan kebijakan presiden soekarno pada waktu itru. Beberapa orang anggota
IPMI akhirnya masuk ke partai politik, jalan ini dilakukan supaya mereka bias
ikut berpartisipasi dalam percaturan politik nasional, sedangkan
terbitan-terbitan mahasiswa tetap bersuara kritis terhadap kondisi sekitarnya.
Puncaknya
adalah peristiwa 30 september 1965, persma betul-betul sebagai media yang
menyuarakan demokrasi, dengan memaparkan kondisi Negara pada waktu itu, ini
terbukti dengan bermunculannya terbitan persma, seperti mahasiswa Indonesia,
harian kami, mimbar demokrasi, dan gelora mahasiswa Indonesia. Pada tahun 1965,
aktivis persma juga ikut menggalang kekuatan mahasiswa dalam membubarkan PKI.
Awal orde baru, persma terus menyuarakan kekritisannya terhadap pemerintah,
sampai terjadi peristiwa Malari (1974). Pemerintah mulai merintangi kegiatan
mahasiswa termasuk aktivis pers mahasiswa, yaitu dengan menagkap
pimpinan-pimpinan lembaga penerbitan mahasiswa yang yang ditengarai
(diindikasikan) sebagai oposisi.
Perjuangan
persma betul-betul dibikin tak berdaya oleh pemerintah, namun dibalik itu mulai
bermunculan pers ma (lembaga Penerbitan Mahasiswa/LPM) baru, karena dukunga
dari institusi (perguruan Tinggi0 tempat bernaung, terutama masalah dana. IPMI
yang sebagai organisasi persma mulai melakukan aksinya dengan melakukan
berbagai kegiatan maupun pelatihan-pelatihan. Menjamurnya persma menyebabkan
persma menyebabkan pemerintah gerah, yang sampai pada akhirnya mengeluarkan
kebijakan NKK/BKK (Normalisasi kegiatan Kampus/Badan koordinasi Kampus). Dengan
dikelurkannya NKK/BKK, praktis kegiatan mahasiswa mulai berkurang termasuk
aktivitas persma. Begitu juga dengan IPMI, karena maslaha intern yang
berkepanjangan menyebabkan organisasi ini tidak bias membantu LPM yang terkena
masalah.
Memasuki
tahun 80-an kehidupan persma skala nasional masih dingin, LPM sibuk dengan
kegiatannya masing-masing, sedangkan IPMI sudah tidak bias membantu lebih
banyka, apalagi keindependensiannya dipertanyakan oleh pemerintah dan anggotanya,
bahkan setelah Kongres di Jakarta (1982), IPMI diminta bergabung dengan KNPI –
organisasi buatan pemerintah - , tetapi karena anggotanya banyak yang menolak,
maka pemerintah melarang IPMI untuk kongres berikutnya. Alas an pelarangan ini
tidak jelas. Juga pada waktu itu, pengurus IPMI banyak terlibat dalam persoalan
politik.
Akhir
tahun 80-an, persma mulai bermunculan lagi, begitu juga dengan kegiatannya yang
banyk menyenggol kebijakan pemerintah, bahkan para aktivis persma
terang-terangan menanyakan status IPMI yang dibredel oleh pemerintah. LPM-LPM
yang muncul seperti akademi (Unud, Bali), Tegalboto (Unej, jember), Solidaritas
(IAIN Surabaya), Balairung (UGM Jogja), Jumpa (Unpas, bandung) Detiktika (UIN
Jakarta), Teknokra (Unilam Lampung), Bahana Mahasiswa (Unsri, Riau), Catatan
Kaki (Unhas Makasar), KKM Media (Unram, Mataram), dan lainnya. Kegelisahan para
aktivis pers ini mulai membuahkan hasil, yaitu pada pertemuan persma
se-Indonesia di Malang (1992) yang akhirnya membentuk Perhimpunan Pers Mahasiswa
Indonesia (PPMI), yang merupakan reinkarnasi IPMI.
Perjuang
PPMI mulai Nampak. Keadan ini didukung dengan kondisi persma sendiri, yang
dengan kekreatifan para aktivisnya, baik dalam mencari berita dan sumber
berita, sehingga pers mahasiswa bias didengar oleh institusi tempat bernaung
maupun oleh pemerintah dan masyarakat. Sebutan pers alternative pun diberikan
oleh masyarakat umum, yang secara ilmiah pers alternative sulit dimaknakan.
Namun oleh masyarakat diartikan sebagai suatu terbitan yang lebih berani dari
pers umum, dari segi beritanya. Kondisi yang demikian terjadi sampai akhir
90-an.
Dalam
satu nada itulah persma sesekali menunjukkan tajinya dengan mengoper dan
mengambil peran yang semstinya diambil oleh pers umum. Dengan strategi gerilya
bawah tanah, persma sedikit banyak mampu mengobati kerinduan public atas perlu
hadirnya informasi penuh warna dan bermutu. Namun lambat laun, baik persma
amaupun umum, banyka gulung tikar atau ditutup paksa secara semena-mena oleh
penguasa dengan dalih stabilitas nasional.
Kondisi
persma dan arah perjuangannya
Dengan
lahirnya era reformasi 1998, yang kemudian pemerintah memberikan kebebasan
penuh kepada insane pers baik umum atau terbitan mahasiswa, mengakibatkan
perubahan yang luar biasa terhadap terbitan di Indonesia apakah itu berita yang
disampaikan betul atau tidak. Apalagi dengan dicabutnya SIUPP (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers), tak terbayang jumlah terbitan yang muncul, dari hasil survey
sebuah LSM, sampai awal tahun 2000 sekitar 1500 terbitan muncul, yang
sebelumnya era reformasi hanya sekitar 250 terbitan. Ini adalah sesuatu yang
tak pernah terjadi sebelumnya. Munculnya terbitan bagai jamur tersebut akhirnya
satu persatu mulai gulung tikar, masyarakat pun mulai bias membedakan mana
media yang bermutu dan mana media yang asal-asalan. Memang akhir-akhir ini,
pers umum masih didominasi oleh tingginya tarik suara anta relit politik,
saling tuduh, bahkan menjatuhkan sampai komentar beberapa tokoh mengenai
kondisi social ekonomi dan politik, membuat pembaca ata7u masyarakat tambah
bingung. Untungnya tidak semua pers umum demikian, namun sebagian besar
menampilkan berita yang memprovokasi masyarakat.
Untuk
mencapai tujuannya secara nasional, persma juga ikut mendorong tercapainya
budaya demokrasi Indonesia dan terus menyuarakan kebebasan pers; ini merupakan
dasar perjuangan atau visi misi dari persma. Dalam mencapai target tersebut,
sertingkali persma terbentur dengan berbagai kendala, baik dari internal maupun
eksternal persma sendiri. Namun karena mahasiswa masih memiliki idealisme yang
kuat, keyakinan untuk mencapai misi dasar tersebut tetap terbuka. Idealisme
disini menurut Agus Sudibyo diistilahkan juga sebagai ideology, yaitu kerangka
berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk
melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya, sedangkan persma sendiri
memaknai idealisme adalah kerangka dasar dalam melakukan perjuangan untuk
mencapai tujuan bersama.
Persma
adalah alat perjuangan, bukan kenaikan oplah dan peningkatan mutu pemberitaan
yang menjadi prioritas, tetapi bagaimana persma menjadi wadah rembug bersama,
yang pesannya bias menembus dinding-ding pengelompokan yang primitive, apapun
wujud pengelompokan itu. Untuk itu persma seharusnya tidak bersaing dari
komunitas masyarakat yang melingkupiya. Sebaliknya, ketika pers umum dan
berkotak-kotak mengupas isu yang sama, persma harus menjadi mediator bagi
bertemunya gagasan dan pendapat public, untuk kemudian dicarikan solusi memihak
yang lemah.
Ketika
control politik diambil alih m,edia umum, persma bias menjadi komoditi papers,
yaitu pers yang melayani kebutuhan segmen (komunita) yang jelas. Persma harus
menjadi pelayan dan pemuas kebutuhan komunitasn6ya. Perlu diingat, dalam
perjuangan (berbisnis/berusaha), ada kredo klasik “jangan menentang selera/
kemauan pasar”. Meskipun sebuah produk sebetulnya bias mendikte pasar. Jika
memang itu yang menjadi orientasi, tak ada pilihan lain bagi persma yaitu harus
memegang teguh idealisme pers mahasiswa.
1 Materi Bab
I ini adalah tulisan Saiful Muslim, S.Pt. (mantan Sekjen PPMI dan Pemimpin Umum
KKM Media Unram) dengan judul asli “Perjuangan “Pers” Mahasiswa Pra
Dan Pasca Kemerdekaan”, yang disampaikan dalam Seminar Nasional pada
tanggal 23 juli 2009 yang diselenggarakan oleh UKPKM MEDIA Universitas Mataram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar