PENYAKIT CALON PEMIMPIN KITA[*]
Sengaja kepala tulisan ini aku tulis dengan kata
provokatif agar yang membaca dan merasa ditohok uluhati kesadarannya
terperangah, terkesima, terkaget-kaget, dan (semoga) mulai sadar diri.
Aku ingin bicara fakta, soal calon-calon pemimpin kita
di masa mendatang, yang sekarang mendermakan diri di lembaga-lembaga mahasiswa,
yang mengaku sebagai aktivis mahasiswa, yang merasa diri pemimpin mahasiswa,
pejabat mahasiswa, wakil mahasiswa, penyambung lidah mahasiswa, de el el.
Pertama dan utama, aku hendak bicara soal
kritik-mengeritik. Yang mengaku aktivis atau sering turun jalan atau cerdas dan
ksatria, pemberani, dan idealis, yang kesal dengan tingkah-polah birokrat,
pejabat, penguasa, yang sewenang-wenang, pasti mengerti hakikat “kritik”. Ya, kita,
kalian, berteriak-teriak di jalanan, mendengung-dengungkan tuntutan lewat
megapon di tangan, lewat tulisan-tulisan di selebaran, atau lewat media apa pun.
Apa pasal? Sebab kita, kalian telah menganggap objek kritik salah langkah,
menyeleweng, tidak menjalankan amanat, lupa diri, dan bla, bla, bla. Aku
acungkan dua jempol. Salut.
Tapi kenyataan sangat berbeda, ketika calon-calon
pemimpin kita duduk di lembaga mahasiswa, baik ekskutif (BEM) maupun
legislative (DPM), maupun pembela-pembelanya. Apa yang diperbuat? Mereka tak
lain dari pada personifikasi dari ketulian, kegaguan – aku tidak menyebut
kebisuan, sebab aku tahu mereka bisa bicara, namun tanpa logika - , dan
kebutaan.
Tuli.
Teguran (padanan kata dengan konotasi ‘berakhlak’ untuk “kritik”) dari orang
lain (mahasiswa; yang notabene mereka sebut pemilik kedaulatan) tidak dipandang
sebagai sesuatu yang penting. Alih-alih respek, yang diperlihatkan adalah sikap
defensive dengan melakukan pembelaan-pembelaan yang tak logis dan penuh
prasangka. Sikap yang lain adalah, menganggap kritik sebagai sesuatu yang tak
perlu ditanggapi. Sebuah resolusi konflik yang membesarkan api dalam sekam.
Sikap yang diperlihatkan tak lebih dan tak bukan dari pada sikap pejabat Negara
yang sering diperolok oleh mereka sendiri, yang ternyata sebagai pewaris
sejati.
Gagu.
Kelainan lain dari calon pemimpin kita adalah ketidakmampuan melakukan
komunikasi massa. Ia tidak belajar banyak dari konflik-konflik yang terdahulu,
malah mengedepankan ego organisasi asal. Pembelaan-pembelaan yang dilakukan
calon pemimpin kita beserta pembela-pembelanya yang pintar memuji kolega dan
mencemooh para pengeritik, tak lain dari pada pembelaan yang menyesatkan.
Pembela-pembelanya membuat analisis-analisis dangkal dari kejadian-kejadian
yang dilihat sepintas lalu dengan dua bola mata, bukan dengan mata logikanya.
Alhasil, konflik antar mahasiswa dan pemimpin lembaga mahasiswa beserta para
pembelanya semakin meruncing.
Buta.
Abnormalitas yang menjangkiti sebagian besar pemimpin di negeri ini ternyata
juga dipelajari dengan seksama oleh calon pemimpin kita, yang menimba ilmu untuk
menjadi pejabat-pejabat negara. Fakta berlangsungnya konflik antar dua arus
pemikiran yang terus memuncak dan cenderung negative di dalam kampus, dipandang
seolah-olah tidak pernah terjadi dan tidak pernah ada. Calon-calon pemimpin
itu, kemudian larut dengan program-program lembaga, merumuskan Peraturan
Mahasiswa; proyek yang dianggapnya prestisius dan bersejarah. Entah bersejarah
untuk siapa. Dan pula siapa yang hendak diatur dan untuk apa, tak kita tahu
sama sekali, selain mereka bilang mereka sedang disibukkan dengan itu. Lalu
ketika disarankan agar peka dengan aspirasi dan kondisi kampus, dan segera
mengambil sikap, calon-calon pemimpin bilang: “Kerjaan kalian ngeritik gak
jelas” atau “nanti kita cari waktu luang. Kami masih punya banyak agenda”.
Malang nian nasib kampus kita. Melahirkan para pewaris
ketulian, kegaguan, dan kebutaan. Tiga penyakit calon pemimpin kita ini, semoga
cepat sembuh. Terapinya cukup dua kata: SADAR DIRI.
[*]
Tulisan ini terinspirasi dari konflik
berkepanjangan di dua grup facebook mahasiswa Universitas Mataram; Grup 1000
Facebooker Bekukan (Bubarkan) DPM UNRAM dan Grup DPM Unram beberapa waktu yang
lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar