BAB VII. MANAJEMEN KEPEMIMPINAN DAN ORGANISASI
Istilah leadershif (kepemimpinan) berasal
dari kata leader artinya pemimpin atau to lead artinya memimpin.
Setiap orang punya bakat jadi pemimpin dan kepemimpinan adalah ilmunya dan bisa
diaplikasikan setelah anda menjadi pemimpin.
Definisi kepemimpinan
Garry Yukl (1994:2)
menyimpulkan definisi yang mewakili tentang kepemimpinan antara lain sebagai
berikut :
- Kepemimpinan adalah prilaku dari seorang individu yang memimpin aktifitas-aktifitas suatu kelompok kesuatu tujuan yang ingin dicapai bersama (share goal) (Hemhill& Coons, 1957:7)
- Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, kearah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannenbaum, Weschler & Massarik, 1961:24)
- kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi (Stogdill, 1974:411)
- kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada dan berada diatas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan rutin organisasi (Katz & Kahn, 1978:528)
- kepeimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi kearah pencapaian tujuan (Rauch & Behling, 1984:46)
- kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang dinginkan untuk mencapai sasaran (Jacob & Jacques, 1990:281)
- para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberi kontribusi yang efektif terhadap orde sosial dan yang diharajpkan dan dipersepsikan melakukannya (Hosking, 1988:153)
- Kepemimpinan sebagai sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktifitas-aktifitas serta hubungan-hubungan didalam sebuah kelompok atau organisasi (Yukl, 1994:2)
Gaya, Tipologi, Model dan Teori Kepemimpinan
Paradigma kepemimpinan yang dapat meliputi
gaya kepemimpinan, tipologi kepemimpinan, model-model kepemimpinan, dan
teori-teori kepemimpinan. Sekalipun secara konseptual pada ketiganya terdapat
perbedaan, namun sebagai telaan mengenai substansi yang sama akan terdapat
korelasi bahkan interdependensi antar ketiganya.
- Gaya Kepemimpinan
Gaya
kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan
tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam
memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk
tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat
yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa pola
tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh
bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan dari
seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori
berikut ini.
Teori Genetis (Keturunan).
Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and nor made”
(pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori
ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin
karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang
bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi
pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai
takdir, secara filosofis pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau
determinitis.
Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup.
Teori Ekologis.
Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka
sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga.
Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang
hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat
kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang
teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori
ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat
dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian,
penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan
secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik.
Selain pendapat-pendapat yang menyatakan
tentang timbulnya gaya kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blanchard (1992)
berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari
tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana
proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut,
Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k)
merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu
(s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f (p, b, s).
Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p)
adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk
melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan
organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai
kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang
berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan
bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu
perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau
tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu
organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses
tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab
itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi (s) menurut Hersey dan
Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha
pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti
kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya,
tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang
dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan
demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu
pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan
lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.
- Tipologi Kepemimpinan
Dalam
praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe
kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut (Siagian,1997).
Tipe Otokratis.
Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki
kriteria atau ciri sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik
pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap
bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat;
Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan pengge-rakkannya
sering memperguna-kan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat
menghukum.
Tipe Militeristis.
Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang pemimpin
tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang
pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki
sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih
sering dipergunakan; Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada
pangkat dan jabatannya; Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut
disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari
bawahannya; Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Tipe Paternalistis.
Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah
seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya sebagai
manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi (overly protective); jarang
memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang
memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang
memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan
fantasinya; dan sering bersikap maha tahu.
Tipe Karismatik.
Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab-sebab
mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin
yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya
mempunyai pengikut yang jumlahnya yang sangat besar, meskipun para pengikut itu
sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin
itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi
pemimpin yang karismatik, maka
sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan
gaib (supra natural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak
dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang
kaya, Iskandar Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F Kennedy
adalah seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun umurnya masih muda pada
waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai profil, Gandhi tidak
dapat digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”.
Tipe Demokratis.
Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang
demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena
tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam proses
penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu
adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan
kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari
pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari
bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam
usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu
tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat
kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses
daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai
pemimpin.
Secara implisit tergambar bahwa untuk
menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena
pemimpin yang demikian adalah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua
pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis.
- Teori Kepemimpinan.
Salah
satu prestasi yang cukup menonjol dari sosiologi kepemimpinan modern adalah
perkembangan dari teori peran (role theory). Dikemukakan, setiap anggota
suatu masyarakat menempati status posisi tertentu, demikian juga halnya dengan
individu diharapkan memainkan peran tertentu. Dengan demikian kepemimpinan
dapat dipandang sebagai suatu aspek dalam diferensiasi peran. Ini berarti bahwa
kepemimpinan dapat dikonsepsikan sebagai suatu interaksi antara individu dengan
anggota kelompoknya.
Menurut kaidah, para pemimpin atau manajer
adalah manusia-manusia super lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu
segala sesuatu (White, Hudgson & Crainer, 1997). Para pemimpin juga
merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam organisasi
merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai.
Berangkat dari ide-ide pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah perjalanan
suatu organisasi. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan dari tingkat
kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan tanpa kehadiran pemimpin,
suatu organisasi akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah.
Dalam sejarah peradaban manusia,
dikonstatir gerak hidup dan dinamika organisasi sedikit banyak tergantung pada
sekelompok kecil manusia penyelenggara organisasi. Bahkan dapat dikatakan
kemajuan umat manusia datangnya dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang
tampil kedepan. Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir,
pencipta dan ahli organisasi. Sekelompok orang-orang istimewa inilah yang
disebut pemimpin. Oleh karenanya kepemimpinan seorang merupakan kunci dari
manajemen. Para pemimpin dalam menjalankan tugasnya tidak hanya
bertanggungjawab kepada atasannya, pemilik, dan tercapainya tujuan organisasi,
mereka juga bertanggungjawab terhadap masalah-masalah internal organisasi
termasuk didalamnya tanggungjawab terhadap pengembangan dan pembinaan sumber
daya manusia. Secara eksternal, para pemimpin memiliki tanggungjawab sosial
kemasyarakatan atau akuntabilitas publik.
Dari sisi teori kepemimpinan, pada
dasarnya teori-teori kepemimpinan mencoba menerangkan dua hal yaitu,
faktor-faktor yang terlibat dalam pemunculan kepemimpinan dan sifat dasar dari
kepemimpinan. Penelitian tentang dua masalah ini lebih memuaskan daripada
teorinya itu sendiri. Namun bagaimanapun teori-teori kepemimpinan cukup
menarik, karena teori banyak membantu dalam mendefinisikan dan menentukan
masalah-masalah penelitian. Dari penelusuran literatur tentang kepemimpinan,
teori kepemimpinn banyak
dipengaruhi oleh penelitian Galton (1879) tentang latar belakang dari
orang-orang terkemuka yang mencoba menerangkan kepemimpinan berdasarkan
warisan. Beberapa penelitian lanjutan, mengemukakan individu-individu dalam
setiap masyarakat memiliki tingkatan yang berbeda dalam inteligensi, energi,
dan kekuatan moral serta mereka selalu dipimpin oleh individu yang benar-benar
superior.
Perkembangan selanjutnya, beberapa ahli
teori mengembangkan pandangan kemunculan pemimpin besar adalah hasil dari waktu,
tempat dan situasi sesaat. Dua hipotesis yang dikembangkan tentang
kepemimpinan, yaitu ; (1) kualitas pemimpin dan kepemimpinan yang tergantung
kepada situasi kelompok, dan (2), kualitas individu dalam mengatasi situasi
sesaat merupakan hasil kepemimpinan terdahulu yang berhasil dalam mengatasi
situasi yang sama (Hocking & Boggardus, 1994).
Dua teori yaitu Teori Orang-Orang
Terkemuka dan Teori Situasional, berusaha menerangkan kepemimpinan
sebagai efek dari kekuatan tunggal. Efek interaktif antara faktor individu
dengan faktor situasi tampaknya kurang mendapat perhatian. Untuk itu,
penelitian tentang kepemimpinan harus juga termasuk ; (1) sifat-sifat efektif,
intelektual dan tindakan individu, dan (2) kondisi khusus individu didalam
pelaksanaannya. Pendapat lain mengemukakan, untuk mengerti kepemimpinan
perhatian harus diarahkan kepada (1) sifat dan motif pemimpin sebagai manusia
biasa, (2) membayangkan bahwa terdapat sekelompok orang yang dia pimpin dan
motifnya mengikuti dia, (3) penampilan peran harus dimainkan sebagai pemimpin,
dan (4) kaitan kelembagaan melibatkan dia dan pengikutnya (Hocking &
Boggardus, 1994).
Beberapa pendapat tersebut, apabila
diperhatikan dapat dikategorikan sebagai teori kepemimpinan dengan sudut
pandang "Personal-Situasional". Hal ini disebabkan,
pandangannya tidak hanya pada masalah situasi yang ada, tetapi juga dilihat
interaksi antar individu maupun antar pimpinan dengan kelompoknya. Teori
kepemimpinan yang dikembangkan mengikuti tiga teori diatas, adalah Teori
Interaksi Harapan. Teori ini mengembangkan tentang peran kepemimpinan
dengan menggunakan tiga variabel dasar yaitu; tindakan, interaksi, dan
sentimen. Asumsinya, bahwa peningkatan frekuensi interaksi dan partisipasi
sangat berkaitan dengan peningkatan sentimen atau perasaan senang dan kejelasan
dari norma kelompok. Semakin tinggi kedudukan individu dalam kelompok, maka
aktivitasnya semakin sesuai dengan norma kelompok, interaksinya semakin meluas,
dan banyak anggota kelompok yang berhasil diajak berinteraksi.
Pada tahun 1957 Stogdill
mengembangkan Teori Harapan-Reinforcement untuk mencapai peran.
Dikemukakan, interaksi antar anggota dalam pelaksanaan tugas akan lebih
menguatkan harapan untuk tetap berinteraksi. Jadi, peran individu ditentukan
oleh harapan bersama yang dikaitkan dengan penampilan dan interaksi yang
dilakukan. Kemudian dikemukakan, inti kepemimpinan dapat dilihat dari usaha
anggota untuk merubah motivasi anggota lain agar perilakunya ikut berubah.
Motivasi dirubah dengan melalui perubahan harapan tentang hadiah dan hukuman.
Perubahan tingkahlaku anggota kelompok yang terjadi, dimaksudkan untuk
mendapatkan hadiah atas kinerjanya. Dengan demikian, nilai seorang pemimpin
atau manajer tergantung dari kemampuannya menciptakan harapan akan pujian atau
hadiah.
Atas dasar teori diatas, House pada
tahun 1970 mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Motivasional. Fungsi
motivasi menurut teori ini untuk meningkatkan asosiasi antara cara-cara
tertentu yang bernilai positif dalam mencapai tujuan dengan tingkahlaku yang
diharapkan dan meningkatkan penghargaan bawahan akan pekerjaan yang mengarah
pada tujuan. Pada tahun yang sama Fiedler mengembangkan Teori
Kepemimpinan yang Efektif. Dikemukakan, efektivitas pola tingkahlaku
pemimpin tergantung dari hasil yang ditentukan oleh situasi tertentu. Pemimpin
yang memiliki orientasi kerja cenderung lebih efektif dalam berbagai situasi.
Semakin sosiabel interaksi kesesuaian pemimpin, tingkat efektivitas
kepemim-pinan makin tinggi.
Teori kepemimpinan berikutnya adalah Teori
Humanistik dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton, Rensis
Likert, dan Douglas McGregor. Teori ini secara umum berpendapat, secara
alamiah manusia merupakan "motivated organism". Organisasi
memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah
memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi
motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan
dengan arah tujuan kelompok. Apabila dicermati, didalam Teori Humanistik,
terdapat tiga variabel pokok, yaitu; (1), kepemimpinan yang sesuai dan
memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan
kemampuan-nya, (2), organisasi yang disusun dengan baik agar tetap relevan
dengan kepentingan anggota disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan,
dan (3), interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk
menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard,
Zigarmi, dan Drea bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah sesuatu
yang Anda lakukan terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan
bersama dengan orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001).
Teori kepemimpinan lain, yang perlu
dikemukakan adalah Teori Perilaku Kepemimpinan. Teori ini menekankan
pada apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Dikemukakan, terdapat perilaku
yang membedakan pemimpin dari yang bukan pemimpin. Jika suatu penelitian
berhasil menemukan perilaku khas yang menunjukkan keberhasilan seorang
pemimpin, maka implikasinya ialah seseorang pada dasarnya dapat dididik dan
dilatih untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Teori ini sekaligus
menjawab pendapat, pemimpin itu ada bukan hanya dilahirkan untuk menjadi
pemimpin tetapi juga dapat muncul sebagai hasil dari suatu proses belajar.
Selain teori-teori kepemimpinan yang telah
dikemukakan, dalam perkembangan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian para
pakar maupun praktisi adalah dua pola dasar interaksi antara pemimpin dan
pengikut yaitu pola kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan
transaksional. Kedua pola kepemimpinan tersebut, adalah berdasarkan
pendapat seorang ilmuwan di bidang politik yang bernama James McGregor Burns
(1978) dalam bukunya yang berjudul “Leadership”. Selanjutnya Bass
(1985) meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai kedua pola kepemimpinan
dan kemudian mengumumkan secara resmi sebagai teori, lengkap dengan model dan
pengukurannya.
3. Kompetensi Kepemimpinan
Suatu
persyaratan penting bagi efektivitas atau kesuksesan pemimpin (kepemimpinan)
dan manajer (manajemen) dalam mengemban peran, tugas, fungsi, atau pun tanggung
jawabnya masing-masing adalah kompetensi. Konsep mengenai kompetensi untuk
pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis (1982) yang didefinisikan kompetensi
sebagai “kemampuan yang dimiliki seseorang yang nampak pada sikapnya yang
sesuai dengan kebutuhan kerja dalam parameter lingkungan organisasi dan
memberikan hasil yang diinginkan”. Secara historis perkembangan kompetensi
dapat dilihat dari beberapa definisi kompetensi terpilih dari waktu ke waktu
yang dikembangkan oleh Burgoyne (1988), Woodruffe (1990), Spencer dan
kawan-kawan (1990), Furnham (1990) dan Murphy (1993).
Menurut Rotwell, kompetensi adalah an
area of knowledge or skill that is critical for production ke outputs.
Lebih lanjut Rotwell menuliskan bahwa competencies area internal
capabilities that people brings to their job; capabilities which may be
expressed in a broad, even infinite array of on the job behaviour. Spencer
(1993) berpendapat, kompetensi adalah “… an undderlying characteristicof an
individual that is causally related to criterion referenced effective and/or
superior performance in ajob or situation”. Senada dengan itu Zwell (2000)
berpendapat “Competencies can be defined as the enduring traits and
characteristics that determine performance. Examples of competencies are
initiative, influence, teamwork, innovation, and strategic thinking”.
Beberapa pandangan di atas mengindikasikan
bahwa kompetensi merupakan karakteristik atau kepribadian (traits)
individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang.
Selain traits dari Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik
kompetensi lainnya, yatu berupa motives, self koncept (Spencer, 1993), knowledge,
dan skill ( Spencer, 1993; Rothwell and Kazanas, 1993). Menurut review
Asropi (2002), berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai
berikut : Traits merunjuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan
tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi. Motives adalah
sesuatu yang selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat
mengarahkan, mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan.
Motivasi dapat mengarahkan seseorang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang
memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan (Amstrong, 1990). Self
concept adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang
dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan pada seseorang siapa dirinya.
Knowledge adalah informasi yang dimilki seseorang dalam suatu bidang tertentu.
Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu, baik mental atau pun
fisik.
Berbeda dengan keempat karakteristik
kompetensi lainnya yang bersifat intention dalam diri individu, skill
bersifat action. Menurut Spencer (1993), skill menjelma sebagai perilaku
yang di dalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge.
Dalam pada itu, menurut Spencer
(1993) dan Kazanas (1993) terdapat kompetensi kepemimpinan secara
umum yang dapat berlaku atau dipilah menurut jenjang, fungsi, atau bidang,
yaitu kompetensi berupa : result orientation, influence, initiative,
flexibility, concern for quality, technical expertise, analytical thinking,
conceptual thinking, team work, service orientation, interpersonal awareness,
relationship building, cross cultural sensitivity, strategic thinking, entrepreneurial
orientation, building organizational commitment, dan empowering others,
develiping others. Kompetensi-kompetensi tersebut pada umumnya merupakan
kompetensi jabatan manajerial yang diperlukan hampir dalam semua posisi
manajerial.
Ke 18 kompetensi yang diidentifikasi Spencer
dan Kazanas tersebut dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan
berikut : pimpinan puncak, pimpinan menengah, dan pimpinan pengendali operasi
teknis (supervisor). Kompetensi pada pimpinan puncak adalah result
(achievement) orientation, relationship building, initiative, influence,
strategic thinking, building organizational commitment, entrepreneurial
orientation, empowering others, developing others, dan felexibilty. Adapun
kompetensi pada tingkat pimpinan menengah lebih berfokus pada influence,
result (achievement) orientation, team work, analitycal thinking, initiative,
empowering others, developing others, conceptual thingking, relationship
building, service orientation, interpersomal awareness, cross cultural sensitivity,
dan technical expertise. Sedangkan pada tingkatan supervisor
kompetensi kepemimpinannya lebih befokus pada technical expertise,
developing others, empowering others, interpersonal understanding, service
orientation, building organzational commitment, concern for order, influence,
felexibilty, relatiuonship building, result (achievement) orientation, team
work, dan cross cultural sensitivity.
Dalam hubungan ini Kouzes dan Posner
1995) meyakini bahwa suatu kinerja yang memiliki kualitas unggul berupa
barang atau pun jasa, hanya dapat dihasilkan oleh para pemimpin yang memiliki
kualitas prima. Dikemukakan, kualitas kepemimpinan manajerial adalah suatu cara
hidup yang dihasilkan dari "mutu pribadi total" ditambah "kendali
mutu total" ditambah "mutu kepemimpinan". Berdasarkan
penelitiannya, ditemukan bahwa terdapat 5 (lima) praktek mendasar pemimpin yang
memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu; (1) pemimpin yang menantang
proses, (2) memberikan inspirasi wawasan bersama, (3) memungkinkan orang lain dapat
bertindak dan berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5)
memotivasi bawahan.
Adapun ciri khas manajer yang dikagumi
sehingga para bawahan bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila manajer
memiliki sifat jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki
kecakapan teknikal maupun manajerial. Sedangkan Burwash (1996) dalam
hubungannya dengan kualitas kepemimpinan manajer mengemukakan, kunci dari
kualitas kepemimpinan yang unggul adalah kepemimpinan yang memiliki paling tidak
8 sampai dengan 9 dari 25 kualitas kepemimpinan yang terbaik. Dinyatakan,
pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan "status quo" dan
memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria
kualitas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki komitmen
organisasional yang kuat, visionary, disiplin diri yang tinggi, tidak
melakukan kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi
yang tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai
pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar
spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani.
Dalam pada itu, Warren Bennis
(1991) juga mengemukakan bahwa peran kepemimpinan adalah “empowering the
collective effort of the organization toward meaningful goals” dengan
indikator keberhasilan sebagai berikut : People feel important; Learning and
competence are reinforced; People feel they part of the organization; dan
Work is viewed as excisting, stimulating, and enjoyable. Sementara itu,
Soetjipto Wirosardjono (1993) menandai kualifikasi kepemimpinan berikut,
“kepemimpinan yang kita kehendaki adalah kepemimpinan yang secara sejati
memancarkan wibawa, karena memiliki komitmen, kredibilitas, dan integritas”.
Sebelum itu, Bennis bersama Burt
Nanus (1985) mengidentifikasi bentuk kompetensi kepemimpinan berupa “the
ability to manage” dalam empat hal : attention (= vision), meaning (=
communication), trust (= emotional glue), and self (= commitment, willingness
to take risk). Kemudian pada tahun 1997, keempat konsep tersebut diubah
menjadi the new rules of leradership berupa (a) Provide direction and
meaning, a sense of purpose; (b) Generate and sustain trust, creating authentic
relationships; (c) Display a bias towards action, risk taking and curiosity; dan
(d) Are purveyors of hope, optimism and a psychological resilience that expects
success (lihat Karol Kennedy, 1998; p.32).
Bagi Rossbeth Moss Kanter (1994),
dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin terasa kompleks dan akan
berkembang semakin dinamik, diperlukan kompetensi kepemimpinan berupa conception
yang tepat, competency yang cukup, connection yang luas, dan confidence.
Tokoh lainnya adalah Ken Shelton
(ed, 1997) mengidentikasi kompetensi dalam nuansa lain., menurut hubungan
pemimpin dan pengikut, dan jiwa kepemimpinan. Dalam hubungan pemimpin dan
pengikut, ia menekankan bagaimana keduanya sebaiknya berinterkasi. Fenomena ini
menurut Pace memerlukan kualitas kepemimpinan yang tidak mementingkan diri
sendiri. Selain itu, menurut Carleff pemimpin dan pengikut merupak dua sisi
dari proses yang sama. Dalam hubungan jiwa kepemimpinan, sejumlah pengamat
memasuki wilayah “spiritual”. Rangkaian kualitas lain yang mewarnainya antara
lain adalah hati, jiwa, dan moral. Bardwick menyatakan bahwa kepemimpinan
bukanlah masalah intelektual atau pengenalan, melainkan masalah emosional.
Sedangkan Bell berpikiran bahwa pembimbing yang benar tidak selamanya merupakan
mahluk rasional. Mereka seringkali adalah pencari nyala api.
Kepemimpinan Abad 21, termasuk
kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksi-onal sebagai
alternatif model kepemimpinan Abad ke-21.
- Kepemimpinan Transformasional.
Kepemimpinan
transformasional menunjuk pada proses membangun komitmen terhadap sasaran
organisasi dan memberi kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai
sasaran-sasaran tersebut. Teori transformasional mempelajari juga bagaimana
para pemimpin mengubah budaya dan struktur organisasi agar lebih konsisten
dengan strategi-strategi manajemen untuk mencapai sasaran organisasional.
Secara konseptual, kepemimpinan
transformasional di definisikan (Bass, 1985), sebagai kemampuan pemimpin
mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, dan pola kerja, dan nilai-nilai
kerja yang dipersepsikan bawahan sehingga mereka lebih mampu mengoptimalkan
kinerja untuk mencapai tujuan organisasi. Berarti, sebuah proses
transformasional terjadi dalam hubungan kepemimpinan manakala pemimpin
membangun kesadaran bawahan akan pentingnya nilai kerja, memperluas dan meningkatkan
kebutuhan melampaui minat pribadi serta mendorong perubahan tersebut ke arah
kepentingan bersama termasuk kepentingan organisasi (Bass, 1985).
Konsep awal tentang kepemimpinan
transformasional telah diformulasi oleh Burns (1978) dari penelitian deskriptif
mengenai pemimpin-pemimpin politik. Burns, menjelaskan kepemimpinan
transformasional sebagai proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling
menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”, seperti
kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, dan bukan di dasarkan atas emosi,
seperti misalnya keserakahan, kecemburuan sosial, atau kebencian (Burns, 1997).
Dengan cara demikian, antar pimpinan dan
bawahan terjadi kesamaan persepsi sehingga mereka dapat mengoptimalkan usaha ke
arah tujuan yang ingin dicapai organisasi. Melalui cara ini, diharapkan akan
tumbuh kepercayaan, kebanggan, komitmen, rasa hormat, dan loyal kepada atasan
sehingga mereka mampu mengoptimalkan usaha dan kinerja mereka lebih baik dari
biasanya. Ringkasnya, pemimpin transformasional berupaya melakukan transforming
of visionary menjadi visi bersama sehingga mereka (bawahan plus pemimpin)
bekerja untuk mewujudkan visi menjadi kenyataan. Dengan kata lain, proses
transformasional dapat terlihat melalui sejumlah perilaku kepemimpinan seperti
; attributed charisma, idealized influence, inspirational motivation,
intelectual stimulation, dan individualized consideration. Secara ringkas
perilaku dimaksud adalah sebagai berikut.
Attributed charisma.
Bahwa kharisma secara tradisional dipandang sebagai hal yang bersifat inheren
dan hanya dimiliki oleh pemimpin-pemimpin kelas dunia. Penelitian membuktikan
bahwa kharisma bisa saja dimiliki oleh pimpinan di level bawah dari sebuah
organisasi. Pemimpin yang memiliki ciri tersebut, memperlihatkan visi,
kemampuan, dan keahliannya serta tindakan yang lebih mendahulukan kepentingan
organisasi dan kepentingan orang lain (masyarakat) daripada kepentingan
pribadi. Karena itu, pemimpin kharismatik dijadikan suri tauladan, idola, dan
model panutan oleh bawahannya, yaitu idealized influence.
Idealized influence.
Pemimpin tipe ini berupaya mempengaruhi bawahannya melalui komunikasi langsung
dengan menekankan pentingnya nilai-nilai, asumsi-asumsi, komitmen dan
keyakinan, serta memiliki tekad untuk mencapai tujuan dengan senantiasa
mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etik dari setiap keputusan yang
dibuat. Ia memperlihatkan kepercayaan pada cita-cita, keyakinan, dan
nilai-nilai hidupnya. Dampaknya adalah dikagumi, dipercaya, dihargai, dan bawahan
berusaha mengindentikkan diri dengannya. Hal ini disebabkan perilaku yang
menomorsatukan kebutuhan bawahan, membagi resiko dengan bawahan secara
konsisten, dan menghindari penggunaan kuasa untuk kepentingan pribadi. Dengan
demikian, bawahan bertekad dan termotivasi untuk mengoptimalkan usaha dan
bekerja ke tujuan bersama.
Inspirational motivation.
Pemimpin transformasional bertindak dengan cara memotivasi dan memberikan
inspirasi kepada bawahan melalui pemberian arti dan tantangan terhadap tugas bawahan.
Bawahan diberi untuk berpartisipasi secara optimal dalam hal gagasan-gagasan,
memberi visi mengenai keadaan organisasi masa depan yang menjanjikan harapan
yang jelas dan transparan. Pengaruhnya diharapkan dapat meningkatkan semangat
kelompok, antusiasisme dan optimisme dikorbankan sehingga harapan-harapan itu
menjadi penting dan bernilai bagi mereka dan perlu di realisasikan melalui
komitmen yang tinggi.
Intelectual stimulation.
Bahwa pemimpin mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja dan
mencari cara-cara kerja baru dalam menyelesaikan tugasnya. Pengaruhnya
diharapkan, bawahan merasa pimpinan menerima dan mendukung mereka untuk
memikirkan cara-cara kerja mereka, mencari cara-cara baru dalam menyelesaikan
tugas, dan merasa menemukan cara-cara kerja baru dalam mempercepat tugas-tugas
mereka. Pengaruh positif lebih jauh adalah menimbulkan semangat belajar yang
tinggi (oleh Peter Senge, hal ini disebut sebagai “learning organization”).
Individualized consideration. Pimpinan
memberikan perhatian pribadi kepada bawahannya, seperti memperlakukan mereka
sebagai pribadi yang utuh dan menghargai sikap peduli mereka terhadap
organisasi. Pengaruh terhadap bawahan antara lain, merasa diperhatian dan
diperlakukan manusiawi dari atasannya.
Dengan demikian, kelima perilaku tersebut
diharapkan mampu berinteraksi mempengaruhi terjadinya perubahan perilaku
bawahan untuk mengoptimalkan usaha dan performance kerja yang lebih memuaskan
ke arah tercapainya visi dan misi organisasi.
- Kepemimpinan Transaksaksional.
Pengertian
kepemimpinan transaksional merupakan salah satu gaya kepemimpinan yang intinya
menekankan transaksi di antara pemimpin dan bawahan. Kepemimpinan transaksional
memungkinkan pemimpin memotivasi dan mempengaruhi bawahan dengan cara
mempertukarkan reward dengan kinerja tertentu. Artinya, dalam sebuah transaksi
bawahan dijanjikan untuk diberi reward bila bawahan mampu menyelesaikan
tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Alasan ini
mendorong Burns untuk mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai bentuk
hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas tertentu jika bawahan mampu
menyelesaikan dengan baik tugas tersebut. Jadi, kepemimpinan transaksional
menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai ekonomis untuk memenuhi
kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak yang telah mereka
setujui bersama.
Menurut Bass (1985), sejumlah langkah
dalam proses transaksional yakni; pemimpin transaksional memperkenalkan apa
yang diinginkan bawahan dari pekerjaannya dan mencoba memikirkan apa yang akan
bawahan peroleh jika hasil kerjanya sesuai dengan transaksi. Pemimpin
menjanjikan imbalan bagi usaha yang dicapai, dan pemimpin tanggap terhadap
minat pribadi bawahan bila ia merasa puas dengan kinerjanya.
Dengan demikian, proses kepemimpinan
transaksional dapat ditunjukkan melalui sejumlah dimensi perilaku kepemimpinan,
yakni; contingent reward, active management by exception, dan passive
management by exception. Perilaku contingent reward terjadi apabila pimpinan
menawarkan dan menyediakan sejumlah imbalan jika hasil kerja bawahan memenuhi
kesepakatan. Active management by exception, terjadi jika pimpinan menetapkan
sejumlah aturan yang perlu ditaati dan secara ketat ia melakukan kontrol agar
bawahan terhindar dari berbagai kesalahan, kegagalan, dan melakukan intervensi
dan koreksi untuk perbaikan. Sebaliknya, passive management by exception,
memungkinkan pemimpin hanya dapat melakukan intervensi dan koreksi apabila
masalahnya makin memburuk atau bertambah serius.
Berdasarkan uraian di atas, perbedaan
utama antara kepemimpinan transformasional dan transaksional dapat
diidentifikasi yakni, bahwa inti teori kepemimpinan transaksional terutama
menjelaskan hubungan antara atasan dan bawahan berupa proses transaksi dan
pertukaran (exchanges process) yang bersifat ekonomis, sementara teori
kepemimpinan transformasional pada hakikatnya menjelaskan proses hubungan
antara atasan dan bawahan yang di dasari nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan
asumsi-asumsi mengenai visi dan misi organisasi. Hal ini bermakna, bahwa
pandangan teori kepemimpinan transaksional mendasarkan diri pada pertimbangan
ekonomis-rasional, adapun teori kepemimpinan transformasional melandaskan diri
pada pertimbangan pemberdayaan potensi manusia. Dengan kata lain, tugas
pemimpin transformasional adalah memanusiakan manusia melalui berbagai cara
seperti memotivasi dan memberdayakan fungsi dan peran karyawan untuk
mengembangkan organisasi dan pengembangan diri menuju aktualisasi diri yang
nyata.
Meskipun masih banyak yang harus dikaji
tentang kepemimpinan transformasional, namun terdapat cukup bukti dari
hasil-hasil berbagai jenis penelitian empiris untuk mengusulkan beberapa
pedoman sementara bagi para pemimpin yang mencoba untuk mentransformasikan
organisasinya serta budayanya, dan bagi para pemimpin yang ingin memperkuat
budaya yang ada dari suatu organisasi. Lebih khusus lagi, pedoman-pedoman
dimaksud adalah sebagai antisipasi terhadap berbagai hal yang mungkin dihadapi
pada abad ke-21. Beberapa pedoman tersebut, adalah sebagai berikut: (a)
Kembangkan sebuah visi yang jelas dan menarik; (b) Kembangkan sebuah strategi
untuk mencapai visi tersebut; (c) Artikulasikan dan promosikan visi tersebut;
(c) Bertindak dengan rasa percaya diri dan optimis; (d) Ekspresikan rasa
percaya kepada para pengikut; (e) Gunakan keberhasilan sebelumnya dalam
tahap-tahap kecil untuk membangun rasa percaya diri; (f) Rayakan keberhasilan;
(g) Gunakan tindakan-tindakan yang dramatis dan simbolis untuk menekankan
nilai-nilai utama; (h) Memimpin melalui contoh; (i) Menciptakan, memodifikasi
atau menghapuskan bentuk-bentuk kultural; dan (j) Gunakan upacara-upacara
transisi untuk membantu orang melewati perubahan.
Abad 21 juga mengisyaratkan diperlukannya
global leadership dan mind set tertentu. Seiring dengan dinamika perkembangan
global, berkembang pula pemikiran dan pandangan mengenai kepemimpinan global
(global leadership), yang akan banyak menghadapi tantangan dan memerlukan
berbagai persyaratan untuk suksesnya., seperti dalam membangun visi bersama
dalam konteks lintas budaya dalam kemajemukan hidup dan kehidupan
bangsa-bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar