UJIAN TERHADAP
SUMPAH SETIA PEMUDA INDONESIA[1]
(Sebuah
Refleksi)
Oleh: Ramli
Mantan Pemimpin
Umum UKPKM Media Universitas Mataram
Setiap teks memiliki konteks. Begitupun
setiap sumpah memiliki masa dan konteks. Dalam sejarah nasional kita mengenal
dua sumpah, sumpah palapa dan sumpah pemuda. Dua sumpah yang dikrarkan pada
masa berbeda dan dengan motif yang berbeda pula. Terlepas dari pro-kontra atas
keduanya, dua sumpah tersebut memiliki arti penting dalam pembentukan
kebangsaan kita.
Sumpah palapa diikrarkan pada 1336 M oleh
patih Gajah Mada pada masa kerajaan Majapahit saat upacara pelantikannya. Sang
patih berjanji untuk menyatukan seluruh wilayah kerajaan-kerajaan kecil di
Nusantara di bawah panji Majapahit, termasuk wilayah semenanjung Malaya dan
Singapura. Gajah Mada menjalankan sumpahnya dengan melakukan penaklukan demi
penaklukan. Lalu yang kedua adalah sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Yang kemudian
kita kenang sebagai hari sumpah pemuda. Para pelaku sejarahnya sebagai angkatan
’28. Sumpah yang diungkapkan atas dasar keprihatinan, pencarian identitas, dan
keinginan meligitimasi perjuangan kemerdekaan.
Situasi dan kondisi Negara berbeda-beda setiap
kali sumpah tersebut diikrarkan. Gajah Mada mengikrarkan sumpahnya pada situasi
dimana kerajaan-kerajaan tetangga sedang menjala nkan proses ekspansi
memperluas wilayah kekeuasaan. Misinya hanya satu; siapa menguasai wilayah luas
dibandingkan kerajaan lain, yang mencakup daratan dan lautan, maka dialah kerajaan
terkuat. Sebab dengan penguasaan wilayah
yang luas, kerajaan akan memiliki asset yang luar biasa banyak. Asset-aset
tersebut dapat berupa sumber daya alam, maupun sumber daya manusia; termasuk
budak-budak.
Sementara situasi dan kondisi saat
sumpah pemuda dicetuskan oleh pemuda-pemuda yang mewakili suku-bangsa yang ada
di nusantara ini adalah dalam kondisi keterjajahan secara fisik dan mental.
Keterjajahan itu berlangsung dalam waktu ratusan tahun. Apa yang dialami oleh
masyarakat yang demikian, yang kebebasannya sebagai manusia dan bangsa
direnggut? Masyarakat yang lama
terkungkung dalam keterjajahan akan mengalami perasaan inferioritas dan
mengaburnya identitas.
Wilayah nusantara pada masa ketika
pencetusan sumpah pemuda merupakan wilayah yang hanya disatukan oleh pengaruh
kekuasaan administrative semata, yang kemudian ditindas dan dieksploitasi.
Selanjutnya, melahirkan kemiskinan, perbudakan. Hal yang dihasilkan oleh
penjajahan dalam makna positif terhadap proses pembentukan Negara bangsa saat
itu adalah mantapnya kesatuan administrative dan ekonomi serta kesamaan nasib
dan sepenanggungan.
Usaha-usaha masyarakat pribumi untuk
keluar dari penindasan itu tampak dari massifnya kegiatan-kegiatan sosial dan
politik. Lahirlahlah Budi Utomo (1908) yang menandakan kebangkitan nasional.
Dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda yang mempertegas identitas dan wilayah sebagai
satu kesatuan. Lalu orang-orang pribumi yang mendiami wilayah tersebut
selanjutnya disebut sebagai orang Indonesia. Dan bahasa pergaulannya adalah
bahasa Indonesia. “Indonesia” pada akhirnya adalah sebuah entitas yang berbeda
dengan bangsa lain. Pun pada akhirnya melahirkan kebanggan, rasa percaya diri,
dan menghapus inferioritas.
Sumpah Pemuda
dan Kekinian
Situasi dan kondisi nasional yang
berbeda dengan kondisi pada saat dua sumpah tersebut dicetuskan akan membedakan
cara kita untuk menyikapai kondisi ini. Maka pengulangan sumpah pemuda 1928
yang secara terus-menerus kita lakukan pada akhirnya tak boleh lagi sekedar
seremoni dan romantisme. Sumpah kita hari ini mesti mengacu terhadap konteks
kebangsaan yang sedang dan akan kita hadapi.
Sebagai Negara-bangsa yang sedang
berproses “menjadi” (in making),
Indonesia terus-menerus diuji. Penguasa diuji dengan kursi kekuasaan dan beban
amanah yang dibebankan seluruh rakyat. Rakyat diuji dengan berbagai kondisi
social ekonomi politik yang sangat memprihatinkan.
Jumlah penduduk Indonesia sampai Mei
2010 tercatat sebanyak 237.556.363 jiwa atau terdapat pertambahan 32 juta orang
dalam kurun waktu 10 tahun. Sungguh luar biasa. Catatan lainnya lagi adalah terjadi
peningkatan serapan tenaga kerja hampir di semua sector kecuali pertanian,
transportasi, dan sektor pergudangan dan komunikasi. Upah riil buruh tani rata-rata Rp 29.000 dan
buruh bangunan Rp 48.000. upah yang pada dasarnya tidak mencukupi untuk menimati
kehidupan yang layak, mengingat terus melonjaknya harga-harga bahan pokok
seperti beras, minyak goreng, gula, dan daging.
Pengangguran menurut data BPS per
Agustus 2010 sebanyak 8,32 juta orang, atau terdapat penurunan hanya 0,64 juta
orang pada bulan yang sama pada tahun 2009. Ditambah lagi dengan apa yang
disebut sebagai setengah penganggur dan pekerja paruh waktu, masing-masing
14,92 juta orang dan 16,17 juta orang. Sehingga total orang Indonesia yang
tidak memiliki sandaran hidup yang jelas sebanyak 39,41 juta orang. Dari 8,32
juta penganguran tersebut, tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan
tertinggi yang ditamatkan masih didominasi oleh pengangur-pengagur yang
dilahirkan oleh perguruan tinggi dibandingkan dengan lulusan SMK atau SD.
Sebuah fakta yang mencemaskan bagi masa depan kaum muda.
Kemudian, jumlah penduduk miskin per
Maret 2010 adalah 31,02 juta orang. 64,23 persen penduduk miskin terkonsentrasi
di pedesaan. Angka ini mengalami peningkkatan dibandingkan tahun sebelumnya.
Artinya proses pemiskinan di desa berlangsung secara pasti akibat berkurangnya
lahan produksi dan kondisi yang tidak menjanjikan untuk kelangsungan hidup rakyat.
Jumlah ini berbanding terbalik dengan jumlah orang kaya di Indonesia yang hanya
112 ribu orang saja. Artinya, yang menikmati jerih payah atas kemerdekaan setelah
66 tahun, hanya segelintir orang dari ratusan juta penduduk Indonesia.
Angka kemiskinan ini menggunakan basis
Garis Kemiskinan (GK) yang berkisar pada angka Rp 211.726 per kapita per
bulannya. Angka yang sebenarnya tidak mencukupi bagi rakyat untuk membiayai
beban hidup yang tinggi. GK ini sebenarnya cocok untuk standar garis kefakiran.
Disaat rakyat terbelit kemiskinan dan
pengangguran, korupsi justru meningkat di semua sector. Tahun 2011 ini, indeks
korupsi Indonesia berada pada 2,3. Dalam ring 0 sampai 10, dan 10 adalah yang
paling bersih, maka indeks tersebut menggambarkan bagaimana ronrongan para
tikus-tikus terhadap pundi-pundi kekayaan Negara yang seharusnya dipergunakan
untuk kesejahteraan rakyat; berlangsung massif dan meningkat. Kekayaan Negara dirampok
untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Para perampok negara ini berasal dari
partai politik yang menguasai pemerintahan. Akibatnya, pemberantasan korupsi
jalan di tempat dan terjadi proses tebang pilih. Di samping itu ada akibat yang
lain adalah tersanderanya pemerintah atas ulah-ulah konco-konconya yang
terlibat korupsi. Maka, praktek sandera-menyandera antar kekuatan politik yang
dibarengi dengan transaksi politik semakin tampak jelas di hadapan kita. Pada
akhirnya, rakyat banyaklah yang menjadi korban dan menanggung semua akibat
perilaku bejat pejabat-pejabat korup.
Belum lagi persoalan penguasaan tambang,
lembaga keuangan oleh perusahaan asing. Sebuah ironi di Negara kaya-raya bak
surge, namun rakyatnya menderita kemiskinan yang tak berujung. Sementara
penguasa-penguasa bersuka-cita setiap waktu.
Inilah saya kira persoalan-persoalan
yang urgen untuk kita selesaikan dengan mendorong upaya-upaya solutif dari
berbagai kalangan, tak terkecuali kelompok kaum muda. Maka, tak ada salahnya
jika kita terus mengikrarkan sumpah untuk diri kita sendiri, untuk keluarga,
untuk bangsa. Sumpah setia yang tidak lagi mengedepankan narasi-narasi
pengakuan kita ber-Indonesia. Tetapi sumpah yang benar-benar dihajatkan untuk
penyelesaian-penyelesaian persoalan bangsa terkini. Yang terpenting adalah
bagaimana kita secara konsekuen dan berkomitmen untuk menuanaikan sumpah setia
kita.
Pada setiap waktu dan di setiap jengkal
tanah air ini, sumpah kita akan diuji. Kita percaya bahwa sumpah yang tak
dipenuhi akan mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi atas perjalanan sejarah pribadi
dan sejarah kebangsaan kita. Setidak-tidaknya, terpatri di dalam sanubari kita:
cinta yang mendalam terhadap ibu pertiwi dan mencintai seluruh rakyat Indonesia
tanpa pembedaan.
[1] Dibacakan
pada acara mimbar bebas peringatan Hari Sumpah Pemuda 2011, BEM FKIP
Universitas Mataram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar