DEWAN MAHASISWA: SEBUAH
KENISCAYAAN
(Mencari Model Ideal Organisasi
Mahasiswa Intrakampus)
Draf disusun oleh:
Amir Mahmud (FH), Muh.
Fahrudin Alawi (FKIP), M. Hamdani Hasyri (FKIP), Zul Hafid (FT), dan Jannatan
Firdaos (FE)
A. Kilas Balik Sejarah Gerakan Mahasiswa 1970 – 1978 dan
Pembubaran Dewan Mahasiswa
Rentang
tahun 1970 sampai dengan 1978 merupakan masa menentukan dalam sejarah mahasiswa
Indonesia. Hubungan mahasiswa 1970-an dengan pemerintah Orde Baru yg didukung
militer sangat berbeda dengan pendahulunya; angkatan ’66. Pada tahun 1970
pemuda dan mahasiswa membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) sebagai reaksi atas
maraknya korupsi di tubuh pemerintahan.
Pada
tanggal 28 Mei 1971 menjelang Pemilu, mahasiswa beserta masyarakat sipil
lainnya mendeklarasikan Golongan Putih (Golput) sebagai protes atas pelaksanaan
Pemilu yang curang. Selanjutnya, pada 1972 mahasiswa memprotes rencana
pemerintah membangun proyek mercusuar TMII di saat rakyat dalam kubangan
kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Pada kurun 1970-1971 muncul petisi
keadilan yang menuntut pemerintah mengontrol penggunaan keuangan Negara. Pada
1971-1972 muncul gerakan anti lapar yang memperotes penanganan Bulog. Berikutnya
tahun 1973 diwarnai dengan protes anti korupsi.
Menyusul pada
tanggal 15 Januari 1974, mahasiswa turun jalan menentang tidak terkontrolnya
penanaman modal asing di Indonesia, sehingga menyebabkan matinya usaha pribumi.
Bertepatan dengan datangnya PM Jepang Kakuei Tanaka. Aksi ini tidak terkendali
sehingga terjadi kerusuhan. Setelah peristiwa Malari ini hingga tahun 1976,
berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi.
Menjelang
Pemilu 1977 dan sesudahnya, gerakan mahasiswa muncul kembali dalam skala yang
massif dengan mengusung berbagai isu penyimpangan politik. Pemerintah
mengantisipasi gejolak ini dengan membentuk Tim Dialog Pemerintah pada 24 Juli
1977, yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Tapi upaya ini
ditolak mahasiswa. Pada periode ini, militer mengawasi dan menduduki kampus
karena mahasiswa telah dianggap melakukan pembangkangan politik.
Pada Maret
1977 muncul gerakan anti kebodohan yang dimotori Dewan Mahasiswa ITB yang
bertujuan menuntut pemerintah meningkatkan anggaran pendidikan, adanya UU Wajib
Belajar, dan terciptanya situasi nasional yang bersifat mendidik sehingga
rakyat gemar belajar dan sadar hak-haknya sebagai warga Negara. Tanggal 28
Oktober 1977, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka
berikrar satu suara “Turunkan Soeharto!”. Besoknya, mahasiswa yang terlibat
raib dan dijebloskan ke sel.
Pada 10
November 1977, memperingati hari Pahlawan, Surabaya dipenuhi sekitar 3000 jiwa
muda yang merupakan gabungan dari mahasiswa se-Jawa. Sedangkan di Jakarta
sekitar 6000 mahasiswa melakukan long
march dari Rawamangun ke Salemba. Pada tahun 1977 ini pula muncul Ikrar
Mahasiswa 1977. Isinya tiga poin, yaitu kembali pada Pancasila dan UUD 1945,
meminta pertanggungjawaban presiden, dan bersumpah setia bersama rakyat
menegakkan kebenaran dan keadilan. Ikrar ini diucapkan oleh seluruh Dewan
Mahasiswa se-Indonesia.
Setelah
itu, pada 1978 mahasiswa telah memiliki keberanian untuk meminta Soeharto
mengundurkan diri dan tidak mempercayai lagi Soeharto sebagai calon presiden,
meskipun di bawah tekanan dan moncong senapan militer. Pada tahun yang sama, pemerintah
memberlakukan aturan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) dan pembubaran Dewan Mahasiswa secara paksa. Lembaga
mahasiswa dengan model Dewan Mahasiswa dicap illegal.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarakan SK No.
0156/U/1978 sesaat setelah Daoed Joesoef dilantik menjadi Mendikbud pada 1979.
Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menekuni jalur kegiatan
akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai pemerintah dapat
membahayakan rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah melalui
Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan mahasiswa, sebagai
gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK.
Berdasarkan SK Mendikbud No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk
Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan
dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi dirjen Pendidikan Tinggi
tahun 1978 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Penataan Kembali Lembaga Kemahasiswaan
di Perguruan Tinggi. Sebelum keluarnya SK Mendikbud tersebut, di ITB terjadi
demonstrasi mahasiswa menolak kedatangan Menteri Dalam Negeri Jenderal Rudini
ke ITB. Aksi ini berakhir dengan penangkapan dan pemenjaraan pemimpin mahasiswa
selama 3 tahun di Nusakambangan.
Secara
implicit, BKK melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya
mengizinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas, yaitu Senat
Mahasiswa Fakultas dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas. Hal yang terpenting
dari SK ini adalah terutama pada pemberian wewenang kekuasaan kepada rector dan
pembantu rector kemahasiswaan untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang
menurutnya sebagai bentuk tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan
pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan
konsep NKK/BKK, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ektra kampus
dalam melakukan kerja sama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh.
Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim
semakin kuat. Meskipun pemerintah telah melarang dan membubarkan Dewan
Mahasiswa di setiap kampus, mahasiswa ITB tetap mempertahankan diri hingga mahasiswa
memutuskan untuk membubarkan diri pada tahun 1982. Dalam tahun-tahun penuh
tekanan dan dicap illegal itu, DEMA ITB tetap melakukan aksi social dan
advokasi.
Baru tahun
1990 pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengatur bagi mahasiswa yang ingin
aktif dalam kampus. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan mencabut secara
formal kebijakan NKK/BKK dan menggantinya dengan terbitnya SK Mendikbud
No.0457/U/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Dalam
aturan ini, semua organisasi mahasiswa di perguruan tinggi harus memiliki corak
yang sama dan satu-satunya yang diakui yaitu SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan
Tinggi). SMPT mulai diberlakukan pada 28 Juli 1990. Konsep ini tidak jauh
berbeda dengan NKK/BKK jika melihat porsi keterlibatan pihak birokrat (Rektor)
yang menentukan langkah ke depan organisasi.
Konsep Senat
Mahasiswa ini di kalangan mahasiswa terjadi pro dan kontra. Yang kontra
mengatakan, konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong
kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan oponen di luar kampus. Sedangkan
yang pro pun mengakui ada kelemahan, namun setidaknya dapat dijadikan ajang
konsolidasi gerakan mahasiswa. Dalam pejalanannya, tidak ada perkembangan
berarti dengan konsep SMPT. Kasus di Universitas Udayana, SMPT hanya menjadi
alat penguasa. Sehingga pada periode 1997/1998, SMPT Udayana diturunkan secara
paksa oleh mahasiswa. Bahkan di UGM, mahasiswa cepat menyadari hal ini dan pada
1994 beralih kembali ke Dewan Mahasiswa.
Setelah
Orde Baru tumbang, format Senat Mahasiswa berganti konsep menjadi Badan
Ekskutif Mahasiswa (BEM). Katanya, Senat Mahasiswa dianggap organisasi yang
tidak jelas bentuknya apakah memposisikan diri sebagai legislative, ekskutif,
atau yudikatif para mahasiswa. Dan yang paling pokok adalah Senat Mahasiswa
memberikan celah yang besar terhadap intervensi pihak rektorat sebagai
perpanjangan tangan pemerintah. Lalu setelah berganti format menjadi BEM,
organisasi mahasiswa diibaratkan Negara. Pandangan ini, kemudian menyiratkan
betapa ketatnya persaingan antar kelompok mahasiswa (disinyalir pihak birokrasi
ikut terlibat) untuk memperebutkan posisi penting dalam lembaga mahasiswa, baik
tingkat fakultas maupun universitas. Alhasil, perseteruan ini memberikan dampak
terhadap pengesampingan peran dan fungsi sejati (gerakan) mahasiswa. Seolah,
dalam beberapa pandangan kelompok mahasiswa, kelompok gerakan mahasiswa telah
berhasil dilokalisir.
Kondisi Gerakan Mahasiswa di Mataram
B. Peran dan Fungsi Gerakan Mahasiswa
Tiga peran dan fungsi (gerakan)
mahasiswa, yaitu:
1.
Gerakan intelektual
Artinya, status mahasiswa menempatkan seseorang
yang menyandang status tersebut harus memiliki kesadaran bahwa ia butuh ilmu.
Bukan hanya sekedar kuliah dan menghindari status sebagai penganggur.
2.
Gerakan moral
Pada periode 1970-an mulai mengemuka peran
gerakan mahasiswa sebagai “kekuatan moral”, yakni kalangan intelektual yang
penuh idealism dan berusaha mengoreksi berbagai penyimpangan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, namun bukan bagian dari kelompok elit politik yang
menginginkan kekuasaan. Atau dalam penjelasan Arief Budiman (2006) gerakan
mahasiswa sebagai gerakan moral adalah kerja tulus tanpa pamrih untuk
memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
3.
Gerakan social
Status yang disandang seseorang mengikatnya
untuk menunjukkan suatu sikap atau peran tertentu. Pun mahasiswa melekatkan
identitas yang khas dari kelompok menengah yang berpengaruh, baik sebagai
pribadi maupun bagian dari kolektivitas gerakan mahasiswa.
Gerakan mahasiswa pada dasarnya adalah gerakan
social, yang dalam gabungan definisi Turner dan Killan (1972); dan Blumer
(1974) dalam Arismunandar (2005:44), gerakan social adalah suatu kolektivitas
yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang
atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang
mencakup kolektivitas itu sendiri. Biasanya gerakan ini melibatkan cara-cara
yang tidak terlembagakan, seperti pawai, demonstrasi, protes.
C. Konsep Dewan Mahasiswa
Dalam
rentang waktu pergolakan mahasiswa dan kekuasaan plus militer itu, Dewan
Mahasiswa menjadi lembaga yang menentukan di dalam kampus. Pada awalnya,
organisasi mahasiswa di tingkat universitas bernama Dewan Mahasiswa. Ini
berlangsung dari tahun 1965 sampai dengan 1978 atau berakhir sejak
diterapkannya NKK/BKK. Sebenarnya, control yang ketat terhadap aktivitas Dewan
Mahasiswa dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa telah dimulai semenjak
meletusnya peristiwa Malari 1974 dengan keluarnya SK Pemerintah No. 028/1974,
yang member wewenang besar kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengontrol
mahasiswa.
Selama
perjalanan sejarahnya, DEMA sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan, baik
internal maupun eksternal kampus. Bahkan disebut sebagai kekuatan yang diperhitungkan
dan satu-satunya model lembaga mahasiswa yang independen, steril dari
kepentingan dan intervensi birokrasi kampus maupun pemerintah.
Perbedaan
issue yang dibawa oleh kelompok-kelompok mahasiswa saat ini menyiratkan kepada
kita akan sebuah perpecahan dalam gerakan mahasiswa. Polarisasi atau perbedaan
kutub dalam kegiatan berorganisasi adalah hal yang wajar, tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa untuk mencapai demokrasi sejati dan kemenangan rakyat
diperlukan organisasi-organisasi sentral di setiap sektor (mahasiswa, buruh,
maupun petani) yang mampu mewadahi aspirasi dan kepentingan sektor
masing-masing.
Untuk
kelompok mahasiswa di setiap kampus diperlukan organisasi sentral yang dapat
menjadi pusat koordinasi dan komando dalam menggerakkan perjuangan mahasiswa.
Dalam rentang sejarah pergerakan mahasiswa, model Dewan Mahasiswa merupakan
model yang dianggap ideal.
Mengapa
Mahasiswa Butuh Organisasi Sentral Kampus?
1. Kegiatan kurikuler dan
ekstra-kurikuler mahasiswa berada ataupun menggunakan fasilitas-fasilitas
kampus, sehingga diperlukan kerja-kerja koordinasi yang maksimal hanya dapat
tercapai melelui sebuah organisasi sentral.
2. Kepentingan mahasiswa dan
pengelola kampus (rektorat) seringkali bertentangan seperti untuk urusan SPP,
penggunaan fasilitas dan sumber daya kampus, ataupun kurikulum yang digunakan.
Dengan adanya organisasi sentral kampus kepentingan-kepentingan mahasiswa
seluruh kampus dapat diperjuangkan.
3. Berkat kemajuan-kemajuan
kebudayaan manusia (iptek, kemasyarakatan, politik, dsb), masyarakat manusia
semakin berkembang kearah pembentukan masyarakat yang mengatur dirinya sendiri (self-governed society), dan organisasi
sentral mahasiswa adalah alat untuk mewujudkan masyarakat baru ini di dalam
kampus.
Watak Organisasi Mahasiswa Seperti Apa yang Dibutuhkan?
1. Melibatkan massa mahasiswa baik
secara perwakilan maupun langsung.
2.
Dapat menjadi
alat perjuangan sektoral ataupun politik di dalam ataupun diluar kampus.
3.
Representasi
nyata aspirasi massa, dalam arti kehendak massa yang telah dimenangkan di dalam
organisasi juga dilaksanakan dengan penuh konsistensi.
4.
Sentralisasi
dari seluruh kekuatan sosial politik dan aktivitas-aktivitas sehingga kesatuan
gerak dan tindakan dapat terjadi, dan sentralisasi ini dibangun atas
prinsip-prinsip demokrasi yaitu : mayoritas di atas minoritas, penghargaan atas
perbedaan pendapat dan keberadaan kelompok minoritas dan perdebatan-perdebatan
ilmiah dan cermat dalam setiap pengambilan keputusan.
Struktur Organisasi yang Memenuhi Watak Organisasi
1.
Adanya
wadah-wadah aktivitas massa, baik kurikuler ataupun ekstra-kurikuler, yang di dalamnya
aktivitas mahasiswa dapat terkoordinasi dan terorganisasi ditingkat paling
kecil : kelompok diskusi ataupun kelompok kegiatan lainnya ditingkat jurusan
dan pembentukan kelompok-kelompok aktivitas ini adalah hak setiap mahasiswa
(kebebasan berorganisasi).
2.
Adanya
wadah-wadah yang lebih besar untuk mengkoordinasikan kelompok-kelompok
aktivitas tadi ditingkat jurusan. Wadah ini memiliki fungsi yang sama dengan
himpunan mahasiswa jurusan, namun ia memiliki perbedaan karena sebagai sentral
kegiatan mahasiswa (kelompok-kelompok aktivitas) dan wadah-wadah ini bersifat
perwakilan (dewan) dari kelompok-kelompok aktivitas mahasiswa jurusan.
3. Di tingkat fakultas dan
universitas juga harus ada dewan-dewan yang lebih tinggi wewenangnya karena
harus memfasilitasi kepentingan-kepentingan mahasiswa dari berbagai jurusan
(untuk tingkat fakultas) dan juga dari berbagai fakultas (untuk tingkat
universitas).
4. Dalam sebuah kota dibentuk juga
wadah perwakilan (Dewan Mahasiswa tingkat kota) yang bertugas untuk
mengkoordinasikan dewan-dewan mahasiswa universitas, dan tetap terintegrasi
dengan dewan-dewan sektoral lainnya.
Menimbang peran mahasiswa, urgensi
keberadaan lembaga central mahasiswa di setiap kampus, dan watak organisai
mahasiswa yang ideal, dan mengingat fungsi dan peran gerakan mahasiswa yang
berbeda dengan Negara (state government),
maka konsep atau model DEMA adalah pilihan yang ideal.
Konsep-Konsep Wakil Mahasiswa dalam DEMA
1.
Seorang wakil
mahasiswa dalam dewan mahasiswa jurusan ditunjuk langsung oleh massa kelompok
aktivitasnya, dengan syarat bahwa kelompok tersebut memenuhi kriteria yang
diakui bersama (misalkan jumlah massa anggota melalui petisi dukungan) atau
terlibat dalam pembentukan dewan mahasiswa jurusan, dan wakil mahasiswa
tersebut sewaktu-waktu dapat di-recall
oleh kelompoknya.
2.
Dewan
mahasiswa fakultas terdiri dari wakil-wakil dewan-dewan jurusan dan wakil-wakil
UKMF.
3.
Dewan
mahasiswa universitas terdiri dari wakil-wakil dewan-dewan fakultas dan
wakil-wakil UKM Universitas.
Penyatuan Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif
1.
Di dalam
dewan mahasiswa tingkat jurusan, fakultas dan universitas dibentuk kelompok
kerja pelaksana (komite eksekutif) yang dipilih dari dan oleh anggota-anggota
dewan yang bertugas menjalankan keputusan-keputusan dewan di antara dua masa
persidangan dewan ditingkatnya dan tunduk kepada dewan yang lebih tinggi.
2.
Komite
eksekutif ini kira-kira mirip dengan badan eksekutif mahasiswa yang sekarang
ada di senat-senat mahasiswa hanya saja ia dikontrol langsung oleh massanya dan
perwakilan-perwakilan dewan lainnya, dan segala kebijakan-kebijakan yang
dijalankannya adalah kebijakan-kebijakan yang diputuskan dewan dan yang tidak
bertentangan dengan kebijakan dewan dan dewan di tingkat atasnya, jika ada
kebijakan-kebijakan yang melampaui batasan-batasan kebijakan dewan sebelumnya
haruslah diadakan persidangan dewan sesuai tingkatnya dan memberitahukan
melalui perwakilannya dengan segera ke dewan di atas tingkatnya.
3.
Komite
eksekutif ini dapat dibentuk departemen-departemen, jika dibutuhkan, yang
disesuaikan dengan kelompok-kelompok aktivitas yang ada di bawahnya, namun
ditingkat kota departemen-departemen yang ada haruslah menjamin berjalannya
kerja-kerja aksi, pendidikan dan bacaan, serta sebuah koran organisasi
ditingkat kota
Alternatif-alternatif
1. Dewan Mahasiswa (DEMA)
adalah badan ekskutif yang melaksanakan garis-garis besar dalam kehidupan
kemahasiswaan yang telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Mahasiswa
(MPM), yang tak lain berfungsi sebagai legislatif. Ketua Umum DEMA dipilih
dalam Sidang Umum Majelis Mahasiswa.
2. Badan Pertimbangan
Mahasiswa (BPM) terdiri dari wakil-wakil organisasi mahasiswa eksterna
universitas dan wakil-wakil badan kerja yang bersifat otonom. BPM tidak berada
di bawah DEMA tetapi setingkat; bertugas memberi saran dan pertimbangan terhadap
DEMA, diminta maupun tidak diminta.
3. Di tingkat fakultas
dibentuk Komisariat Dewan Mahasiswa (KODEMA), Ketua Umum KODEMA dipilih secara
langsung dalam Peilu Mahasiswa. Para Ketua Umum KODEMA secara otomatis mewakili
Fakultas di Majelis Permusyawaratan Mahasiswa.
Referensi
Arismunandar,
Satrio. 2005. Bergerak!: Peran Pers
Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto. Yogyakarta: Genta Press.
Budiman,
Arief. 2006. Kebebasan, Negara, dan
Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005. Jakarta: Pustaka alvabet dan
Freedom Institute.
Mahasin,
Aswab, Ismed Natsir (Ed.). Cendekiawan
dan Politik. Jakarta: LP3ES.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar