Jumat, 28 September 2012

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM?


DAMPAK PERUBAHAN IKLIM?[1]
Oleh: Ramli
(Mahasiswa tingkat akhir Jurusan Biologi Universitas Mataram)

Beratnya serangan terhadap bumi cukup mengenaskan, dan dampak-dampak yang menakutkan terjadi demikian cepat sehingga melampaui kemampuan kita untuk mengenalnya, memahami implikasi globalnya, dan mengorganisasikan tindakan yang sesuai serta tepat waktu (Al Gore, 1994:339).
Beberapa hari terakhir, kita dikejutkan dengan berbagai pemberitaan menyangkut bencana kekeringan di Amerika, banjir di Beijing, berkurangnya stok kedelai di pasaran Indonesia yang mengakibatkan perajin tahu tempe terancam gulung tikar, dan terakhir berita terganggunya kegiatan budi daya rumput laut, lobster dan kerapu di Lombok selatan. Adakah fenomena ini berkaitan dengan perubahan iklim?
Isu perubahan iklim (climate change) sejauh ini telah menjadi isu bersama di seluruh dunia. Dunia internasional mengkhawatirkan dampak buruk perubahan iklim terhadap keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Maka, tidak mengherankan jika sekarang tema go green menjadi tren. Muncul istilah ramah lingkungan, pahlawan lingkungan hidup, energy hijau, partai hijau, bahkan yang paling sering terdengar sekarang adalah istilah ekonomi hijau atau dalam peraturan perundang-undangan Indonesia disebut pembangunan berwawasan lingkungan. Setidak-tidaknya, ini mencerminkan keinginan dunia internasional agar masyarakat internasional merubah sikap dan perilaku hidup.
Perubahan iklim, pemanasan global (global warming) atau juga sering  disebut efek rumah kaca (green house) pada dasarnya adalah dampak dari kegiatan industrialisasi yang massif sejak penemuan mesin uap di Eropa. Karena untuk menggerakkan industri dan pembangunan ekonomi, dibutuhkan sumber energi dalam jumlah yang tidak sedikit. Sumber energi utama yang selama ini digunakan adalah energi fosil. Akibatnya, gas-gas rumah kaca di atmosfir mengalami peningkatan yang tak terkendali, yang ujungnya mengganggu biosfer. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan, sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia.
Meningkatnya suhu global berdampak pada naiknya permukaan air laut, cuaca ekstrem, kekacauan musim, produktifitas pertanian, mencairnya es di kutub utara-selatan bumi, dan yang tidak kalah penting adalah hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity losses). Artinya, kehidupan di muka bumi dalam ancaman serius sebagai dampak perubahan iklim. Lalu bagaimana dengan kejadian-kejadian terakhir di atas? Benarkah itu efek perubahan iklim?
Jika menilik gejala-gejala yang tampak, maka secara kasat mata kita dapat menyimpulkan bahwa kejadian tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dinamika alam. Dampak perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem dan mengakibatkan kekeringan parah tengah berlangsung di sebagian besar lahan pertanian di Amerika Serikat. Indonesia yang menjadi importir kedelai, gandum, dan jagung dari negeri Obama itu mulai merasakan dampaknya. Harga kedelai impor yang digunakan sebagai bahan baku produksi tahu tempe melonjak tinggi. Sementara, stok dalam negeri tidak mencukupi. Perajin tahu-tempe di beberapa tempat di beberapa daerah, termasuk NTB, dengan terpaksa menghentikan aktifitas produksi hingga kini. Dan ke depan, dampak kekeringan terparah dalam 50 tahun terakhir itu juga akan dirasakan industri berbasis tiga komoditas impor tersebut, seperti industri roti.
Sementara itu, di Biejing, hujan badai melanda ibu kota China itu. Hujan badai terburuk sepanjang enam dasawarsa terakhir. Kota yang ditumbuhi pencakar langit itu tenggelam hingga beberapa sesaat. Bencana ini tidak terprediksi karena terjadi anomali cuaca sebagai efek perubahan iklim.
Terakhir, pemerintah nampaknya harus memikirkan skenario baru dalam mendorong program unggulan dan program ketahanan pangan agar tidak mengalami kegagalan. Karena program unggulan pemerintah seperti PIJAR (Sapi, Jagung, dan Rumput Laut) akan terpengaruh cuaca ekstrem dan perubahan pola musim sebagai efek perubahan iklim. Beberapa hari terakhir, kita dikejutkan dengan kegagalan budi daya jagung di sentra pertanian jagung di KLU dan kegagalan budidaya rumput laut di Lombok Timur bagian selatan.
Dilema Pembangunan Negara-negara Berkembang
Menguatnya isu perubahan iklim akibat pemanasan global ini memicu perdebatan serius, khususnya di negara-negara berkembang. Berdasarkan kaca mata ekonomi-politik, mereka memandang ini sebagai skenario perang asimetris antara Utara dan Selatan, Barat dan Timur, atau Negara-negara maju dan Negara-negara dunia ketiga. Isu ini dipandang menjadi penghalang serius bagi pembangunan ekonomi negara-negara berkembang, di saat kekuatan ekonomi dunia baru muncul dengan kemunculan kelompok BRIC (Brasil, Russia, India, China) dan negara lain seperti Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, dan Indonesia. Dengan isu ini, negara-negara maju dianggap berusaha mempertahankan status quo. Namun, hasil riset sebagian besar ilmuan telah membuktikan bahwa isu perubahan iklim ini bukan rekayasa politik melainkan fakta sejarah yang akan dihadapi umat manusia.
Indonesia sendiri sejauh ini memperlihatkan ketahanan ekonominya sebagai satu kekuatan penting dunia di saat negara-negara Eropa dalam ancaman kebangkrutan. Ditambah lagi dengan faktor kehutanan telah menjadikan posisi tawar Indonesia semakin penting, di samping Brasil, dalam arus isu perubahan iklim.
Namun demikian, ketergantungan kita terhadap beberapa komoditas penting tetap menempatkan kita dalam posisi yang secara langsung akan terpapar dampak perubahan di negara-negara maju. Dalam kasus, menurunnya stok kedelai dan membuat harganya melangit adalah satu contoh. Kekeringan di Amerika sebagai eksportir utama Indonesia untuk kedelai, berakibat fatal terhadap ekonomi masyarakat kita. Maka, ke depan menjadi negara-bangsa yang berdikari adalah sebuah keniscayaan.
Oleh karena itu, kemandirian ekonomi, terutama pangan harus diupayakan sehingga tercapai keswasembadaan dan ketahanan pangan. Selain itu, upaya mitigasi dan adaptasi lainnya terhadap kemungkinan-kemungkinan dampak perubahan iklim harus tetap digerakkan, terutama dengan merubah paradigma pembangunan dan perilaku hidup kita agar alam tetap dalam keseimbangan dan ekonomi negara terus mengalami kemajuan, harapannya rakyat sejahtera.



[1] Dimuat di Harian Umum SUARA NTB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar