SETENGAH GILA
Oleh: Arya Bajang Rumi
“Kasihan
perempuan itu. Sejak tiga tahun yang lalu, setiap hari dia masuk ke kampus
berpakaian rapi seperti mahasiswi lain,” katanya memulai cerita sambil menunjuk
ke arah seorang perempuan yang sedang berjalan di depan warungnya. Saodah bercerita kepada pengunjung warungnya
yang sebagian besar mahasiswa itu. Perempuan yang diceritakan Saodah itu adalah
perempuan tidak waras. Seorang mahasiswi yang tidak mampu menyelesaikan
kuliahnya hingga tahun terakhir. Lalu dikeluarkan dari kampus tanpa embel-embel
gelar di belakang namanya. Kata Saodah lagi, “Tapi anehnya dia selalu membawa
kantong plastik setiap kali ke kampus,”. Menganggap ada yang lucu, pemilik
warung dengan tahi lalat sebesar biji pepaya di hidung itu cekikikan.
Saodah punya
cerita lain soal mahasiswa yang berubah dari seorang intelektual menjadi
seorang yang tak waras. Intelektualitasnya benar-benar tak nampak jika kegilaan
itu menjangkit. “Seorang mahasiswi lain asal luar daerah juga pernah ada yang
berusaha membakar ruang dosen,” ceritanya. Mahasiswi itu datang menggunakan
kebaya dan berdandan layaknya seorang wisudawan. Ia berteriak-teriak sambil
tangannya mencekik leher botol berisi bensin. Setelah diamankan oleh pihak
keamanan kampus, mahasiswi itu dikeluarkan dari wilayah kampus. Dari luar
tembok yang membatasi kampus dengan jalan raya, mahasiswi itu masih
berteriak-teriak seperti orator yang memendam kekecewaan dalam sebuah aksi
jalanan. Lalu dia berkoar-koar ke orang-orang yang berlalu lalang. “Ayooo…ayooo…ambil
dan makan apa pun yang kalian suka. Aku traktir. Aku wisuda hari ini,” katanya
seperti orang kerasukan sambil terbahak-bahak. Orang-orang yang melihatnya
hanya memandangnya dengan tatapan penuh iba. Lalu, tiba-tiba ia meraung.
Menangis. Bulir-bulir air mata menggelinding di ceruk antara dinding hidung dan
pipinya yang cembung.
“Kalian mungkin
mengira aku mengada-ada,” kata Saodah kepada kami yang seolah tidak memberikan
respon apa-apa terhadap ceritanya. Saodah yang dikenal ramah dan murah senyum
itu kembali bercerita. “Bi, nasi satu bungkus. Rokok satu bungkus,” kata Saodah
menirukan permintaan seorang mahasiswa. Sebagai penjual yang baik, ia dengan
cepat melayani pembelinya seperti pegawai bank yang murah senyum dan selalu
siap memberikan pelayanan. Selesai menghabiskan bungkusan nasinya, mahasiswa
itu memesan segelas kopi hitam. Tanpa pikir panjang, Saodah membuatkan segelas
kopi. Kopi diseruput dengan nikmat oleh si mahasiswa sambil menghisap rokok.
Lalu tiba-tiba empat orang seperti tergesa-gesa mendatangi mahasiswa itu, lalu
membawanya pergi. Salah seorang darinya, mendekati Saodah dan berbisik: “Ma’af.
Dia sakit,”. Lalu dia pergi tanpa berkata-kata lagi tanpa membayar pula. Saodah
termangu. Ia baru sadar, mahasiswa yang baru saja memesan nasi, rokok dan kopi
itu ternyata tak waras. “Saya baru perhatikan sewaktu dia dibawa pulang empat
temannya. Tanpa alas kaki dan memakai sarung selutut,” kata Saodah lalu tawanya
meledak. Dan kami yang dari tadi tanpa respon akhirnya ikut tertawa seperti
sedang mabuk bersama Saodah. Mabuk oleh cerita Saodah.
Aku yang sedari
tadi seolah tak memerhatikan Saodah, diam-diam menelan cerita-cerita getir
mahasiswa-mahasiswa yang tiba-tiba menjadi gila itu. Ada kekhawatiran yang
mengalir dalam saluran cernaku bersama butiran nasi yang kukunyah sambil
mendengar cerita-cerita itu. Kisah yang tragis. Tawaku hanya pura-pura. Buatan
saja. Sebenarnya aku sedang dihantui hal yang sama setelah mendengar cerita
pribadi seorang teman yang hampir gila. Dan sekarang ditambah cerita dari
Saodah.
***
Tadi, aku
bertemu dengan Midi. Dia mengabarkan keadaan kakaknya Midun. Sejak dua tahun
lalu, usai menyelesaikan kuliahnya di jurusan yang sama denganku, Midun belum
juga mendapat pekerjaan. Sehari-hari dia menghabiskan waktu di rumah. Sekali ia
pernah bermain ke rumah tetangga, lalu pulang dengan dongkol. Ia sangat tak
suka jika ditanya soal pekerjaan.
“Aku heran
dengan kakakku itu. Kuliah hampir tujuh tahun, lalu menganggur,” keluh Midi.
Dua hari yang
lalu, kata Midi, Midun mengamuk dan merusak apapun yang ada di dekatnya sambil
mengacung-acungkan celurit. Sepertinya, Midun tertekan karena setiap hari dia
merasa terteror oleh pertanyaan keluarga atau orang sekampung tentang
pekerjaannya usai kuliah. Pertanyaan-pertanyaan itu seolah mengisi semua ruang
yang terisi udara dan pertanyaan itu terlarut di dalamnya, sehingga Midun
mendengarnya seperti pertanyaan yang terus diulang seperti cakram VCD yang
terus berputar dan menyanyikan lagu yang sama tanpa henti.
Setahuku, Midun
adalah mahasiswa yang rajin di kampus. Waktu luang tidak pernah ia sia-siakan
untuk mengobrol di bawah pohon-pohon peneduh seperti sekelompok mahasiswa lain,
selain membaca buku atau ke perpustakaan. Ia salah satu senior yang aku kagumi.
Tapi mendengar cerita Midi, aku bagai
mendengar cerita Midun yang lain.
“Sekarang dia
dirawat di rumah sakit jiwa. Kalau kau ada kesempatan, jenguklah dia,”
mintanya. Lalu dia menjabat tanganku dan pergi.
Kepalaku seperti
dihantam benda keras mendengar cerita Midi. Sungguh memilukan. Lalu aku
benar-benar pusing rasanya. Sebaiknya aku pulang saja dan menenggelamkan diri
dalam belitan selimut. Setidak-tidaknya dengan begitu aku bisa merasa tenang.
Di rumah. Aku baru
saja lelap, ketika aku mendengar ketukan pintu yang kencang dan tak henti
sambil memanggil-manggil nama ayahku. Aku menebak pemilik suara itu. Seperti
suara Uwakku. Dengan kepala pening dan pandangan berputar-putar, aku mendekati
sumber suara dan benar saja, Uwakku berdiri dengan raut gelisah.
“Mana ayahmu?”
tanyanya. Aku menggeleng. Karena sejak kepulanganku tadi, aku tidak mendapati
seorang pun di rumah.
“Kasih tahu
ayahmu; Tinah kakakmu mengamuk,” pesannya dengan tatapan penuh harap yang
bercampur dengan kecemasan yang menyembul dari garis-garis keriput di wajahnya.
Aku manggut-manggut seperti memberinya kepastian sebelum dia berlalu dengan
langkah yang dipercepat.
Ada apa lagi
ini? Tanyaku dalam hati. Bukankah semalam dia baik-baik saja. Suara tawanya masih
menggema di telingaku. Tawanya semalam setelah dia bercerita soal seorang calo
PNS yang memintainya sejumlah uang. Tapi karena permintaannya tidak diamini.
Calo yang masih ada hubungan keluarga dengan kami itu, tak pernah lagi
menampakkan batang hidungnya. “Mungkin dia kesal,” tebaknya lalu kembali
tertawa lepas.
Tinah hampir enam
tahun ini menganggur. Dia salah satu wisudawan dengan predikat cum laude di salah satu perguruan tinggi
ternama di daerah kami. Menyelesaikan kuliah tiga setengah tahun. Sesuatu yang
jarang mampu diraih mahasiswa lain. Tapi sejak selesai kuliah itu, Tinah tidak
langsung bekerja. Alasannya, Ia ingin melepas penat di kampung sekalian
menunggu jadwal penerimaan CPNS, yang beberapa bulan lagi akan dibuka
pemerintah.
Penerimaan CPNS
pun dibuka. Tinah mendaftar bersama ribuan orang pelamar di daerah kami. Dengan
predikat cum laude, tentu Tinah
berada di atas angin. Tapi sayang seribu sayang, nama Tinah tidak tertera dalam
daftar pengumuman nama-nama yang diterima. Ia pulang dengan lunglai dan mata
yang basah.
“Mungkin karena
kita tidak pake uang,” kata pamanku
menerka-nerka sebab kegagalan Tinah. Menurut pamanku, menggunakan uang itu
sudah lumrah dilakukan untuk mempermudah segala urusan di negeri ini. “Lihat
saja anak si Mungguh yang dikenal sering tak naik kelas itu. Dia dapat, bukan?”
kata pamanku membandingkan. Kabarnya, Mungguh sudah menjual tanah warisan
satu-satunya untuk membiayai anaknya menjadi PNS.
Tahun
berikutnya, Tinah kembali mendaftar. Uwak juga berani melakukan hal yang sama
seperti Mungguh. Ceritanya, ia sudah menyetor uang muka dua puluh juta untuk
memastikan jatah satu kursi. Jika lulus, calo itu akan mendapat empat puluh
juta lagi. Semuanya sudah Uwak siapkan. Tapi nahas, Tinah kembali gagal.
Tinah kembali
menunggu pembukaan berikutnya. Gagal lagi. Meskipun uang jutaan rupiah melayang
tak kembali. Lalu Tinah melamar di perusahaan swasta. Tapi hanya lolos hingga
tes wawancara. Setelah itu ia tak pernah mendapat panggilan.
“Tolong carikan
pekerjaan apa pun buat kakakmu. Meskipun jadi tukang sapu,” kata Uwakku suatu
ketika dengan nada putus asa. Tinah berusaha tegar menghadapi jalan nasibnya.
Sekarang usianya tiga puluh satu tahun. Berpikir menikah dengan seorang lelaki
pun tak sempat terbayang. Tinah tiba-tiba mengamuk dan mengamuk. Ia mungkin tak
tahan dengan tekanan dan beban yang ditanggung.
***
Bersama beberapa
orang keluarga, kami mengantar Tinah ke rumah sakit jiwa. Di situ, kami
menemukan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan yang sama seperti Tinah.
Seorang perempuan muda berbicara sendiri dengan sebatang pohon cemara yang
menjulang di tengah halaman rumah sakit. Seorang lelaki tua dengan wajah
keriput yang menggantung seperti hendak lepas, menangis sejadi-jadinya sambil
memeluk tiang kayu. Dan seorang
laki-laki dengan rambut semawut berlari-lari sambil tertawa sendirian. Di tangannya
sebuah buku warna hitam. Ia terus berjingkrak-jingkrak kegirangan seperti
seorang anak kecil yang baru saja dibawakan pulang gula-gula. Di dekat sebuah
gundukan, lelaki berperawakan kecil itu membuka buku hitam yang sedari tadi
didekapnya. Lalu berkata-kata seperti Musa kepada umatnya.
“Wahai
saudara-saudara, dengarkan aku. Aku akan membacakan untukmu sebuah puisi. Puisi
untukmu yang membuat aku setengah gila,” katanya memulai.
Astaga.
Mendengar kata-kata itu, aku teringat seseorang yang pernah membacakannya untuk
kami di sebuah diskusi sastra. Midun. Ya. Itu Midun. Itu puisi untuk kekasihnya
yang telah meninggalkannya menikah dengan lelaki pilihannya. Oooh, Midun.
Malang nian nasibmu, pikirku.
Aku pulang ke
rumah. Masuk kamar dan berdiri di depan cermin besar yang menempel di daun
pintu almari. Aku melihat diriku dengan semua detail. Lama sekali. Dan aku
melihat bayang mahasiswa-mahasiswa gila karena tak bisa wisuda di situ. Aku
juga melihat Midun dan Tinah yang menganggur bertahun-tahun setelah wisuda
dalam cermin yang sama.
Dan aku melihat
diriku ada pada mereka yang gila. Setelah tujuh tahun belum wisuda dan
kekhawatiran tanpa pekerjaan setelahnya. Aku yang menggigil ketakutan. Di depan
cermin itu, aku melihat diriku yang setengah gila.
Mataram, 20 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar