Jumat, 28 September 2012

UJIAN TERHADAP SUMPAH SETIA PEMUDA INDONESIA


UJIAN TERHADAP SUMPAH SETIA PEMUDA INDONESIA[1]
(Sebuah Refleksi)
Oleh: Ramli
Mantan Pemimpin Umum UKPKM Media  Universitas Mataram

Setiap teks memiliki konteks. Begitupun setiap sumpah memiliki masa dan konteks. Dalam sejarah nasional kita mengenal dua sumpah, sumpah palapa dan sumpah pemuda. Dua sumpah yang dikrarkan pada masa berbeda dan dengan motif yang berbeda pula. Terlepas dari pro-kontra atas keduanya, dua sumpah tersebut memiliki arti penting dalam pembentukan kebangsaan kita.
Sumpah palapa diikrarkan pada 1336 M oleh patih Gajah Mada pada masa kerajaan Majapahit saat upacara pelantikannya. Sang patih berjanji untuk menyatukan seluruh wilayah kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara di bawah panji Majapahit, termasuk wilayah semenanjung Malaya dan Singapura. Gajah Mada menjalankan sumpahnya dengan melakukan penaklukan demi penaklukan. Lalu yang kedua adalah sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Yang kemudian kita kenang sebagai hari sumpah pemuda. Para pelaku sejarahnya sebagai angkatan ’28. Sumpah yang diungkapkan atas dasar keprihatinan, pencarian identitas, dan keinginan meligitimasi perjuangan kemerdekaan.
Situasi dan kondisi Negara berbeda-beda setiap kali sumpah tersebut diikrarkan. Gajah Mada mengikrarkan sumpahnya pada situasi dimana kerajaan-kerajaan tetangga sedang menjala nkan proses ekspansi memperluas wilayah kekeuasaan. Misinya hanya satu; siapa menguasai wilayah luas dibandingkan kerajaan lain, yang mencakup daratan dan lautan, maka dialah kerajaan terkuat.  Sebab dengan penguasaan wilayah yang luas, kerajaan akan memiliki asset yang luar biasa banyak. Asset-aset tersebut dapat berupa sumber daya alam, maupun sumber daya manusia; termasuk budak-budak.
Sementara situasi dan kondisi saat sumpah pemuda dicetuskan oleh pemuda-pemuda yang mewakili suku-bangsa yang ada di nusantara ini adalah dalam kondisi keterjajahan secara fisik dan mental. Keterjajahan itu berlangsung dalam waktu ratusan tahun. Apa yang dialami oleh masyarakat yang demikian, yang kebebasannya sebagai manusia dan bangsa direnggut?  Masyarakat yang lama terkungkung dalam keterjajahan akan mengalami perasaan inferioritas dan mengaburnya identitas.
Wilayah nusantara pada masa ketika pencetusan sumpah pemuda merupakan wilayah yang hanya disatukan oleh pengaruh kekuasaan administrative semata, yang kemudian ditindas dan dieksploitasi. Selanjutnya, melahirkan kemiskinan, perbudakan. Hal yang dihasilkan oleh penjajahan dalam makna positif terhadap proses pembentukan Negara bangsa saat itu adalah mantapnya kesatuan administrative dan ekonomi serta kesamaan nasib dan sepenanggungan.
Usaha-usaha masyarakat pribumi untuk keluar dari penindasan itu tampak dari massifnya kegiatan-kegiatan sosial dan politik. Lahirlahlah Budi Utomo (1908) yang menandakan kebangkitan nasional. Dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda yang mempertegas identitas dan wilayah sebagai satu kesatuan. Lalu orang-orang pribumi yang mendiami wilayah tersebut selanjutnya disebut sebagai orang Indonesia. Dan bahasa pergaulannya adalah bahasa Indonesia. “Indonesia” pada akhirnya adalah sebuah entitas yang berbeda dengan bangsa lain. Pun pada akhirnya melahirkan kebanggan, rasa percaya diri, dan menghapus inferioritas.
Sumpah Pemuda dan Kekinian
Situasi dan kondisi nasional yang berbeda dengan kondisi pada saat dua sumpah tersebut dicetuskan akan membedakan cara kita untuk menyikapai kondisi ini. Maka pengulangan sumpah pemuda 1928 yang secara terus-menerus kita lakukan pada akhirnya tak boleh lagi sekedar seremoni dan romantisme. Sumpah kita hari ini mesti mengacu terhadap konteks kebangsaan yang sedang dan akan kita hadapi.
Sebagai Negara-bangsa yang sedang berproses “menjadi” (in making), Indonesia terus-menerus diuji. Penguasa diuji dengan kursi kekuasaan dan beban amanah yang dibebankan seluruh rakyat. Rakyat diuji dengan berbagai kondisi social ekonomi politik yang sangat memprihatinkan.
Jumlah penduduk Indonesia sampai Mei 2010 tercatat sebanyak 237.556.363 jiwa atau terdapat pertambahan 32 juta orang dalam kurun waktu 10 tahun. Sungguh luar biasa. Catatan lainnya lagi adalah terjadi peningkatan serapan tenaga kerja hampir di semua sector kecuali pertanian, transportasi, dan sektor pergudangan dan komunikasi.  Upah riil buruh tani rata-rata Rp 29.000 dan buruh bangunan Rp 48.000. upah yang pada dasarnya tidak mencukupi untuk menimati kehidupan yang layak, mengingat terus melonjaknya harga-harga bahan pokok seperti beras, minyak goreng, gula, dan daging.
Pengangguran menurut data BPS per Agustus 2010 sebanyak 8,32 juta orang, atau terdapat penurunan hanya 0,64 juta orang pada bulan yang sama pada tahun 2009. Ditambah lagi dengan apa yang disebut sebagai setengah penganggur dan pekerja paruh waktu, masing-masing 14,92 juta orang dan 16,17 juta orang. Sehingga total orang Indonesia yang tidak memiliki sandaran hidup yang jelas sebanyak 39,41 juta orang. Dari 8,32 juta penganguran tersebut, tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan masih didominasi oleh pengangur-pengagur yang dilahirkan oleh perguruan tinggi dibandingkan dengan lulusan SMK atau SD. Sebuah fakta yang mencemaskan bagi masa depan kaum muda.
Kemudian, jumlah penduduk miskin per Maret 2010 adalah 31,02 juta orang. 64,23 persen penduduk miskin terkonsentrasi di pedesaan. Angka ini mengalami peningkkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Artinya proses pemiskinan di desa berlangsung secara pasti akibat berkurangnya lahan produksi dan kondisi yang tidak menjanjikan untuk kelangsungan hidup rakyat. Jumlah ini berbanding terbalik dengan jumlah orang kaya di Indonesia yang hanya 112 ribu orang saja. Artinya, yang menikmati jerih payah atas kemerdekaan setelah 66 tahun, hanya segelintir orang dari ratusan juta penduduk Indonesia.
Angka kemiskinan ini menggunakan basis Garis Kemiskinan (GK) yang berkisar pada angka Rp 211.726 per kapita per bulannya. Angka yang sebenarnya tidak mencukupi bagi rakyat untuk membiayai beban hidup yang tinggi. GK ini sebenarnya cocok untuk standar garis kefakiran.
Disaat rakyat terbelit kemiskinan dan pengangguran, korupsi justru meningkat di semua sector. Tahun 2011 ini, indeks korupsi Indonesia berada pada 2,3. Dalam ring 0 sampai 10, dan 10 adalah yang paling bersih, maka indeks tersebut menggambarkan bagaimana ronrongan para tikus-tikus terhadap pundi-pundi kekayaan Negara yang seharusnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat; berlangsung massif dan meningkat. Kekayaan Negara dirampok untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Para perampok negara ini berasal dari partai politik yang menguasai pemerintahan. Akibatnya, pemberantasan korupsi jalan di tempat dan terjadi proses tebang pilih. Di samping itu ada akibat yang lain adalah tersanderanya pemerintah atas ulah-ulah konco-konconya yang terlibat korupsi. Maka, praktek sandera-menyandera antar kekuatan politik yang dibarengi dengan transaksi politik semakin tampak jelas di hadapan kita. Pada akhirnya, rakyat banyaklah yang menjadi korban dan menanggung semua akibat perilaku bejat pejabat-pejabat korup.
Belum lagi persoalan penguasaan tambang, lembaga keuangan oleh perusahaan asing. Sebuah ironi di Negara kaya-raya bak surge, namun rakyatnya menderita kemiskinan yang tak berujung. Sementara penguasa-penguasa bersuka-cita setiap waktu.
Inilah saya kira persoalan-persoalan yang urgen untuk kita selesaikan dengan mendorong upaya-upaya solutif dari berbagai kalangan, tak terkecuali kelompok kaum muda. Maka, tak ada salahnya jika kita terus mengikrarkan sumpah untuk diri kita sendiri, untuk keluarga, untuk bangsa. Sumpah setia yang tidak lagi mengedepankan narasi-narasi pengakuan kita ber-Indonesia. Tetapi sumpah yang benar-benar dihajatkan untuk penyelesaian-penyelesaian persoalan bangsa terkini. Yang terpenting adalah bagaimana kita secara konsekuen dan berkomitmen untuk menuanaikan sumpah setia kita.
Pada setiap waktu dan di setiap jengkal tanah air ini, sumpah kita akan diuji. Kita percaya bahwa sumpah yang tak dipenuhi akan mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi atas perjalanan sejarah pribadi dan sejarah kebangsaan kita. Setidak-tidaknya, terpatri di dalam sanubari kita: cinta yang mendalam terhadap ibu pertiwi dan mencintai seluruh rakyat Indonesia tanpa pembedaan.



[1] Dibacakan pada acara mimbar bebas peringatan Hari Sumpah Pemuda 2011, BEM FKIP Universitas Mataram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar