Jumat, 28 September 2012

CERPEN: SETENGAH GILA


SETENGAH GILA
Oleh: Arya Bajang Rumi

“Kasihan perempuan itu. Sejak tiga tahun yang lalu, setiap hari dia masuk ke kampus berpakaian rapi seperti mahasiswi lain,” katanya memulai cerita sambil menunjuk ke arah seorang perempuan yang sedang berjalan di depan warungnya.  Saodah bercerita kepada pengunjung warungnya yang sebagian besar mahasiswa itu. Perempuan yang diceritakan Saodah itu adalah perempuan tidak waras. Seorang mahasiswi yang tidak mampu menyelesaikan kuliahnya hingga tahun terakhir. Lalu dikeluarkan dari kampus tanpa embel-embel gelar di belakang namanya. Kata Saodah lagi, “Tapi anehnya dia selalu membawa kantong plastik setiap kali ke kampus,”. Menganggap ada yang lucu, pemilik warung dengan tahi lalat sebesar biji pepaya di hidung itu cekikikan.
Saodah punya cerita lain soal mahasiswa yang berubah dari seorang intelektual menjadi seorang yang tak waras. Intelektualitasnya benar-benar tak nampak jika kegilaan itu menjangkit. “Seorang mahasiswi lain asal luar daerah juga pernah ada yang berusaha membakar ruang dosen,” ceritanya. Mahasiswi itu datang menggunakan kebaya dan berdandan layaknya seorang wisudawan. Ia berteriak-teriak sambil tangannya mencekik leher botol berisi bensin. Setelah diamankan oleh pihak keamanan kampus, mahasiswi itu dikeluarkan dari wilayah kampus. Dari luar tembok yang membatasi kampus dengan jalan raya, mahasiswi itu masih berteriak-teriak seperti orator yang memendam kekecewaan dalam sebuah aksi jalanan. Lalu dia berkoar-koar ke orang-orang yang berlalu lalang. “Ayooo…ayooo…ambil dan makan apa pun yang kalian suka. Aku traktir. Aku wisuda hari ini,” katanya seperti orang kerasukan sambil terbahak-bahak. Orang-orang yang melihatnya hanya memandangnya dengan tatapan penuh iba. Lalu, tiba-tiba ia meraung. Menangis. Bulir-bulir air mata menggelinding di ceruk antara dinding hidung dan pipinya yang cembung.
“Kalian mungkin mengira aku mengada-ada,” kata Saodah kepada kami yang seolah tidak memberikan respon apa-apa terhadap ceritanya. Saodah yang dikenal ramah dan murah senyum itu kembali bercerita. “Bi, nasi satu bungkus. Rokok satu bungkus,” kata Saodah menirukan permintaan seorang mahasiswa. Sebagai penjual yang baik, ia dengan cepat melayani pembelinya seperti pegawai bank yang murah senyum dan selalu siap memberikan pelayanan. Selesai menghabiskan bungkusan nasinya, mahasiswa itu memesan segelas kopi hitam. Tanpa pikir panjang, Saodah membuatkan segelas kopi. Kopi diseruput dengan nikmat oleh si mahasiswa sambil menghisap rokok. Lalu tiba-tiba empat orang seperti tergesa-gesa mendatangi mahasiswa itu, lalu membawanya pergi. Salah seorang darinya, mendekati Saodah dan berbisik: “Ma’af. Dia sakit,”. Lalu dia pergi tanpa berkata-kata lagi tanpa membayar pula. Saodah termangu. Ia baru sadar, mahasiswa yang baru saja memesan nasi, rokok dan kopi itu ternyata tak waras. “Saya baru perhatikan sewaktu dia dibawa pulang empat temannya. Tanpa alas kaki dan memakai sarung selutut,” kata Saodah lalu tawanya meledak. Dan kami yang dari tadi tanpa respon akhirnya ikut tertawa seperti sedang mabuk bersama Saodah. Mabuk oleh cerita Saodah.
Aku yang sedari tadi seolah tak memerhatikan Saodah, diam-diam menelan cerita-cerita getir mahasiswa-mahasiswa yang tiba-tiba menjadi gila itu. Ada kekhawatiran yang mengalir dalam saluran cernaku bersama butiran nasi yang kukunyah sambil mendengar cerita-cerita itu. Kisah yang tragis. Tawaku hanya pura-pura. Buatan saja. Sebenarnya aku sedang dihantui hal yang sama setelah mendengar cerita pribadi seorang teman yang hampir gila. Dan sekarang ditambah cerita dari Saodah.
***
Tadi, aku bertemu dengan Midi. Dia mengabarkan keadaan kakaknya Midun. Sejak dua tahun lalu, usai menyelesaikan kuliahnya di jurusan yang sama denganku, Midun belum juga mendapat pekerjaan. Sehari-hari dia menghabiskan waktu di rumah. Sekali ia pernah bermain ke rumah tetangga, lalu pulang dengan dongkol. Ia sangat tak suka jika ditanya soal pekerjaan.
“Aku heran dengan kakakku itu. Kuliah hampir tujuh tahun, lalu menganggur,” keluh Midi.
Dua hari yang lalu, kata Midi, Midun mengamuk dan merusak apapun yang ada di dekatnya sambil mengacung-acungkan celurit. Sepertinya, Midun tertekan karena setiap hari dia merasa terteror oleh pertanyaan keluarga atau orang sekampung tentang pekerjaannya usai kuliah. Pertanyaan-pertanyaan itu seolah mengisi semua ruang yang terisi udara dan pertanyaan itu terlarut di dalamnya, sehingga Midun mendengarnya seperti pertanyaan yang terus diulang seperti cakram VCD yang terus berputar dan menyanyikan lagu yang sama tanpa henti.
Setahuku, Midun adalah mahasiswa yang rajin di kampus. Waktu luang tidak pernah ia sia-siakan untuk mengobrol di bawah pohon-pohon peneduh seperti sekelompok mahasiswa lain, selain membaca buku atau ke perpustakaan. Ia salah satu senior yang aku kagumi. Tapi mendengar cerita Midi, aku bagai  mendengar cerita Midun yang lain.
“Sekarang dia dirawat di rumah sakit jiwa. Kalau kau ada kesempatan, jenguklah dia,” mintanya. Lalu dia menjabat tanganku dan pergi.
Kepalaku seperti dihantam benda keras mendengar cerita Midi. Sungguh memilukan. Lalu aku benar-benar pusing rasanya. Sebaiknya aku pulang saja dan menenggelamkan diri dalam belitan selimut. Setidak-tidaknya dengan begitu aku bisa merasa tenang.
Di rumah. Aku baru saja lelap, ketika aku mendengar ketukan pintu yang kencang dan tak henti sambil memanggil-manggil nama ayahku. Aku menebak pemilik suara itu. Seperti suara Uwakku. Dengan kepala pening dan pandangan berputar-putar, aku mendekati sumber suara dan benar saja, Uwakku berdiri dengan raut gelisah.
“Mana ayahmu?” tanyanya. Aku menggeleng. Karena sejak kepulanganku tadi, aku tidak mendapati seorang pun di rumah.
“Kasih tahu ayahmu; Tinah kakakmu mengamuk,” pesannya dengan tatapan penuh harap yang bercampur dengan kecemasan yang menyembul dari garis-garis keriput di wajahnya. Aku manggut-manggut seperti memberinya kepastian sebelum dia berlalu dengan langkah yang dipercepat.
Ada apa lagi ini? Tanyaku dalam hati. Bukankah semalam dia baik-baik saja. Suara tawanya masih menggema di telingaku. Tawanya semalam setelah dia bercerita soal seorang calo PNS yang memintainya sejumlah uang. Tapi karena permintaannya tidak diamini. Calo yang masih ada hubungan keluarga dengan kami itu, tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. “Mungkin dia kesal,” tebaknya lalu kembali tertawa lepas.
Tinah hampir enam tahun ini menganggur. Dia salah satu wisudawan dengan predikat cum laude di salah satu perguruan tinggi ternama di daerah kami. Menyelesaikan kuliah tiga setengah tahun. Sesuatu yang jarang mampu diraih mahasiswa lain. Tapi sejak selesai kuliah itu, Tinah tidak langsung bekerja. Alasannya, Ia ingin melepas penat di kampung sekalian menunggu jadwal penerimaan CPNS, yang beberapa bulan lagi akan dibuka pemerintah.
Penerimaan CPNS pun dibuka. Tinah mendaftar bersama ribuan orang pelamar di daerah kami. Dengan predikat cum laude, tentu Tinah berada di atas angin. Tapi sayang seribu sayang, nama Tinah tidak tertera dalam daftar pengumuman nama-nama yang diterima. Ia pulang dengan lunglai dan mata yang basah.
“Mungkin karena kita tidak pake uang,” kata pamanku menerka-nerka sebab kegagalan Tinah. Menurut pamanku, menggunakan uang itu sudah lumrah dilakukan untuk mempermudah segala urusan di negeri ini. “Lihat saja anak si Mungguh yang dikenal sering tak naik kelas itu. Dia dapat, bukan?” kata pamanku membandingkan. Kabarnya, Mungguh sudah menjual tanah warisan satu-satunya untuk membiayai anaknya menjadi PNS.
Tahun berikutnya, Tinah kembali mendaftar. Uwak juga berani melakukan hal yang sama seperti Mungguh. Ceritanya, ia sudah menyetor uang muka dua puluh juta untuk memastikan jatah satu kursi. Jika lulus, calo itu akan mendapat empat puluh juta lagi. Semuanya sudah Uwak siapkan. Tapi nahas, Tinah kembali gagal.
Tinah kembali menunggu pembukaan berikutnya. Gagal lagi. Meskipun uang jutaan rupiah melayang tak kembali. Lalu Tinah melamar di perusahaan swasta. Tapi hanya lolos hingga tes wawancara. Setelah itu ia tak pernah mendapat panggilan.
“Tolong carikan pekerjaan apa pun buat kakakmu. Meskipun jadi tukang sapu,” kata Uwakku suatu ketika dengan nada putus asa. Tinah berusaha tegar menghadapi jalan nasibnya. Sekarang usianya tiga puluh satu tahun. Berpikir menikah dengan seorang lelaki pun tak sempat terbayang. Tinah tiba-tiba mengamuk dan mengamuk. Ia mungkin tak tahan dengan tekanan dan beban yang ditanggung.
***
Bersama beberapa orang keluarga, kami mengantar Tinah ke rumah sakit jiwa. Di situ, kami menemukan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan yang sama seperti Tinah. Seorang perempuan muda berbicara sendiri dengan sebatang pohon cemara yang menjulang di tengah halaman rumah sakit. Seorang lelaki tua dengan wajah keriput yang menggantung seperti hendak lepas, menangis sejadi-jadinya sambil memeluk tiang kayu.  Dan seorang laki-laki dengan rambut semawut berlari-lari sambil tertawa sendirian. Di tangannya sebuah buku warna hitam. Ia terus berjingkrak-jingkrak kegirangan seperti seorang anak kecil yang baru saja dibawakan pulang gula-gula. Di dekat sebuah gundukan, lelaki berperawakan kecil itu membuka buku hitam yang sedari tadi didekapnya. Lalu berkata-kata seperti Musa kepada umatnya.
“Wahai saudara-saudara, dengarkan aku. Aku akan membacakan untukmu sebuah puisi. Puisi untukmu yang membuat aku setengah gila,” katanya memulai.
Astaga. Mendengar kata-kata itu, aku teringat seseorang yang pernah membacakannya untuk kami di sebuah diskusi sastra. Midun. Ya. Itu Midun. Itu puisi untuk kekasihnya yang telah meninggalkannya menikah dengan lelaki pilihannya. Oooh, Midun. Malang nian nasibmu, pikirku.
Aku pulang ke rumah. Masuk kamar dan berdiri di depan cermin besar yang menempel di daun pintu almari. Aku melihat diriku dengan semua detail. Lama sekali. Dan aku melihat bayang mahasiswa-mahasiswa gila karena tak bisa wisuda di situ. Aku juga melihat Midun dan Tinah yang menganggur bertahun-tahun setelah wisuda dalam cermin yang sama.
Dan aku melihat diriku ada pada mereka yang gila. Setelah tujuh tahun belum wisuda dan kekhawatiran tanpa pekerjaan setelahnya. Aku yang menggigil ketakutan. Di depan cermin itu, aku melihat diriku yang setengah gila.

Mataram, 20 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar